Komisi IX DPR menyesalkan BPJS Kesehatan tidak adanya mengover biaya perawatan korban kekerasan seksual. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR, Nurhayati, pun mendorong koleganya meninjau ulang aturan tersebut. Disinyalir tidak ada cantolan hukumnya.
"Saya tadi menyarankan kepada Komisi IX untuk mendalami bahwa Perpres Nomor 82/2018 ini berdasarkan undang-undang yang mana mengacunya? Dan apakah sudah diatur tentang penganggarannya untuk ini? Sedangkan untuk perpres, tentunya harus ada aturan berikutnya," katanya.
Diketahui, Pasal 52 huruf r Perpres 82/2018 tak memandatkan BPJS Kesehatan menanggung biaya pelayanan kesehatan akibat penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdaganganan orang (TPPO). Layanan tersebut menjadi tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
Dalam UU tersebut, korban dapat mengajukan permohonan kepada LPSK untuk mendapatkan layanan pengobatan atau perobatan. Jika demikian, bagi Nurhayati, politik anggaran harus berpihak kepada LPSK agar maksimal dalam menjalankan tugasnya.
"Kita menginginkan anggaran yang dikucurkan kepada LPSK harus serius, gitu, harus bisa menutupi jumlah daripada korban-korban kekerasan dan penganiayaan ini," ucap politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
"Nah, ini yang kami ingin tahu, selama ini LPSK bagaimana penganggarannya untuk para korban ini? Dan bagaimana kita bisa melihat ke depannya bahwa korban-korban ini bisa ada pembiayaannya apakah bisa melalui BPJS Kesehatan atau Ketenagakerjaan," imbuhnya.
Menurut Nurhayati, hal tersebut urgen dan mendesak. Pangkalnya, melansir situs web DPR, ia meyakini bahwa jumlah korban kekerasan seksual dan penganiayaan yang terlihat di permukaan tidak sebanyak kondisi riil.
"Hal ini [terjadi] karena banyak rumah sakit akhirnya melaporkan bahwa ini adalah bukan tindak kekerasan atau penganiayaan, tetapi adalah mungkin ada kejadian-kejadian yang memang mengharuskan mereka berobat," tuturnya. "Kami menginginkan pemerintah serius dalam menangani kekerasan, terutama terhadap wanita dan perempuan dan anak-anak."