Positif dan negatif menggunakan AI di Pemilu 2024
Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI), diyakini bakal memegang peranan penting pada Pemilu 2024. Khususnya pada saat pelaksanaan kampanye.
Kehadiran AI dapat dimanfaatkan untuk mengetahui demografi, kesukaan atau tren yang bisa membuat kampanye menjadi lebih spesifik bagi para calon legislatif atau presiden. Bahkan, AI dinilai dapat berperan menaikkan engagement pemilih.
Tetapi ternyata, penggunaan AI dalam masa kampanye atau pemilu juga dapat berdampak negatif pada citra peserta pemilu. Dan itu, bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi di Amerika Serikat yang kebetulan juga sedang mempersiapkan pemilihan presiden.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, kalau penggunaan AI bisa berdampak positif dan negatif. Tergantung siapa yang mempergunakannya. Sepanjang 2023 ini, Mafindo sudah menemukan tiga hoaks yang diduga mempergunakan AI. Yakni, video Jokowi berpidato Mandarin, video Prabowo Subianto sedang berpidato dalam bahasa Arab, serta video Terawan promosi obat diebetes.
Kehadiran video di media sosial tersebut sempat membuat gempar masyarakat. Bahkan, pemerintah dalam hal ini Kemkominfo, langsung mengklarifikasi dengan mangategorikan video tersebut sebagai hoaks.
Untuk itu, ada baiknya pemerintah segera mengeluarkan regulasi terkait masalah penggunaan AI dalam pemilu. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyebaran hoaks serta menjaga kedamaian menjelang pemilu.
"Sementara ini, sepertinya belum ada regulasi terkait masalah penggunaan AI dalam pemilu. Indonesia perlu belajar dari EU yang sudah mulai merintis AI Law," kata dia saat dihubungi Alinea.id, Rabu (22/11).
Apalagi ketika pelaku hoaks menggunakan AI, maka penelusurannya akan semakin sulit. Pasalnya, publik semakin tak bisa membedakan mana video yang asli atau mana video yang ternyata palsu. Ini karena AI mampu mengubah video yang membuat masyarakat terkecoh. Sang tokoh yang akan dimanipulasi dalam video, wajahnya sama, suaranya sama, gerak bibirnya sama persis dengan suara yang dikeluarkan.
Pendiri LSI Denny JA, Denny Januar Ali pun mengaku kalau AI tidak hanya mewarnai sisi baik, tetapi juga sisi buruk.
"AI memiliki kemampuan baik dan buruk. Dan akan datang masa ketika kita mengenang AI dengan bangga atau menyesal. Tetapi bagi kita yang berprofesi di marketing politik, AI mulai memengaruhi Pemilu Presiden 2024," kata dia dalam keterangannya yang dipantau online, Rabu (22/11).
Denny JA mencontohkan video Jokowi yang seolah-olah berpidato dengan Bahasa Mandarin. Kasus serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Beredar video Hillary Clinton mendukung satu capres dari Partai Demokrat untuk Pilpres 2024, yang bukan Joe Biden. Belakangan diketahui kalau video itu merupakan manipulasi deepfake Artificial Intelligence.
Denny menyebutkan ada beberapa hal positif yang bisa dikerjakan dengan mempergunakan AI selama pemilu. Misalkan saja, teknologi ini bisa membantu mengirimkan pesan kepada publik dengan lebih dipersonalisasi melalui record-nya di media sosial. AI bisa lebih tahu dan detail soal orang. Bukan hanya data pemilih tetapi juga psikologisnya. Apa yang disukai oleh calon pemilih dan segala macamnya.
Misalkan seorang capres ingin mengirim pesan kepada pemilih di Jakarta. Dulu sebelum ada AI, calon presiden akan mengirim pesannya secara umum di sosial media. Tetapi setelah ada AI, calon presiden bisa menyampaikan pesan ini kepada si A dengan latar belakang menyukai lagu dangdut, si B yang menyukai lagu pop, atau si C yang menyukai lagu jaz.
"AI mencari personalisasi yang lebih pas dengan orang yang dituju. Karena itulah AI bisa memungkinkan orang mendapatkan informasi dari calon presiden. Inilah peran AI. Membuat peran kampanye semakin lebih intim, micro marketing, lebih konkret, serta kepada individu per individu," ucap dia.
Tetapi dia mengakui kalau untuk Pemilu 2024, penggunaan AI masih belum maksimal. Masih terbatas menggunakan CHAT GPT dan Bard yang digunakan lebih untuk pencarian informasi agar lebih cepat. Sehingga pilpres juga masih bisa dimenangkan tanpa keterlibatan AI secara intens. Ini karena teknologi AI belum terlalu dipahami kecanggihannya dan harganya pun masih mahal.
Lantas seperti apa tanggapan pemerintah agar pemanfaatan AI bisa optimal? Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria dalam keterangan resminya menyebutkan, pemerintah melakukan monitoring terhadap perkembangan pemakaian AI.
"Dan kami bersikap positif, misalnya dengan perkembangan teknologinya. Tetapi juga kami mencermati sisi-sisi negatif yang akan muncul,” ungkap Nezar Patria
Kajian dilakukan dengan berkolaborasi bersama sejumlah lembaga serta mitra kerja di beragam sektor. Terutama di ekosistem ekonomi digital, pelaku-pelaku industri yang berbasiskan digital, dan juga beberapa pakar teknologi, sosial, budaya, dan sebagainya.
"Kita coba mengantisipasinya dengan satu regulasi yang mencoba meminimalkan dampak-dampak yang harmful atau merusak dari AI,” tandasnya.
Dia memastikan kalau regulasi mengenai AI tidak dimaksudkan untuk menghambat inovasi. Namun, sebagai langkah antisipatif atas risiko yang akan mungkin muncul. Bahkan, pemerintah juga sedang berdiskusi dengan UNESCO mengenai pemanfaatan AI terutama dari sisi etika.