close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi/Foto dok KPK RI
icon caption
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi/Foto dok KPK RI
Nasional
Senin, 07 Juni 2021 20:26

Presiden Jokowi dinilai tutup mata soal TWK

Presiden tidak sulit untuk menyatakan 75 orang tak lulus asesmen alih status ASN itu tetap menjadi pegawai KPK.
swipe

Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Khoirul Umam, berpendapat, tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK bagian kecil dari mulai berjalannya neopatrimonial. Dalam konteks itu, dia mengatakan, posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih dipertanyakan.

Menurut Umam, Presiden perlu membuat pernyataan lebih klir terkait TWK. Pasalnya, arahan Kepala Negara beberapa waktu lalu yang minta TWK tak serta merta dijadikan dasar pemberhentian tidak diindahkan karena 51 dari 75 pegawai gagal lulus dipecat.

"Dalam konteks ini Presiden tutup mata terhadap apa yang terjadi di KPK per detik ini. Saya tidak tahu, syukur-syukur nanti sore, besok pagi, Presiden Jokowi memberikan statement yang lebih klir, lebih meneduhkan, dan memberikan kepastian terhadap konstelasi internal KPK," ujarnya saat diskusi virtual, Senin (7/6).

Umam menambahkan, Presiden sebetulnya tidak sulit untuk menyatakan 75 orang tak lulus asesmen alih status aparatur sipil negara atau ASN itu tetap menjadi pegawai KPK. Sebab, sebagai Kepala Negara, Jokowi merupakan pimpinan tertinggi ASN.

Namun jika Presiden tetap diam, Umam menilai, pernyataannya tempo hari soal TWK hanya gimmick. Bila itu yang terjadi, Dia mengatakan, berpotensi memunculkan neootoritarianisme di Indonesia setelah reformasi 1998.

"Mengapa itu terjadi (neootoritarianisme)? Karena hemat saya pribadi, pascareformasi, KPK adalah satu-satunya instrumen penegakan hukum yang bisa melakukan koreksi terhadap kekuasaan, ini tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada kepolisian, kejaksaan," ucapnya.

Oleh sebab itu, kata Umam, kalau KPK dilemahkan, maka menjadi awal bangkitnya rekonsolidasi kekuatan neootoritarianisme di masa reformasi. Di sisi lain, dia memprediksi, kalau 51 pegawai tetap "diparkirkan", maka yang kemungkinan terjadi bisa dua hal.

"Kerja-kerja antikorupsi akan sangat efektif dimanfaatkan sebagai instrumen politik yang ditujukan sebagai upaya penciptaan stabilitas politik internal di koalisi kekuasaan atau sebaliknya, untuk menekan para rival dan kompetitor politik sebagai target-target pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan," ucapnya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Achmad Rizki
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan