Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gelar Jenderal TNI Kehormatan kepada Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, di Mabes TNI, Jakarta, pada Rabu (28/2). Penghargaan tersebut berdasarkan usulan Panglima TNI dan diklaim sesuai regulasi.
"Pemberian anugerah tersebut telah melalui verifikasi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan," ucap Jokowi. "Indikasi dari penerimaan anugerah bintang tersebut sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2009."
Pemberian kenaikan pangkat militer kehormatan ini pun menuai polemik. Pangkalnya, Prabowo diberhentikan sebagai anggota militer oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Dalam putusannya, DKP memutuskan Prabowo bersalah melakuakn tindak pidana ketidakpatuhan (Pasal 103 KUHPM), memerintahkan perampasan kemerdekaan orang lain (Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHPM dan Pasal 333 KUHP), dan penculikan (Pasal 55 ayat (1) ke-2 dan Pasal 328 KUHP). Dikabarkan, DKP mulanya ingin menggunakan "pemecatan", tetapi diubah menjadi "pemberhentian dari dinas keprajuritan" lantaran Prabowo menantu Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Namun, Jokowi menganggap remeh kontroversi yang terjadi. Ia berdalih pemberian penghargaan serupa bukan baru sekarang terjadi.
"Dulu diberikan kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, sudah pernah diberikan kepada Pak Luhut Binsar Panjaitan. Ini sesuatu yang sudah biasa di TNI maupun Polri," kilahnya.
Jokowi khianati reformasi
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil berpandangan, pemberian gelar Jenderal Kehormatan kepada Prabowo keliru dan melukai perasaan korban bahkan mengkhianati reformasi 1998. Sebab, Ketua Umum Partai Gerindra itu memiliki rekam jejak buruk selama berkarier di ABRI (sekarang TNI), seperti pelanggaran HAM berat.
"Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru," tegasnya perwakilan Koalisi Sipil dari Imparsial, Ardi Manto, kepada Alinea.id.
Ia lantas menyinggung Keputusan DKP Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, di mana Prabowo dinyatakan bersalah atas penculikan terhadap aktivis '98 sehingga "ditendang" dari militer bintang tiga di pundaknya "dilucuti". "Bagaimana mungkin mereka yang dulu ditumbangkan oleh reformasi 1998 justru hari ini ingin diberikan penghargaan?"
Menurut Wakil Direktur Imparsial ini, keputusan tersebut menunjukkan Jokowi "menelan ludahnya sendiri" tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi, pidatonya pada 11 Januari 2023, mengakui terjadi pelanggaran HAM berat terkait penculikan tersebut.
"Nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998," bebernya.
Mempertanyakan argumen
Terpisah, pengamat militer Beni Sukadis mengakui pemberian gelar Jenderal Kehormatan diatur dalam Pasal 110 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 1959. Namun, ia meragukan kebenaran argumen yang mendasarinya: dedikasi dan kontribusi Prabowo selama aktif di militer.
"Yang menjadi persoalan, apakah tolok ukur dari kemajuan pertahanan negara selama Prabowo Subianto menjabat Menhan? Apakah karena upayanya meningkatkan kemampuan TNI dalam aspek persenjataan atau peningkatan profesionalisme prajurit atau yang lainnya?" katanya kepada Alinea.id.
Baginya, pemberian penghargaan tersebut menjadi persoalan lantaran pertahanan negara belum optimal dalam menjaga kedaulatan nasional hingga kini. Justru yang terjadi adalah kengawuran, terutama ancaman nontradisional, seperti penyelundupan barang, pencurian ikan dari kapal asing, dan pelanggaran wilayah.
Benny pun mendorong pemberian pangkat kehormatan itu harus dikaji ulang secara lebih cermat sehingga mendapatkan dalil yang tepat. Jika tidak, akan dianggap sebagai upaya Jokowi agar tetap memiliki pengaruh terhadap Prabowo, yang dipastikan memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Apalagi, Prabowo di mata sejumlah masyarakat sipil di Indonesia masih dianggap bertanggung jawab atas dugaan kasus pelanggaran HAM saat di pengujung Orde Baru," ulasnya.