close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Alinea
icon caption
Ilustrasi. Foto Alinea
Nasional
Jumat, 17 Maret 2023 20:55

Polri dinilai tidak pernah serius untuk berubah lebih baik

Alih-alih menindak, pendekatan yang diambil hanya sebatas memberi sanksi etik bagi lima calo bintara itu.
swipe

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi yang terdiri dari ICW, YLBHI, KontraS, ICJR, AJI, dan PBHI Nasional menyampaikan pandangan soal reformasi dalam Korps Bhayangkara tidak serius menumpas budaya koruptif. Hal ini menyusul tindakan lima anggota Polri yang melakukan pungutan liar dalam penerimaan Bintara Tahun 2022.

Agus Sunaryanto dari ICW mengatakan, alih-alih menindak, pendekatan yang diambil hanya sebatas memberi sanksi etik. Menurutnya, hal itu hanya akan melanggengkan impunitas dan tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect). 

“Kami menilai Kepolisian tidak pernah serius melakukan penindakan terhadap perilaku koruptif anggotanya,” kata Agus dalam keterangan, Jumat (17/3).

Sementara, M. Isnur dari YLBHI menyebut, baik sanksi etik dan pidana harus dilakukan secara paralel. Maka, kepolisian seharusnya juga dapat menerapkan penegakan hukum pidananya.

Apalagi, kata Erasmus Napitupulu dari ICJR, tindakan yang dilakukan oleh para anggota kepolisian secara berjamaah tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi dan/atau pidana dalam jabatan sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

KontraS yang diwakili Fatia Maulidiyanti membeberkan, semakin jamak impunitas di tubuh Kepolisian dapat bertentangan dengan prinsip jaminan ketidakberulangan dalam HAM (guarantees of non recurrence).

“Lebih jauh dari itu menunjukkan bahwa Kepolisian tidak memiliki kemauan yang serius dan tidak bersedia di reformasi secara struktural, instrumental dan kultural,” ujarnya.

Tindakan serupa juga pernah terjadi dalam kasus lain, di mana Polri menghukum anggotanya yang melakukan tindak pidana melalui pendekatan etik tanpa proses hukum pidana, seperti:

•Kasus penerimaan anggota Polri dengan hasil pungli hampir mencapai Rp2 Miliar yang melibatkan anggota Polisi di Polres Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2022, 

•Kasus 7 (tujuh) Perwira Polisi dan seorang PNS yang diduga terlibat pungli dalam penerimaan calon Brigadir Polisi tahun 2016 dan Sekolah Inspektur Polisi Sarjana tahun 2017 di Sumatera Selatan,

•Kasus dugaan suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika, yakni eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta yang hanya mendapatkan sanksi etik tanpa pidana,

•Kasus 2 (dua) terdakwa dalam kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang masih menjadi Anggota Aktif meski terbukti melakukan tindak pidana, 

•Kasus Iptu TK yang berkali-kali melakukan kekerasan terhadap masyarakat di Ambon hanya dijatuhi sidang etik berupa pemecatan tidak dengan hormat (2022), 

•Kasus Penyiksaan M. Fikry dkk oleh Anggota Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi yang sampai sekarang tidak ditindaklanjuti (2022),

•Kasus Penyiksaan yang dilakukan 6 (enam) aparat Polres Tanah Datar Sumatera Barat terhadap Viora Andika hanya diberi sanksi berupa permintaan maaf kepada institusi kepolisian dan korban secara lisan (2021), 

• Kasus Unlawfull Killing dua mahasiswa Universitas Halu Oleo hanya sampai sidang etik dengan sanksi teguran lisan hingga penundaan kenaikan pangkat (2019).

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan