Kasus penguntitan Jaksa Muda Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah oleh personel Densus 88 hingga kini masih penuh misteri. Motif penguntitan belum terungkap. Polri dan Kejagung tak mau bicara terang-benderang mengenai kasus itu.
Para penguntit Febrie juga tak kena sanksi. Bripda Iqbal Mustofa, salah satu penguntit yang "tertangkap", dibebaskan dari segala hukuman. Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri menyatakan Iqbal tak melanggar aturan apa pun. Iqbal dianggap sedang menjalankan tugas resmi kepolisian.
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah Castro menduga sedang ada perseteruan antara Kejagung dan Polri terkait penanganan kasus-kasus korupsi.
Menurut dia, bukan tidak mungkin kedua institusi "saling serang" sebagaimana yang terjadi dalam kasus cicak versus buaya antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa tahun silam. Bedanya, Kejagung dan Polri sama-sama institusi penegak hukum yang sudah mapan.
“Idealnya, perkara korupsi ditangani satu lembaga saja,” ujarnya kepada Alinea.id, Minggu (2/6).
Kasus cicak vs buaya pertama terjadi pada Juli 2009. Perseteruan bermula dari isu penyadapan oleh KPK terhadap Kabareskrim Mabes Polri saat itu, Komjen Susno Duadji. Susno dituduh terlibat pencairan dana dari nasabah Bank Century, Boedi Sampoerna.
Konflik antara kedua institusi memuncak saat Bareskrim Mabes Polri menahan dua Wakil Ketua KPK, yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra Martha Hamzah. Penahanan para petinggi KPK itu memantik reaksi keras dari aktivis antikorupsi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Ia meminta kedua institusi menahan diri. Perseteruan keduanya meredup setelah penahanan Bibit dan Hamzah ditangguhkan. Investigasi terhadap keterlibatan Susno di kasus Bank Century pun dihentikan.
Susno ialah orang yang pertama mencetuskan analogi cicak vs buaya. KPK diibaratkan sebagai cicak karena institusi penegak hukum yang baru terbangun dan tak punya SDM sebesar Polri.
Sebagaimana pada kasus Polri vs KPK, menurut Herdiansyah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga seharusnya turun tangan untuk mengawasi potensi friksi antara Kejagung dan Polri. “Jokowi harusnya bisa tegas, kan kepala negara,” kata dia.
Febrie diduga dikuntit dua anggota Densus 88 saat makan malam di salah satu restoran di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Minggu (19/5). Salah satu penguntit Febrie teridentifikasi merupakan anggota Densus 88 yang berinisial IM. Belakangan, IM diketahui ialah inisial dari nama Iqbal.
Potensi friksi antara kedua kuat lantaran sehari setelah peristiwa penguntitan terhadap Febrie, ada pula kejadian aneh di depan Kantor Kejagung RI di Jakarta. Dalam sebuah video yang beredar di kalangan wartawan, terlihat konvoi mobil dan motor bersirine mirip kendaraan Brimob.
Tak lama setelah dua peristiwa itu, Febrie dilaporkan ke KPK oleh Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST). Laporan itu dilayangkan KSST lantaran Febrie diduga terlibat dalam proses lelang PT Gunung Bara Utama di Kejagung yang dianggap merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyayangkan sikap Polri dan Kejagung yang seolah menganggap aksi spionase personel Densus 88 terhadap Febrie sebagai peristiwa biasa.
Ia sepakat sedang ada friksi di balik layar antara kedua institusi penegak hukum itu. “Lagi-lagi perseteruan ini belum tentu menguntungkan rakyat atau berkaitan dengan kepentingan rakyat,” katanya kepada Alinea.id, Minggu (2/6).
Zaenur mengingatkan investigasi internal perlu digelar. Lembaga pengawas Polri dan Kejaksaan, Kompolnas dan Komisioner Kejaksaan, juga perlu menyelidiki peristiwa tersebut.
“DPR RI harus investigasi juga dan melakukan pemanggilan ke Jaksa Agung dan jajarannya, Kapolri, dan jajarannya. Institusi-institusi ini punya tugas untuk menjelaskan peristiwa tersebut,” ucapnya.