Pemerintah melalui Kementerian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) untuk menggantikan tiga undang-undang sebelumnya.
Ketiga undang-undang yang perlu diganti adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Namun, sejumlah pihak menilai tidak ada urgensi dalam pengesahan RUU ini. Sebaliknya, banyak pasal yang seharusnya dibenahi.
Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman menyatakan, belum ada urgensi pengubahan UU Sisdiknas di tengah pemulihan program belajar akibat pandemi Covid-19.
“Sebaiknya pemerintah fokus pada prioritas pemulihan pembelajaran yang terkait dengan masalah sosial ekonomi. Misalnya kesehatan mental, ketertinggalan literasi, dan kemampuan guru merespons perkembangan,” ujar Alpha dalam Diskusi Publik Ada Apa dengan RUU Sisdiknas yang disiarkan melalui PKS TV, Sabtu (23/4).
Lebih lanjut, Alpha menyatakan, penyusunan RUU Sisdiknas yang terlalu tergesa-gesa tidak akan menghasilkan UU yang visioner dan membawa kemajuan bagi pendidikan. Saat ini kementerian perlu mengintegrasikan 23 undang-undang, bukan hanya tiga seperti yang disebutkan di atas, yang terkait dengan pendidikan. Pembahasannya pun perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait serta membuka ke publik naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas.
Kemendikbudristek juga perlu membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mendesain dari awal lagi peta jalan pendidikan nasional.
Alpha memberi catatan merah bagi RUU Sisdiknas ini seperti fungsi dan tujuan pendidikan dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional tidak terdefinisi dengan baik. Kemudian definisi tujuan pendidikan yang cenderung sekuler dan bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Di samping itu, pendidikan berbasis masyarakat belum diatur dalam RUU ini serta adanya upaya untuk menyamakan agama dan penghayat kepercayaan di RUU ini.
Lebih lanjut, Kepala Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI Sumardiansyah Perdana Kusuma, menjabarkan beberapa kekurangan dari RUU ini.
“Tidak ada definisi apa itu pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional. Pasal langsung melompat ke fungsi pendidikan nasional. Dengan demikian RUU ini hanya melegitimasi program-program dari Kemendikbudristek yang sedang berjalan termasuk Pelajar Pancasila. Dari enam komponen Pelajar Pancasila kita tidak menemukan cinta tanah air atau nasionalisme,” kata dia.
Di samping itu perlu diperjelas juga mengenai kesejahteraan, perlindungan, penghargaan, dan karier guru. Ada baiknya dibuat dalam bentuk turunan PP atau Permendikbud.