Pretty Boys: Kritik setengah hati pada bobroknya industri televisi
Tompi, yang bernama asli Teuku Adifitrian, memang telah cukup dikenal di dunia hiburan Indonesia. Dia dikenal sebagai penyanyi Jazz sekaligus dokter bedah plastik ternama di Tanah Air. Namun, siapa sangka Tompi kini hadir sebagai sutradara film.
Debut Tompi yang dimulai lewat film "Pretty Boys", membuahkan hasil tak terlalu buruk. Film garapannya mendapat rating 7,6/10 di Internet Movie Database (IMDb).
Bukan hanya pengalaman baru bagi Tompi, film ini juga menjadi awal debut karir perfilman bagi Deddy Mahendra Desta dan Vincent Rompies, baik sebagai pemeran utama maupun produser film.
Mantan vokalis grup band Killing Me Inside, Onadio Leonardo, juga menjajal peran sebagai aktor layar lebar untuk pertama kalinya dalam film ini.
Meski menjadi film perdana bagi sejumlah orang yang terlibat di dalamnya, film produksi The Pretty Boys Pictures dan Anami Films ini cukup berani mengangkat sisi buruk dunia pertelevisian Indonesia.
Sinopsis
Film yang dibalut dengan unsur romansa komedi ini mengisahkan ambisi dan perjalanan karier dua sahabat bernama Rahmat Maha Esa/Mathew (Desta) dan Anugerah Santoso/Nugi (Vincent Rompies). Keduanya bermimpi menjadi pembawa acara terkenal yang kerap seliweran di layar kaca Indonesia.
Namun, keduanya punya ambisi berbeda dari mimpi tersebut. Jika Rahmat ingin terkenal agar dikelilingi oleh banyak perempuan cantik, Anugerah ingin disandingkan dengan pembawa acara idolanya seperti Koes Hendratmo, Nico Siahaan, Bob Tutupoli, atau Sonny Tulung.
Namun perjuangan mereka tidak mudah. Anugerah ditentang sang Ayah, Jono (Roy Marten), yang menganggap dunia hiburan penuh dengan hal negatif. Kekangan Jono membuat Angerah kabur dari kampung halaman dan mengadu nasib di Jakarta bersama Rahmat.
Setibanya di Jakarta, tantangan hidup yang dihadapi semakin berat. Meski berhasil menggapai cita-cita menjadi pembawa acara terkenal, namun kenyataan tak sesuai dengan yang mereka impikan.
Dari situlah satu per satu konflik yang menguji persahabatan keduanya muncul. Dimulai dari perbedaan ambisi keduanya tentang cita-cita menjadi terkenal, kisah cinta segitiga dengan sosok wanita penyemangat bernama Asty (Danilla Riyadi), hingga konflik sosial lainnya.
Sebagai sebuah film bergenre komedi, film ini cukup berhasil mengundang tawa. Pemeran utama , Vincent dan Desta, yang berlatar belakang pembawa acara komedi, membuat penonton tak menemukan banyak perbedaan karakter tokoh di film tersebut dengan peran yang selama ini mereka jalani.
Candaan ala "Tonight Show", talk show yang mereka bintangi di televisi, kerap muncul seperti tak asing di kuping penonton. Penempatannya diatur dengan tepat dan jarang sekali meleset dari alur cerita film.
Alur cerita disusun dengan rapi. Dimulai dari tujuan hidup kedua pemeran utama, bagaimana keduanya melalui proses-proses yang ada, konflik, hingga solusi dan penyelesaiannya dipaparkan secara pas. Semuanya mengalir secara teratur, tanpa ada lompatan cerita yang membuat bingung penonton.
Tak sekadar isi dan penyajian cerita saja yang tertib, tata cahaya juga disajikan dengan apik. Komposisi angle kamera juga ditampilkan secara beragam.
Salah satu yang mencolok terjadi pada adegan Anugerah, Rahmat, dan Bos CCTV saat berada di dalam mobil. Di dalam mobil yang sempit, kamera diletakkan di luar mobil di bagian samping, dan dasbor, sehingga penontot bisa mengobservasi apa yang sedang terjadi.
Semua itu memberi kesan kreatif pada film ini.
Soundtrack film juga menyuguhkan nada-nada yang enak di telinga. Film berdurasi sekitar 100 menit ini melibatkan banyak musisi indie seperti Nadin Amizah, Danilla Riyadi, White Shoes & The Couples Company, Ardito Pramono, dan NAIF.
Akting para pemain baru seperti Onadio Leonardo dan Danilla Riyadi terbilang berhasil. Danilla tampil mulus memerankan tokoh Asty yang genit dan nakal. Sosok sangar Onadio juga cukup menjiwai dalam memerankan karakter Rony yang kemayu.
Sayang, misi utama mengangkat realitas industri pertelevisian Tanah Air justru kurang tereksplor. Boroknya industri pertelevisian memang diperlihatkan. Mulai dari obsesi terkenal di layar kaca yang membuat siapapun rela menjadi apa saja, paksaan menjalankan peran yang tidak diinginkan demi menaikkan rating program, menyewa penonton bayaran namun telat membayar honornya, sindiran terhadap acara-acara TV yang kerap membuka aib, hingga buta materi yang membuat artis maupun manager harus terlilit hutang.
Akan tetapi, kritik-kritik terhadap persoalan itu tidak dilakukan secara tajam dan hanya disajikan seadanya. Penonton jadi lebih fokus terhadap drama hidup persahabatan dan percintaan kedua pemeran utama, ketimbang kritik sosial yang ingin disampaikan. Dengan demikian, film ini hanya menyajikan satir sosial biasa.
Penutup konflik pun terasa disajikan terburu-buru. Hal ini tampak pada adegan Roni yang menghilang setelah rating program 'Kembang Gula' jeblok. Roni sempat menghilang, hingga dikabarkan sudah dibekuk polisi akibat ulah curangnya. Entah apa alasannya, namun adegan yang menjelaskan alasan penangkapan Roni diceritakan singkat sekadar dari siaran berita televisi nasional.
Kesimpulan
Film yang tayang perdana pada 19 September 2019 ini cukup layak ditonton, terutama bersama kerabat dekat maupun keluarga. Kesan menghibur yang ingin disungguhkan tersampaikan secara langsung.
Kritik terhadap dunia pertelevisian Indonesia yang meskipun dilakukan setengah hati, patut diapresiasi.
Kesan menghibur yang ingin disungguhkan tersampaikan secara langsung. Kritik terhadap dunia pertelevisian Indonesia yang meskipun dilakukan setengah hati, patut diapresiasi.