Prahara di kompleks Sangkuriang: Alat rusak, riset mangkrak
Dahanam beton beradu dengan alat konstruksi bikin bising kompleks penelitian eks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jalan Sangkuriang, Bandung, Jawa Barat. Debu dari proyek menempel pada gedung-gedung yang tersisa di kompleks riset yang kini di bawah kendali Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) itu.
Sejak sejumlah gedung dipugar sekitar dua tahun lalu, kompleks tersebut sepi peneliti. Tak tahan dengan kebisingan itu, kebanyakan peneliti memilih bekerja dari rumah. Apalagi, sebagian besar dari mereka tak lagi punya laboratorium untuk dipakai.
Imran, bukan nama sebenarnya, memandang wajar situasi itu. Ia adalah salah satu kepala tim penelitian dari Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET) yang laboratoriumnya turut terdampak renovasi kompleks tersebut.
“Ya, mau bagaimana lagi? Adanya pembangunan. Suka bunyi, 'Dug-dug-dug!' Kadang gedung kita juga bergetar. Itu yang membuat enggak enak,” tutur Imran kepada Alinea.id, Sabtu (19/2).
Di kompleks itu, ada delapan gedung utama yang memiliki fungsi berbeda. Di setiap gedung, terdapat kantor satuan kerja riset LIPI. Dari delapan gedung, setidaknya ada lima gedung yang tengah dibongkar dan dibangun ulang, yakni gedung bernomor 20, gedung 30, gedung 40, gedung 50, dan gedung 60.
Ada enam satuan kerja yang kantornya terimbas proyek tersebut, yakni Pusat Penelitian Kimia di gedung 50, Balai Informasi Teknologi (BTI) yang sebelumnya punya makmal di gedung 40, Balai Penelitian Instrumentasi (BPI) di gedung 30, Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) di gedung 60 dan gedung 20, serta Pusat Penelitian Informatika dan P2ET yang juga menghuni gedung 20.
Ratusan peneliti yang berkantor di gedung-gedung yang dipugar terpaksa harus mengungsi ke sejumlah gedung, semisal ke gedung 80 dan gedung 10. Gedung 10 yang dipilih menjadi kantor darurat sebelumnya difungsikan untuk aula.
Menurut Imran, para peneliti dipaksa berjubel di gedung 10. Yang diungsikan ke gedung itu di antaranya peneliti dari Pusat Penelitian Informatika, Pusat Penelitian Telimek dan P2ET. Untuk terlihat seperti kantor, bekas aula itu disekat menggunakan papan triplek.
“Apakah itu cukup? Ya, tidak mencukupi. Makanya, dipakai sistem switch (bergantian), ada yang WFO (work from office) dan WFH (work from home). Kita enggak ada meja kerja tetap. Makanya, peneliti bisa duduk di mana saja boleh,” tutur dia.
Gedung 10 yang hanya punya tiga lantai itu juga difungsikan sebagai laboratorium. Di lantai dasar, ada laboratorium dadakan untuk Pusat Penelitian Telimek, sedangkan di lantai 1 dibangun makmal Pusat Penelitian Informatika. Laboratorium P2ET didirikan terpisah di lantai 2.
Kepada Alinea.id, salah satu peneliti P2ET membenarkan kondisi memprihatinkan itu. Menurut dia, ruang kerja dan laboratorium di gedung 20 tak layak dipakai untuk kegiatan riset. Alat-alat riset bernilai mahal terpaksa ditumpuk tak beraturan lantaran keterbatasan ruang.
“Laboratorium proses elektronika yang (sebelumnya) ada di gedung 10 itu, misalnya, sekarang tampak sempit (di gedung 20). Lab mirip seperti gudang,” ujar peneliti yang tak mau diungkap identitasnya itu kepada Alinea.id, Sabtu (19/2).
Luas ruangan steril atau clean room yang ada di gedung 10 juga menyusut drastis. Saat masih berada di gedung 20, besaran ruangan mencapai ratusan meter. Di gedung 10, luas ruangan steril hanya berluas sekitar 36 meter persegi.
Karena keterbatasan ruang, menurut sumber Alinea.id, sejumlah alat tak bisa difungsikan optimal. Alat trimmer untuk mengukur teknologi hybrid thik film, misalnya, tak dapat beroperasi lantaran tak ada ruangan khusus. “Alat itu hanya disimpan saja," imbuh dia.
Serupa, menurut dia, radar coastal yang biasanya dipakai memantau dinamika pesisir juga dibiarkan terbengkalai. “Sudah enggak ada lagi ruangan. Di gedung 80 sudah padat, gedung 70 untuk admin,” jelas sang sumber.
Peralatan riset rusak
Dari hasil penelusuran di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) LIPI, kompleks penelitian di Jalan Sangkuriang, Bandung, Jawa Barat dipugar untuk membangun Bandung Advanced Science and Creative Engineering Space (BASICS). Proyek itu direncanakan memakan anggaran sekitar Rp201 miliar.
Menurut salah satu peneliti yang berkantor di kompleks tersebut, pembangunan BASICS tak direncanakan dengan matang. Ia merinci sejumlah alat riset yang rusak saat proses pemindahan dari gedung ke gedung. Alat-alat itu rusak lantaran dipindahkan oleh tukang.
Salah satu alat riset yang rusak ialah tungku pemanas (heater). “Jadi, alat itu saat pemindahan, pemanasnya patah. Sementara untuk memperbaikinya, enggak ada anggaran,” kata pria yang juga tak mau disebut identitasnya tersebut.
Menurut sang periset, alat-alat riset yang bernilai mahal tak bisa dipindahkan sembarangan. Pemindahan peralatan penelitian harus dilakukan oleh tenaga yang kompeten dan diawasi oleh vendor peralatan tersebut.
“Tetapi, ini alat hanya dipindahkan oleh buruh kasar. Akibatnya, ada juga alat yang rusak di tengah jalan saat mindahin. Lalu ada juga alat tercecer sehingga tidak bisa beroperasi dengan bagus,” ungkap peneliti P2ET itu.
Sumber Alinea.id juga mengeluhkan minimnya fasilitas penunjang riset di laboratorium darurat. Menurut dia, alat pendingin air dan exhaust belum terinstal baik di sejumlah laboratorium. Padahal, kedua alat itu penting untuk menunjang keselamatan para periset saat melakukan penelitian.
Ia mencontohkan potensi peneliti keracunan karena zat-zat berbahaya bertahan di udara di ruangan lab. “Ini jadinya beban buat peneliti yang kerja di laboratorium. Akhirnya, kami juga malas juga itu (meneliti) di laboratorium karena fasilitas tidak lengkap dan aman,” terang sang sumber.
Sejumlah peralatan, kata dia, seolah diputuskan tak diselamatkan. Di gedung 20, misalnya, terpasang alat pengukur kedap elektromagnetik. Namun, alat tersebut tak dipindahkan ke gedung baru saat gedung 20 dibongkar. Padahal, alat itu bernilai mahal.
“Nah, itu berpengaruh, kalau ngukur antena tanpa ada itu sama saja bohong. Gen-nya nanti salah, pola radiasinya salah. Jadi, kita sekarang (mengukur kedap elektromagnetik) hanya indoor saja. Itu kan enggak representatif,” terangnya.
Pada pusat penelitian Telimek, setidaknya ada sejumlah laboratorium yang jadi "korban", semisal makmal bahan magnet, alat motor bakar, laboratorium kontrol. Laboratorium-laboratorium itu kini telah dibongkar dan dihancurkan.
"Membangun laboratorium itu perlu waktu yang lama. Bahkan, sebagian (alat penelitian) dihibahkan ke tempat lain walaupun ada keberatan dari teman-teman (peneliti). Ya, mungkin enggak ada tempat lagi,” kata sumber Alinea.id.
Salah satu ketua tim riset di P2TE mengatakan para peneliti yang berkantor di Sangkuriang tak pernah diajak bicara mengenai proyek pembangunan BASICS. Ia juga mengklaim tak pernah ada studi kelayakan sebelum proyek tersebut dijalankan.
"Tiba-tiba, sudah ada keputusan dari pusat (LIPI), bahwa (gedung) ini mau dirobohkan. Rencana itu enggak (pernah) ditanya dulu ke kita-kita atau senior-senior ini. Boro-boro ada studi kelayakannya. Saya enggak pernah lihat," kata dia saat berbincang dengan Alinea.id, Minggu (23/1).
Menurut dia, tak mudah menggelar aktivitas riset dalam kondisi serba terbatas. Ia bahkan khawatir sejumlah rencana riset bakal terganjal jika laboratorium-laboratorium riset di kompleks Sangkuriang tak dikembalikan seperti sedia kala.
Sumber Alinea.id mencontohkan proyek riset mengembangkan teknologi seperti membuat sensor untuk mengukur cuaca yang potensial mangkrak di tengah jalan. Kerja sama itu, kata dia, sudah disepakati timnya dan peneliti dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). Seperti LIPI, LAPAN juga telah dilebur ke BRIN.
“Kita sudah sepakat dan mereka sudah mendapat pendanaan juga dari OR (organisasi riset) LAPAN. Tetapi, dengan kondisi seperti ini, saya bingung, nanti bikinnya gimana, ya? Karena peralatannya tidak dalam kondisi jalan seperti biasanya,” ucap dia.
Selain LAPAN, P2TE juga sebelumnya telah menjalin kerja sama dengan Universitas Telkom di Bandung. Keduanya sepakat untuk mengembangkan sensor untuk pertanian. "Ketika kondisi begini agak susah nanti, pasti enggak lancar," katanya.
Kegamangan periset kian menjadi-jadi lantaran target capaian hasil riset dari BRIN tidak berubah. Setiap tahun, setiap peneliti yang kini berada di bawah naungan BRIN harus bisa meloloskan hasil riset ke jurnal internasional.
“Ya (adanya pemugaran gedung) itu berpengaruh (peneliti untuk mendapat tunjangan kinerja). Bayangkan, kita dituntut untuk mencapai target dengan kondisi seperti ini. Kalau tidak tercapai, maka tunjangan dipotong,” keluh dia.
Di akun Facebook milik satuan kerja Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI, disebutkan bahwa BASICS memiliki konsep untuk memadukan penelitian dengan pengembangan bisnis kreatif. Selain sebagai pusat penelitian, BASICS juga menawarkan co-working space dan office space kepada pengusaha di seluruh Indonesia.
Sumber Alinea.id menilai konsep pembangunan gedung itu tak sesuai dengan tujuan riset. Menurut dia, tak seharusnya kompleks riset dikomersialisasi. "Curiganya teman-teman, jangan-jangan akan berdiri supermarket. Jadi, sudah jauh gedung yang dipakai penelitian," kata dia.
Dongkrak kualitas infrastruktur
Alinea.id telah berupaya mengonfirmasi sejumlah petinggi BRIN ihwal pembangunan gedung BASICS yang potensial bikin kegiatan riset mangkrak. Namun demikian, permintaan wawancara Alinea.id tak kunjung direspons oleh BRIN.
Eks Ketua P2ET Purwoko Adhi mengatakan pimpinan LIPI telah berupaya untuk menekan dampak pembangunan gedung terhadap kegiatan riset. Ia berdalih sebagian besar kegiatan riset di kompleks Sangkuriang bisa terus jalan menggunakan alat-alat portabel.
Sebagian riset, kata dia, bahkan tidak membutuhkan laboratorium. “Namun, telah diupayakan seminimal mungkin dengan menyediakan tempat atau laboratorium sementara,” kata Purwoko saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (19/2).
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan salah satu fokus utama BRIN ialah meningkatkan kualitas infrastruktur riset. Pernyataan itu disampaikan Handoko saat meresmikan Gedung Laboratorium Terpadu Riset Oseanografi (LATERIO) yang disiarkan di kanal Youtube BRIN, Selasa (22/2).
"Sehingga keberadaan infrastruktur riset yang exellent, yang up to date itu menjadi penting. Tidak mungkin kita punya SDM (sumber daya manusia) unggul saja, tetapi tidak punya infrastruktur. Mereka (peneliti) akan jatuh terus," ucap mantan Kepala LIPI itu.