Praktik calo di kaki Gede Pangrango
Meski tahu kegiatan pendakian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) ditutup, Muhammad Rudin--bukan nama sebenarnya--nekat untuk naik. Bersama seorang temannya, Muhammad memacu motor bebeknya dari kediamannya di Tangerang Selatan, Banten, menuju area kaki gunung, Senin (1/11) malam itu.
Berkendara di tengah malam buta, hanya butuh waktu sekitar dua jam bagi Muhammad dan rekannya untuk sampai di pintu masuk pendakian TNGGP via jalur Gunung Putri, Cianjur, Jawa Barat. Sesampainya di area pintu masuk, Muhammad dan sobatnya sudah ditunggu seorang warga setempat.
“Sudah janjian sama ada channel warga di situ, salah satu (anggota) perkumpulan atau koperasi yang didiriin sama warga sekitar. Jadi, saya kalau mau naik, tinggal kabarin dia (calo) atau langsung datang ke pos (jalur pendakian),” ujar Muhammad saat berbincang dengan Alinea.id di Tangerang Selatan, Kamis (18/11).
Koperasi yang dimaksud Muhammad merupakan mitra TNGGP untuk menyediakan jasa pendakian bagi para pendaki. Sebagian besar anggota koperasi merupakan warga lokal yang tinggal di kaki Gunung Gede Pangrango.
Saat itu, kata Muhammad, kondisi Desa Sukatani, Cianjur, terbilang sepi. Desa itu merupakan desa perhentian terakhir sebelum mendaki Gunung Gede Pangrango. Pada kondisi normal, biasanya banyak pendaki yang berkerumun di desa tersebut.
Hingga saat itu, TNGPP memang masih tertutup bagi pendaki. Pasalnya, Cianjur, Jawa Barat masih masuk area pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3. Sebagaimana Instruksi Mendagri Nomor 57 tahun 2021, daerah yang masih masuk zona merah Covid-19 diwajibkan membatasi kegiatan wisata, termasuk aktivitas naik gunung.
“Ya, saya tahu (pendakian TNGGP) masih ditutup. Tetapi, saya sudah ingin banget naik gunung. Karena butuh liburan, terus refreshing juga. Gunung yang deket, ya, Gunung Gede. Apalagi, ada calo. Enggak ada simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi). Simpel,” ungkap dia.
Untuk mendapat akses masuk ke TNGGP dari sang calo, Muhammad harus merogoh kocek sebesar Rp75 ribu. Tak seperti lewat jalur resmi, Muhammad dan rekannya tak perlu menyiapkan sertifkat vaksinasi Covid-19 atau hasil pemeriksaan swab PCR dan antigen sebagai bukti otentik bebas virus SARS CoV-2.
“Jadi, tinggal cuma datang, bawa peralatan (mendaki), terus bayar Rp75 ribu. Tinggal naik deh. Paling, kita diminta fotocopy KTP atau foto KTP aja. Sudah itu tinggal naik aja,” tutur pria berusia 24 tahun tersebut.
Jalur tikus yang dipilih sang calo ternyata tergolong sulit dilalui. Tidak melalui pintu masuk yang resmi, Muhammad dan rekannya harus menyusuri jalan setapak dan menerabas ladang-ladang sayur milik warga setempat.
Dalam kondisi gelap gulita, Muhammad dan rekannya harus berhati-hati melangkah melewati jalur berbatu yang lebarnya kurang dari satu meter supaya tidak terpeleset. Mereka menghabiskan waktu sekitar setengah jam sebelumnya akhirnya sampai di pos pemeriksaan.
“Lewat (ladang sayur milik warga) itu supaya enggak lewatin pos simaksi. Supaya enggak kelihatan sama petugasnya gitu di pos simaksi. (Panjang jalur tikus) ada satu kilometer lebih. Tetapi, kalau lewat jalur resmi, paling berapa ratus meter doang,” tutur Muhammad.
Meski melintasi pos pemeriksaan tanpa izin mendaki, Muhammad dan rekannya "aman". Pasalnya, tak ada petugas TNGGP yang berjaga di pos tersebut. Selama dua hari satu malam menginap di hutan pun, Muhammad tak pernah bertemu petugas yang sedang patroli.
“Iya, (lemah pengawasan petugas). Paling cuma pendaki ilegal sama calo yang anterin itu atau orang-orang koperasi dari warga doang (di pos pemeriksaan). (Petugas patroli) kemarin juga sih enggak ada,” jelas Muhammad.
Kepada Alinea.id, salah seorang calo pendakian mengatakan pos pemeriksaan memang jarang dihuni petugas resmi dari TNGGP. Berbasis pengalamannya meloloskan para pendaki, ia menuturkan, para petugas juga hampir tak pernah menyisir jalur pendakian saat dini hari.
Itulah kenapa para calo mewajibkan para pendaki yang ingin menggunakan jalur tikus untuk tiba di area kaki gunung tengah malam atau saat dini hari. Dengan begitu, peluang untuk kepergok petugas TNGGP saat mendaki jadi jauh lebih kecil.
“Enggak pernah saya lihat petugas patroli. Jarang di sini (Gunung Gede Pangrango petugas patroli) mah,” tutur calo yang tak mau diungkap identitasnya itu saat berbincang dengan Alinea.id di pintu pendakian TNGGP via Cibodas, Jawa Barat, Kamis (18/11).
Sang calo mengaku ia dan rekan-rekan sesama calo biasanya hanya membuka jasa izin pendakian "tak resmi" saat TNGGP sedang ditutup. Pada saat normal, mereka kembali menyediakan jasa izin pendakian secara resmi. "Kita sendiri-sendiri aja," imbuh dia.
Di area TNGGP yang meliputi Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi itu, kata sang calo, ada sejumlah koperasi dan paguyuban yang didirikan warga sebagai lembaga penyedia akses resmi mendaki Gunung Gede Pangrango. Ada kuota khusus yang diberikan oleh Balai Besar TNGGP untuk koperasi dan paguyuban tersebut.
“Ya, iya atuh (izin pendakian koperasi atau paguyuban dari Balai Besar TNGGP). Nih, kantor (TNGGP) kan kalau ada apa-apa minta bantuan ke warga. Terus warga dikasih jatah stempelnya (izin pendakian) ke paguyuban atau koperasi,” ucap sang calo.
Tarif izin pendakian, baik yang resmi maupun tak resmi, kata sang calo, tergolong variatif. Bila satu kelompok pendakian terdiri di atas lima orang, biasanya tarif dipatok sebesar Rp75.000. Namun, bila jumlah pendaki kurang dari lima, harga izin bisa naik di kisaran Rp90.000-Rp80.000.
Jika menggunakan jalur resmi via koperasi atau paguyuban, sang calo merinci biaya sebesar itu digunakan untuk membayar simaksi sebesar Rp34 ribu, surat sehat sebesar Rp25 ribu, dan materai seharga Rp10 ribu.
"Materai kan cuma satu dari satu rombongan pendaki. Belum print atau fotocopy KTP. Ya, paling sepuluh ribulah (untungnya dari satu pendaki). Ya, lumayanlah (keuntungan) kalau (pendakinya) banyakan,” kata dia.
Lantas bagaimana dengan keuntungan dari membuka jasa izin mendaki tak resmi? Sang calo tak mau merinci. Yang jelas, ia menyebut, keuntungannya pasti jauh lebih besar. Bahkan, ada calo yang bekerja sendiri dan tidak perlu menyetor ke koperasi atau paguyuban.
“Cuma tanggung jawabnya besar juga. Jadi, kalau ada apa-apa (sama pendaki) nanti ada (calo) yang susulin. Kalau nanti bilang turun sampai (basecamp) sini jam enam, nanti kalau belum sampai, dijemput (sama calo),” tuturnya.
SDM terbatas
Staf humas Balai Besar TNGGP Cianjur, Agus Deni membenarkan praktik calo izin mendaki di kawasan Gunung Gede Pangrango masih marak. Ia mengatakan pengawasan terhadap praktik percaloan sulit dilakukan lantaran keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
“Kurang lebih, kan 24.000 hektare, ya, luas kawasan TNGGP. Memang di setiap pintu gerbang (pendakian) itu hanya tiga sampai empat orang. Cuma, ya, itulah. Kita (petugas menjaga pintu masuk pendakian) kan enggak (standby) 24 jam terus, ya," kata Agus saat dihubungi Alinea.id, Jumat (19/11).
Untuk pengawasan, menurut Agus, TNGPP sudah menggandeng relawan dan warga sekitar yang tergabung dalam Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Pasalnya, petugas resmi tak hanya bekerja mengawasi aktivitas pendakian saja. Mereka juga diberi tugas untuk memantau keanekearagaman hayati yang ada di TNGGP. "Jadi, ada aja (pendaki ilegal)," kata Agus.
Berdasarkan data Balai Besar TNGGP pada 2020, setidaknya ada 177 pendaki ilegal yang ditindak oleh petugas. Sanksi yang diberikan berupa sanksi sosial seperti push up dan sanksi administratif berupa membayar tarif pendakian lima kali lipat.
Agus menegaskan, para pendaki yang kepergok memasuki kawasan TNGGP tanpa izin resmi juga akan didata. Jika masih membandel, nama sang pendaki bisa masuk daftar hitam. "Iya, bisa gitu (seumur hidup enggak bisa mendaki). Kita tidak main-main untuk penindakan di lapangan,” ujar Agus.
Agus menyarankan agar pendaki dapat mengikuti prosedur resmi untuk memperoleh izin mendaki Gunung Gede Pangrango. Menurutnya, perbedaan dalam mengurus izin pendakian, baik yang lewat TNGPP atau melalui koperasi, hanya pada besaran tarif. Kuota relatif tidak berubah.
“Kalau kuota itu, tetap sama. Cuma memang (perbedannya) mungkin dari harga. Ya, kita kan enggak ada masalah (penetapan tarif beda) ya. Yang penting kan tiket PNBP (pendapatan nasional bukan pajak) ke negara Rp34.000, kalau hari kerja Rp29.000,” ucap dia.
Ihwal adanya koperasi yang beroperasi saat kegiatan pendakian ditutup dan melonggarkan syarat dari yang ditetapkan, Agus mengaku tidak tahu-menahu. Ia enggan berkomentar sebelum mencari tahu secara identitas calo-calo yang mengatasnamakan koperasi atau paguyuban mitra resmi TNGGP.
“Nanti biar kita cross-check juga. Takutnya, oknum itu kan... Kalau koperasi, (saat pendakian) ditutup, ya, tidak boleh ada aktivitas pendakian. Ya, memang, praktik calo itu kita akui ada. Cuma, kalaupun di bawah koperasi, itu sesuai aturan. Tidak ada pengecualian semua,” jelas dia.
Lebih jauh, Agus mengingatkan agar para pendaki mengutamakan keselamatan. Meski tanpa korelasi yang jelas, menurut Agus, kebanyakan kasus pendaki hilang atau tersesat di kawasan TNGGP lebih sering terjadi pada para pendaki ilegal.
“Ya, banyak, justru kebanyakan itu ilegal. Enggak tahu ya, ya namanya gunung. Hampir 90% itu ilegal yang hilang atau ada kecelakaan. Tetapi, sebagai rasa kemanusiaan, meskipun ilegal kejadian seperti itu, ya, respons cepat ya,” terang Agus.
Tak boleh dianggap enteng
Anggota perhimpunan pendaki gunung Wanadri, Soni Takari mengingatkan agar para pendaki tak menganggap enteng simaksi dan syarat sehat secara fisik ketika ingin mendaki. Meskipun di gunung yang relatif populer, menurut pria yang akrab disapa Abah Oz itu, kegiatan pendakian secara ilegal bisa berakibat fatal.
"Ya, kelas Gunung Gede itu di atas sedikit wisata, sudah disiapkan sarana prasarana, tetapi bahaya tetap ada. Kalau gunung yang tingginya 100 (mdpl) juga bukan tempat biasa kita untuk bermain. Bahayanya tidak bisa kita duga ya,” terang Abah Oz, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (20/11).
Tak hanya krusial bagi keselamatan pendaki, menurut Abah Oz kegiatan mendaki ilegal juga akan berdampak pada keberlangsungan ekosistem hutan dan gunung. Ia menyebut ketidakpedulian terhadap prosedur resmi bisa menjadi cerminkan perilaku pendaki saat berada di gunung, semisal membuang sampah sembarangan atau merusak hutan.
“Jadi, perilaku (membuang sampah) seperti itu, pasti merusaklah itu. Ini berhubungan dengan ekosistem (hutan), berhubungan dengan perilaku binatang, ya. Dan, bisa juga kesehatan endemik terganggu,” jelas Abah Oz.
Berdasarkan catatan Balai Besar TNGGP, setidaknya ada sebanyak 333 karung sampah seberat 2.970 kilogram yang diangkut oleh petugas dari jalur pendakian Cibodas dan Gunung Putri selama periode 22 Agustus-11September. Jumlah sampah sebesar itu setara dengan berat dua pesawat Boeing-777.
“Kalau bisa (mendaki) melalui jalur resmi karena jalur resmi itu bertujuan untuk keselamatan juga, baik itu keselamatan pengelola dan keselamatan pendaki. Semua ada tujuannya dan tujuannya pasti untuk kelestarian dan keselamatan," kata Abah Oz.