Potret miring pelayanan di karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri
Rabu (29/12) pukul 17.00 WIB, dua bus Damri baru saja masuk gerbang Rusun Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Tak lama, sekitar 50 orang keluar dari bus itu, membawa koper dan tas ransel. Mereka adalah WNI pelaku perjalanan luar negeri yang diberangkatkan dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Anggota TNI dan petugas lainnya mengatur barisan mereka. Satu persatu mereka didata dan langsung masuk ke kamar karantina masing-masing di rusun itu. Ada tiga tower yang dimanfaatkan sebagai tempat karantina, dengan total 5.454 tempat tidur. Hanya satu gerbang yang disediakan sebagai tempat keluar-masuk bus yang mengantar warga.
Sejak awal Desember 2021, Rusun Pasar Rumput menjadi salah satu tempat karantina terpusat yang disediakan pemerintah untuk WNI pelaku perjalanan luar negeri kriteria pekerja migran, pelajar, mahasiswa, dan pegawai pemerintah yang melakukan perjalanan dinas—selain Wisma Atlet Pademangan dan Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Utara.
Pada 21 Desember 2021, pemerintah menambah tiga tempat karantina terpusat lainnya, yakni Rusun Penggilingan di Jakarta Timur, Rusun Daan Mogot di Jakarta Barat, dan Gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di Jakarta Selatan.
Mengeluh soal makanan
Semenjak Covid-19 varian Omicron merebak, pemerintah sangat hati-hati mengatur pelaku perjalanan dari luar negeri yang tiba di Indonesia. Setelah diperiksa sertifikat vaksinasi di bandara dan menunjukkan tes PCR negatif, WNI dan WNA yang tiba langsung diarahkan untuk karantina.
Dalam Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 26 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19 ada dua masa karantina yang diberlakukan.
Pertama, ditetapkan 10 hari. Kedua, 14 hari bagi mereka yang baru tiba dari negara-negara yang sudah mengonfirmasi transmisi komunitas varian Omicron, negara yang secara geografis berdekatan dengan negara transmisi komunitas, dan negara dengan kasus konfirmasi Omicron lebih dari 10.000.
Sore itu, Saiful—bukan nama sebenarnya—bersama istrinya, tengah menunggu keluarga yang menjemputnya untuk pulang ke rumah di depan Rusun Pasar Rumput. Mereka baru selesai melakukan karantina selama 10 hari. Pekerja migran dari Malaysia itu mengeluh makanan yang disediakan petugas.
“Nasi kotaknya bikin mual,” kata dia saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (29/1).
Karena tak selera, Saiful memilih membeli makanan di kantin yang berada persis di sebelah lokasi karantina. “Cuma harganya mahal. Bisa tiga kali lipat dari harga di luar,” ujarnya.
Ia mencontohkan, harga bakso dijual Rp25.000 per porsi. Sehari, Saiful bisa merogoh kocek Rp100.000.
“10 hari sudah Rp1 juta. Saya berdua sama istri, jadi Rp2 juta,” tuturnya.
Proses membeli makanan di kantin juga diakuinya rumit. Ia harus turun ke lantai dasar terlebih dahulu. “Kalau kita mau bayar, lewat sela-sela (jendela),” ujar dia.
Yayi Ramadhini, pekerja migran lainnya yang pulang dari Arab Saudi, bahkan harus menunggu bus yang akan membawanya ke tempat karantina selama berjam-jam di Bandara Soekarno-Hatta. Tiba pada Kamis (23/12) malam, ia mesti mengantre bersama pekerja migran lainnya, pelajar, dan mahasiswa yang baru pulang ke tanah air.
“Kita nunggu lima jam karena banyak yang antre untuk naik bus,” ujar perempuan berusia 23 tahun itu saat dihubungi, Kamis (30/12).
Dalam perjalanan di dalam bus, Yayi cemas. Sebab, ia tak tahu ke mana akan dibawa. Tak ada informasi dari petugas, sebelum akhirnya sopir mengatakan bus itu melaju ke Rusun Pasar Rumput.
Sesampainya di lokasi karantina, Yayi, merasa dilayani dengan baik. Tak ada prosedur administrasi berbelit. Untuk mendapat kamar, ia hanya butuh waktu satu jam sejak tiba di Rusun Pasar Rumput.
Selama di tempat karantina, Yayi merasa bosan. Tak adanya fasilitas hiburan, seperti televisi dan taman. Perempuan asal Makassar itu juga mengeluh perkara makanan yang disediakan. Menurutnya, jatah nasi kotak yang diberikan tiga kali sehari kurang sedap di lidah. Ia mengatakan, sayur sudah terasa asam dan nasi juga mengeras.
Pernah ia mencoba memesan makanan lewat aplikasi. Prosedurnya, makanan dan barang yang diantar, ditahan terlebih dahulu di meja petugas di pagar Rusun Pasar Rumput. Nantinya, petugas mengantar pesanan ke kamar warga yang dikarantina. Namun, pengalaman pahit membuat Yayi mengurungkan lagi memesan makanan dari luar karena ada petugas pengantar yang meminta tip.
“Memang seikhlasnya aja (kasih tip), tetapi pernah ada (petugas) yang bilang, ‘kok cuma segini sih’,” tutur Yayi.
Dugaan praktik tercela dan evaluasi
Koalisi warga LaporCovid-19 pernah mendapat lima laporan warga yang mengeluh pelayanan di karantina terpusat. Satu dari lima laporan tersebut terindikasi praktik pungutan liar yang dilakukan oknum petugas salah satu mitra penyedia bus, yang mengantar dari bandara ke lokasi karantina.
“Kernetnya minta uang untuk biaya angkut koper,” ucap relawan LaporCovid-19, Amanda Tan, Kamis (30/12).
Kejadian itu, kata Amanda, berlangsung ketika bus hampir sampai di Wisma Atlet, Kemayoran. Bus itu berhenti di SPBU dekat pintu tol Kemayoran.
LaporCovid-19 juga menerima laporan warga yang dikarantina di hotel mitra pemerintah. Kata Amanda, berdasarkan aduan warga, pelayanan hotel tak sebanding dengan harga yang dipatok. Misalnya, makanan tak layak atau fasilitas karantina tak bersih.
“Padahal pelapor sudah membayar Rp8,2 juta untuk 10 hari karantina,” kata Amanda.
Berdasarkan temuan itu, Amanda meminta pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan karantina terpusat.
“Kami dorong sistemnya diperbaiki, dibuat gratis, diperbanyak tempat karantinanya,” tuturnya.
Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Nasional, Alexander K. Ginting membantah adanya praktik pungutan liar oleh petugas karantina. Menurut dia, seluruh petugas dan mekanisme karantina sudah taat pada regulasi, yakni Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 26 Tahun 2021.
“Jadi, enggak ada kesempatan mereka (warga) berhubungan dengan pihak ketiga yang menawarkan jasa,” katanya saat dihubungi, Kamis (30/12).
“Kecuali mereka ini minta diskon (durasi) karantina, nyari orang minta lintas izin keluar dari gedung. Ini mungkin.”
Alexander merasa, konsep pengawasan yang telah disusun pemerintah pun terbilang ketat. Di setiap lokasi karantina, sambungnya, terdapat koordinator lapangan yang mengawasi gerak-gerik warga, pemeriksaan tes PCR, dan memindahkan orang yang sakit.
Lebih lanjut, Alexander meminta warga tak melakukan hal tidak terpuji, seperti merayu petugas dengan uang untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut dia, praktik bujukan seperti itu kerap terjadi di lokasi karantina.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap program karantina terpusat. Adanya keluh kesah warga di tempat karantina membuat Trubus yakin tata kelola di lokasi karantina memang bermasalah.
“Harus ada law enforcement. Mereka yang melakukan pelanggaran, diberikan sanksi yang berat supaya ada efek jera,” ujarnya, Jumat (31/12).
“Kalau enggak ada law enforcement-nya, akan banyak terjadi potensi penyimpangan atau abuse of power.”
Evaluasi yang dapat dilakukan pemerintah, ujar Trubus, salah satunya dengan meminta testimoni dari warga terhadap pelayanan dan sarana di karantina. Cara lainnya, kata dia, LSM, perguruan tinggi, dan pengamat diizinkan bertemu orang-orang yang dikarantina.
“Paling tidak kita tahu apa kekurangannya untuk pembenahan ke depan,” kata dia.
“Masalahnya, sekarang sangat tertutup. Ini kan riak-riak masalah kecil saja yang keluar.”