Anggota Komisi I DPR Christina Aryani, meminta Presiden Joko Widodo menjelaskan secara utuh terkait rencana mengevaluasi jabatan perwira TNI pada jabatan sipil. Karena konteks rencana evaluasi itu menyangkut banyak hal, termasuk perubahan undang-undang.
"Kami meminta penjelasan lebih utuh konteks evaluasi yang dimaksud Presiden ini seperti apa? Apalagi ada pernyataan 'semua akan dievaluasi'. Ini maksudnya bagaimana? Harus jelas dulu di situ," kata Christina dalam keterangan di Jakarta, Rabu (2/8).
Presiden Jokowi mengatakan, akan mengevaluasi menyeluruh soal penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga. Rencana evaluasi itu disampaikan presiden, Senin (31/7), menyusul penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka kasus dugaan suap di KPK.
Menurut Aryani, evaluasi menyangkut pos penempatan perwira TNI pada jabatan sipil akan menyangkut revisi undang-undang. Sebab, penempatan jabatan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Pasal 47 UU TNI mengatur ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
"Apakah konteks pos penempatan yang mau dievaluasi? Tentu kita membutuhkan penjelasan lebih utuh mengenai hal ini agar tidak menimbulkan polemik atau pertanyaan," tuturnya.
Aryani juga mempertanyakan apakah konteks evaluasi yang dimaksud lebih terkait persoalan hukum dan penyelewengan anggaran. Agar di kemudian hari tidak kembali terjadi apa yang dialami Kepala Basarnas dengan KPK.
"Kami kembalikan dulu pada Presiden Jokowi maksud evaluasinya seperti apa. Meski kami tentu sepakat jika tujuan evaluasi dalam rangka perang terhadap korupsi dan memastikan koordinasi antar lembaga negara bisa berjalan dengan baik," kata Aryani.
KPK telah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka pada Rabu (26/7). Henri diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas pada rentang waktu 2021-2023.
Penetapan itu diprotes TNI karena proses hukum terhadap prajurit aktif harus melalui mekanisme hukum dari militer, yaitu melalui Puspom TNI, Oditurat Militer, dan Pengadilan Militer. Beberapa hari setelah protes itu pun, pimpinan KPK mengaku khilaf dan menyerahkan kasus suap Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI.