Predator seksual di kampus Islam
Pesan-pesan tak senonoh mulai sering masuk ke ponsel mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri itu saat perkuliahan sudah memasuki semester ke-5. Tak hanya sekadar rayuan gombal, pesan bernada melecehkan juga diterima sang mahasiswi.
"Andai saya belum punya istri, saya mau nikahin kamu," kata si pengirim pesan dalam salah satu pesan teks yang masuk ke ponsel si mahasiswi.
Pesan lainnya yang masuk lebih kurang ajar: "Mau bercinta?" tulis si pengirim pesan.
Ketika itu, ia hanya bisa diam. Syahdan, satu semester berlalu. Sang mahasiswi kini memasuki pengujung masa kuliah dan sibuk menyusun tugas akhir. Sang mahasiswi siap meninggalkan kampus dan melupakan trauma pelecehan seksual yang dia alami.
Nahas, sang pengirim pesan tak senonoh itu ternyata ditunjuk dosen pembimbing skripsi sang mahasiswi. Yang ditakutkan pun terjadi. Dalam salah satu bimbingan, sang mahasiswi "dipaksa" datang sendirian ke rumah sang dosen.
Khawatir dipersulit lulus, sang mahasiswi pun mendatangi rumah dosen tersebut. Di tengah-tengah proses bimbingan, sang dosen mulai tak senonoh. Ia bilang sayang, menyentuh pipi, dan mencoba mencumbu saat sang mahasiswi berontak.
Ketakutan, sang mahasiswi mencoba kabur. "Jancuk!" kata dia sambil bergegas pergi. Baru beberapa langkah, dosen pembimbingnya itu ternyata menarik roknya. Ia terjatuh bersama laptop yang ia pegang. Ia kembali bangkit dan berhasil melepaskan diri.
Laptopnya ternyata rusak. Dokumen skripsi yang ia simpan di peranti elektronik itu tak terselamatkan. Murka dan depresi, sang mahasiswi melaporkan peristiwa yang ia alami ke dosen pembimbingnya yang lain. Merasa prihatin, sang dosen kemudian meneruskan curhat sang mahasiswi itu ke pihak rektorat.
Cerita dugaan pelecehan seksual itu dinukil dari sebuah utas yang diunggah akun Twitter @KBPenyintas pada 23 Agustus lalu. Dalam utas tersebut, mengunggah sebuah tautan berita sebuah media daring. Di tautan itu, terungkap pelaku pelecehan seksual ternyata Kaprodi Ilmu Alquran dan Tafsir berinisial MA.
Kasus dugaan pelecehan seksual itu diketahui pihak rektorat sejak Juli. Namun, baru setelah kisah sang mahasiswi viral di media sosial, rektorat menjatuhkan sanksi. Oleh rektor IAIN Kediri, MA dicopot dari jabatannya, tidak boleh naik pangkat selama dua tahun, dan tidak boleh membimbing skripsi selama dua semester.
September lalu, sebuah petisi diluncurkan di Change.org menyoal kelanjutan kasus dugaan pelecehan seksual itu. Inisiator petisi ialah para senior sang mahasiswi di IAIN Kediri yang tergabung dalam Perempuan Peduli.
Dalam petisi itu, mereka menuntut agar kasus itu diusut Polres Kediri dan MA tidak lagi diperkenankan mengajar. Hingga Rabu (21/12), tercatat sudah ada 14.298 orang yang telah menandatangani petisi tersebut.
"Sekarang saat korban berani untuk bersuara, pihak rektorat malah nyuruh diam. Jadi kami alumni harus turun tangan... Bantu kami untuk menegakkan keadilan bagi korban pelecehan, ya," tulis para pembuat petisi.
Alinea.id berulangkali mencoba menghubungi Rektor IAIN Kediri Nur Chamid untuk menanyakan soal kelanjutan kasus yang melibatkan MA dan kasus-kasus dugaan kekerasan seksual lainnya yang terjadi di lingkungan kampus yang ia pimpin. Namun, Nur Chamid tak mau merespons permintaan wawancara Alinea.id.
Marak di kampus Islam
Berbasis laporan media massa yang dipublikasikan pada periode Januari 2020 hingga November 2021, hasil riset Alinea.id menemukan 26 kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Khusus di IAIN Kediri, tercatat ada empat dosen yang diduga jadi pelaku dan lima korban dari kalangan mahasiswa.
Penelusuran Alinea.id juga mengindikasikan kampus dengan embel-embel Islam ternyata tak aman dari intaian predator seksual. Dari data yang dikompilasi, tercatat setidaknya ada 9 kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus berbasis agama.
Selain di IAIN Kediri, kasus dugaan kekerasan seksual diberitakan terjadi di lingkungan kampus IAIN Kendari, IAIN Parepare, IAIN Kerinci, IAIN Pontianak, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, IAIN Tulungagung dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Di IAIN Kendari, tercatat setidaknya ada dua dugaan kasus kekerasan seksual. Kasus pertama diberitakan pada akhir 2020 dan diduga melibatkan seorang oknum pengajar. Dalam peristiwa itu, sang dosen dilaporkan memaksa melakukan panggilan video dengan korban dan meminta sang korban membuka pakaiannya.
Kasus lainnya diberitakan pada November 2021. Pelakunya seorang mahasiswa dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Kendari. Ia dilaporkan mencoba memperkosa rekan mahasiswi satu jurusan. Kasus tersebut kini ditangani Polres Baruga.
Kepada Alinea.id, salah satu rekan sang mahasiswi yang tak ingin diungkap identitasnya mengatakan korban saat ini masih trauma. "Belum bisa bicara banyak. Saya setiap hari masih mendampingi dia agar enggak trauma lagi," ujar dia saat dihubungi, Rabu (15/12).
Alinea.id mencoba menghubungi Rektor IAIN Kendari Faizah Binti Awad untuk mengonfirmasi kelanjutan penanganan kasus-kasus dugaan kekerasan seksual tersebut dan langkah-langkah kampus untuk mencegah peristiwa serupa berulang. Faizah menolak berkomentar.
Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Iche Margareth Robin mengatakan kasus-kasus dugaan kekerasan seksual yang terungkap ke publik hanya puncak gunung es. Menurut dia, banyak kasus dugaan kekerasan seksual tidak terendus lantaran pihak kampus berupaya menutup-nutupinya.
"Sekalinya adanya korban yang berani melapor, jalan keluar yang ditawarkan justru musyawarah yang tidak mengutamakan kepentingan korban dan malah cenderung merugikan korban. Menurut pihak kampus, sikap korban yang melaporkan telah mencoreng nama baik lembaga pendidikan tersebut," ucap Iche kepada Alinea.id, Selasa (14/12).
Berbasis agama maupun tidak, menurut Iche, kekerasan seksual rentan terjadi di lingkungan kampus lantaran adanya ketimpangan relasi gender dan kuasa, baik itu antara pengajar dan mahasiswa maupun antara senior dan junior.
Relasi yang timpang itu, kata Iche, terutama membuat dosen atau petinggi kampus merasa leluasa menekan korban dengan ancaman sanksi akademik. Walhasil, korban seringkali enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya karena takut proses perkuliahannya dipersulit oleh pihak kampus.
"Banyak kasus-kasus yang terjadi justru korban yang dipersalahkan. Adanya budaya yang melanggengkan jika siswa atau mahasiswa harus selalu mengikuti perintah guru, dosen, tenaga pendidik. Belum lagi ancaman-ancaman yang dilakukan oleh pelaku," jelas Iche.
Kendala lainnya ada pada regulasi. Menurut Iche, banyak kejahatan seksual yang tidak bisa berlanjut ke ranah hukum lantaran sempitnya definisi kekerasan seksual dan terbatasnya payung hukum yang bisa digunakan untuk menjerat para pelaku.
Pada Kitab Utama Hukum Pidana (KUHP), misalnya, setidaknya hanya ada tiga pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, yakni Pasal 285 untuk perkosaan, Pasal 289 KUHP untuk
pencabulan, dan Pasal 294 KUHP perbuatan cabul dengan relasi kuasa.
"Yang mana untuk pembuktiannya membutuhkan minimal dua alat bukti. Sedangkan korban terkadang baru berani melapor setelah kejadian yang dialaminya sudah lama terjadi. Untuk memproses lebih lanjut, maka korban dibebankan untuk membuktikan perbuatan pelaku," tutur dia.
Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS yang terbit belum lama ini memperluas definisi kekerasan seksual. Tercatat, ada 13 jenis kekerasan seksual dalam beleid yang ditandatangani Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim itu, termasuk di antaranya mengintip, mengeluarkan ucapan verbal bernuansa seksual, dan memandang dengan tatapan bernuansa seksual.
Khusus di lingkungan kampus Islam, menurut Iche, sudah ada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) untuk melindungi civitas akademika dari ancaman predator seksual.
Namun demikian, Iche mengakui masih banyak kampus yang belum menganggap serius perkara kekerasan seksual. "Kami menghimbau perguruan tinggi untuk dapat memiliki SOP (standard operational procedure) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi," ucap Iche.
Ubah persepsi
Senada, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan hingga kini masih banyak kasus kekerasan seksual yang belum terungkap ke publik. Pasalnya, tidak semua kasus kekerasan dilaporkan. Pihak kampus pun cenderung menganggap perkara semacam itu sebagai aib yang harus ditutupi.
"Belum semua dilaporkan dan juga tak semua terungkap secara publik termasuk oleh media massa. Ketika diberitakan oleh media massa, masyarakat terkejut karena kampus dipandang sebagai ruang moralitas dan pendidikan, serta lembaga terhormat di mata publik,"kata Rainy kepada Alinea.id, Senin (13/12).
Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat ada 2.945 kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi pada perempuan. Sebanyak 27% di antaranya terjadi di lingkungan kampus. Selain dosen, pelaku kekerasan seksual berasal dari kalangan petinggi kampus dan mahasiswa.
Kasus-kasus kekerasan seksual tersebut, kata Rainy, kerap berulang karena langgengnya impunitas pejabat kampus. Jika korbannya mahasiswa dan pelakunya dosen, perguruan tinggi cenderung memilih menutupi kasus tersebut demi nama baik lembaga dan integritas para pengajar.
"Untuk menjaga nama baik kampus, korban dikeluarkan dari kampus, atau dikenakan sanksi tak boleh mengikut ujian, atau dipersulit proses pendidikannya sehingga korban takut melapor dan memilih bungkam. Ini merupakan (bentuk) relasi kekuasaan lembaga pendidikan dengan individu korban," ucap Rainy.
Hasil riset Alinea.id menunjukkan bahwa pihak kampus kerap mengeluarkan respons janggal saat menangani laporan kekerasan seksual. Rektor IAIN Pontianak Syarif, misalnya, malah mempertanyakan kasus kekerasan seksual yang baru dilaporkan setahun setelah peristiwa terjadi.
Rainy mengaku tidak heran banyak perguruan tinggi--termasuk kampus-kampus berbasis agama--yang terkesan malah menyalahkan korban. Itu karena berkembangnya budaya yang menganggap perempuan sebagai "penggoda syahwat".
"Rape culture yang berakibat blaming the victim. Masyarakat kita cenderung menyalahkan perempuan korban. Perempuan penyebab terjadinya kekerasan seksual. Stereotipe negatif hawa sang penggoda. Busana, dandanan, pulang larut, antara lain dituduhkan kepada perempuan korban," kata Rainy.
Sejauh ini, Rainy menilai aparat penegak hukum juga masih memandang kasus kekerasan seksual dengan kaca mata kuda. Polisi kerap enggan menangani kasus kekerasan seksual apabila tidak disertai saksi dan bukti fisik. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang menguap tanpa penyelesaian yang jelas.
"Kasus-kasus pelecehan seksual, misalnya, payudara korban dipegang atau rayuan bernuansa seksual yang tak disertai saksi dan bukti fisik. Kasus-kasus itu biasanya malah mengalami hambatan dalam pengaduan," ujar Rainy.
Dengan terbitnya Permendikbud-Ristek 30/2021, Rainy berharap semua perguruan tinggi segera menyusun SOP untuk mencegah kejahatan seksual di lingkungan kampus. Sebagaimana isi regulasi itu, SOP harus berpegangan pada kepentingan terbaik korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
"Juga harus independen dan ada jaminan ketidakberulangan. Lembaga perguruan tinggi sudah seharusnya memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual agar kampus menjadi ruang aman bagi perempuan atau kawasan bebas dari kekerasan," tegas Rainy.