close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Dok. Kejaksaan Agung
icon caption
Gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Dok. Kejaksaan Agung
Nasional
Senin, 25 April 2022 16:12

Presiden Direktur Krakatau diperiksa terkait kasus dugaan korupsi

Pemeriksaan Presiden Direktur Krakatau Steel dalam kapasitas sebagai saksi.
swipe

Tim penyidik Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) memeriksa satu orang saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan, saksi yang diperiksa yaitu IP. Ia merupakan President Director Krakatau Engineering.

"Diperiksa terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011," kata Ketut dalam keterangannya, Senin  (25/4).

Sebelumnya, penyidik juga memeriksa FP yang merupakan mantan Direktur Operasi 1 pada PT Krakatau Engineering. Pemeriksaan dilakukan dalam kapasitas sebagai saksi.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Kejagung, Supardi menambahkan, pihaknya sudah mendapatkan titik terang kasus tersebut. Dia mengaku, pihaknya sudah menjadwalkan adanya perkembangan sebelum Ramadan usai.

Di sisi lain, dia memastikan koordinasi dengan pihak Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait kerugian negara terus dilakukan. Namun, dia belum membeberkan kapan gelar perkara penetapan tersangka dilakukan.

"Saya yakini sudah ada titik terang. Mudah-mudahan sebelum Lebaran ini bisa kita selesaikan berdasarkan timeline," ucapnya. 

Kasus ini bermula dari Krakatau Steel yang melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik pada 31 Maret 2021. Tender lantas dimenangkan Konsorsium MCC Ceri dan PT Krakatau Engineering. 

Pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai export credit agency (ECA) dari China. Namun, ECA dalam pelaksanaannya tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena kinerja keuangan Krakatau Steel, yang dinilai dengan metode pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi alias earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA), tak menuhi syarat. 

"Selanjutnya, pihak PT KS mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia), Mandiri, BNI (Bank Negara Indonesia), OCBC, ICBC, CIMB bank, dan LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia)," ucap Ketut. 

Nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp6,9 triliun. Sementara, uang yang dibayarkan senilai Rp5,3 triliun dengan perincian dari bank luar negeri senilai Rp3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun. 

Pada 19 Desember 2019, proses pembangunan dihentikan. Alasannya, berdasarkan hasil uji coba operasi, biaya produksi lebih besar dibandingkan harga baja di pasar. Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tak dapat beroperasi lagi atau mangkrak.

Padahal, Krakatau Steel membangun pabrik BFC dengan tujuan meningkatkan produksi baja nasional. Proyek itu dimulai dari 2011-2015 dan dilakukan beberapa kali addendum hingga 2019.

"Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan