Kepolisian dinilai lamban standar ganda dalam menangani kasus dugaan ujaran kebencian yang menjerat Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan. Berbeda dengan penanganan perkara sama oleh Edy Mulyadi.
Edy Mulyadi dilaporkan lantaranya menyebut Kalimantan sebagai "tempat jin buang anak" saat membahas ibu kota negara (IKN), sedangkan Arteria karena mempersoalkan penggunaan bahasa Sunda oleh Kajati Jawa Barat (Jabar).
Pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menyatakan, hal tersebut terlihat dari respons aparat penegak hukum (APH).
"Polisi terlihat begitu cepat merespons kasus Edy Mulyadi, sementara kasus Arteria Dahlan terkesan belum ditangani. Padahal, laporan masyarakat tentang kasus Arteria Dahlan lebih dahulu masuk ke polisi daripada kasus Edy Mulyadi," tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin (31/1).
Selain itu, Jamiluddin mengingatkan, respons masyarakat terhadap kedua kasus tersebut juga cenderung sama. Warga Jabar ataupun Kalimantan secara bergelombang memprotes pernyataan Arteria dan Edy.
"Jadi, demi tegaknya hukum, sepatutnya kasus Arteria Dahlan juga segera diproses polisi. Dengan begitu, masyarakat tidak melihat adanya perlakukan hukum yang berbeda terhadap setiap warga negara," bebernya.
Jamiluddin berpendapat, lambatnya penanganan kasus Arteria diduga karena yang bersangkutan anggota dewan. Akibatnya, butuh izin kepala negara untuk memeriksanya.
"Kalau memang itu yang menjadi penyebabnya, idealnya polisi menyampaikannya ke masyarakat. Dengan begitu, masyarakat dapat memahami lambatnya penanganan proses hukum kasus Arteria Dahlan," ucapnya.
"Masalahnya," sambung dia, "apakah polisi memang sudah mengajukan permohonan ke Presiden untuk memproses kasus Arteria Dahlan? Untuk itu, polisi perlu terbuka ke masyarakat agar tidak muncul penilaian liar yang merugikan lembaga kepolisian."