Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) meminta para pihak, terutama Polri untuk menghentikan narasi hukuman mati bagi Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi sebagai Kapolsek Astanaanyar beserta 11 anggotanya atas dugaan penyalahgunaan narkotika.
Staf penanganan kasus LBHM, Aisyah Humaida menilai, narasi hukuman mati dengan dalih war on drugs dapat melumpuhkan pendekatan kesehatan. Dia merasa, sanksi hukuman mati atas dugaan penyalahgunaan narkotika bukan solusi memberikan jera para pelaku.
"Dalam konteks kasus tertangkapnya Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi sebagai Kapolsek Astanaanyar beserta anggota polisi lainnya terkait narkotika yang dapat diterapkan hukuman pidana penjara turut menjauhkan upaya pemulihan persoalan adiksi yang dialami. Padahal pemulihan adiksi merupakan instrument utama dalam penanggulangan narkotika," kata Aisyah, dalam keterangannya, Senin (22/2).
Aisyah menilai, ancaman hukuman mati bagi pelaku penyalahgunaan narkotika tidak memberikan efek jera. Hal itu dilatari atas 18 terpidana penyalahgunaan narkotika yang telah dihukum mati selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Menurut Aisyah, kasus penyalahgunaan narkotika dapat menurun dengan adanya belasan terpidana yang dihukum mati. Namun, berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2020, narkotika adalah tindak pidana terbanyak dengan total 51.107 kasus.
Tak hanya itu, Aisyah menilai, pernyataan war on drugs menyuburkan peredaran gelap narkotika, melanggengkan penyiksaan, dan pemerasan. Dia merasa, dampak kerasnya perang terhadap narkoba menjadi hal yang paling sering luput dari perhatian.
"Di kalangan penegak hukum, war on drugs memposisikan mereka untuk melakukan penindakan lebih keras lagi, yang dalam praktiknya rentan melakukan penyiksaan dan pemerasan. Ditambah lagi praktik penangkapan yang menggunakan teknik undercover buying dan control delivery, seperti yang termuat dalam Pasal 75 huruf j Undang-Undang Narkotika, melegalkan penegak hukum untuk melakukan metode penjebakan," kata Aisyah.
Kedua teknik ini, sambungnya, memposisikan kelompok rentan seperti perempuan, yang terlibat tindak pidana narkotika, sebagai rantai yang terbawah dan paling berisiko.
"Tanpa bisa menangkap dan menemukan siapa pengedar sebenarnya," pungkasnya.