Problem lama hunian pinggir rel kereta
Di bawah jembatan layang daerah Cideng, Jakarta Pusat, Kamis (25/3) siang, sepeda motor mondar-mandir melewati lintasan rel kereta api ke arah Stasiun Tanahabang. Tak lama, sembari mengibarkan bendera kain berwarna merah, Dani berlari kecil memperingatkan anak muda yang menjaga lintasan kereta api itu untuk siaga.
Perlintasan itu tak berpalang. Dengan sigap, beberapa anak muda menghentikan sejumlah sepeda motor yang akan melintas rel kereta. Tak lama, kereta melaju.
“Saya tugasnya melihat kereta dari Tanahabang,” ujar Dani saat berbincang dengan reporter Alinea.id.
Pekerjaan sebagai pemegang bendera untuk mengingatkan ada kereta yang bakal melintas dilakoni Dani sejak beberapa bulan terakhir. Pemasukannya tergantung kebaikan hati pengendara sepeda motor yang melintas. Pendapatannya jelas tidak menentu.
Pria berusia 53 tahun itu sudah sejak kecil tinggal di permukiman pinggir rel kereta kawasan Cideng. Ia sudah biasa mendengar desing kereta yang melintas. Bertahun-tahun tinggal di sana, ia mengaku, bahaya kerap mengintai.
Namun, ayah empat orang anak itu memilih tetap bertahan. Pria lulusan sekolah dasar ini tak pernah berniat pindah, meski pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta seringkali meminta warga di kawasan itu angkat kaki.
Dani tinggal di rumah semi permanen, warisan dari orang tuanya. Rumah itu berdiri di atas tanah milik PT KAI Daop 1 Jakarta, dengan status sebagai pemakai.
"Mau ke mana lagi? Rumah saya ada di sini," kata dia.
Rumah-rumah semi permanen yang berdiri di sepanjang pinggir rel kereta kawasan Cideng itu berhimpitan satu sama lain. Jaraknya kurang tiga meter dari rel kereta.
Sisi kanan dan kiri antara rel kereta dan permukiman dibatasi pagar besi berwarna hijau. Namun, ada permukiman yang tanpa batas pagar sama sekali. Terlihat aktivitas warga di pinggir rel kereta. Bahkan, ada yang mengendarai sepeda motor di pinggiran rel kereta. Belasan sepeda motor warga pun terparkir di dekat rel kereta.
Serupa dengan Dani, salah seorang warga lainnya, Rosmina, juga mengaku sudah tinggal di daerah itu sejak kecil. Kini, ia tinggal di rumah semi permanen bersama suami dan anaknya yang ketiga.
“Ini rumah peninggalan kakak laki-laki saya,” kata dia.
Rosmina sudah terbiasa mendengar kabar kecelakaan yang menimpa warga di kawasan itu. "Di samping rumah saya ini, suaminya meninggal karena disambar kereta. Di sebelah anak kecil. Di depan itu ada ibu-ibu meninggal diserempet saat beli beras," kata dia.
Persis di depan rumahnya, ada plang besi bertuliskan “Tanah Negara. Dilarang Masuk/Memanfaatkan. Pasal 167 ayat 1 Yo 389 Yo 551 KUHP. Departemen Perhubungan. Proyek Prasarana Kereta Api (Proyek Jabotabek-KA).” Rosmina berkilah, tanah itu berstatus pemakaian.
“Tidak ada perjanjian,” tuturnya.
Meski demikian, Rosmina mengaku tak tenang. Beberapa kali, rumahnya “dipotong” untuk pelebaran lintasan kereta api. Di belakang rumahnya terdapat kali, yang membuat dapurnya juga ikut dipapas beberapa waktu lalu.
"Itu ada tanda merahnya, sudah dipotong. Tapi dapat gantian juga," ujar perempuan asal Semarang, Jawa Tengah ini.
Rosmina mengatakan, rumahnya belum pernah kena gusur. Ia sendiri pasrah jika sewaktu-waktu PT KAI memerintahkan ia dan warga lainnya angkat kaki.
“Mudah-mudahan tidak terjadi ya. Habis mau ke mana lagi,” ujar dia.
Masalah dan solusi
Hunian di pinggir rel kereta api kerap ditertibkan pemerintah daerah maupun PT KAI. Terakhir, pada 18 Maret 2021, PT KAI Daop 1 Jakarta membongkar 95 bangunan semi permanen yang ada di pinggir rel kereta lintas Pasar Senen hingga Ancol, Jakarta. Penertiban itu dilakukan lantaran kondisi kanan-kiri pinggir rel sangat membahayakan perjalanan kereta api.
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna mengatakan, PT KAI Daop 1 Jakarta punya wewenang melakukan penggusuran di kawasan Cideng dan pinggir kereta api lainnya, jika rumah yang ditinggali warga merupakan tanah milik negara.
Kendati begitu, menurut Yayat menata permukiman semi permanen bukan pada persoalan kepemilikan tanah, tetapi bagaimana menata kawasan itu menjadi lebih elok.
"Karena sudah berapa kali kita melihat daerah kumuh pinggiran kereta terbakar. Nah, itu mengakibatkan gangguan perjalanan," kata Yayat saat dihubungi, Jumat (26/3).
Munculnya hunian di pinggiran rel kereta di wilayah Jakarta, kata Yayat, karena urbanisasi. Warga yang mengadu nasib ke Jakarta, tak diimbangi dengna sumber daya manusia yang mumpuni.
“Jadi, ketika harga rumah makin mahal, penduduk makin banyak datang, maka akan mencari tanah yang paling murah, atau tanah gratis atau tanah sewa, yang menurut mereka terjangkau untuk mereka tinggal,” kata dia.
Sementara itu, pengamat tata kota lainnya, Nirwono Joga menerangkan, ada dua persoalan yang kerap muncul terkait penataan permukiman di dekat rel kereta api. Pertama, berhubungan dengan upaya penertiban permukiman. Menurut Nirwono, PT KAI Daop 1 Jakarta kerap terkendala personel dan dana untuk melakukan penertiban.
"Karena kalau Pemda DKI melakukan penertiban (biasanya) dilakukan Satpol PP, plus dengan polisi, bahkan bisa melibatkan tentara. Nah di sini PT KA kesulitan. Untuk melakukan penertiban sendiri, mereka harus punya dana yang cukup," kata dia saat dihubungi, Jumat (26/3).
Kedua, masalah lemahnya koordinasi PT KAI dengan pemerintah daerah yang dilewati jalur kereta api. Selama ini, kata dia, koordinasi hanya sebatas pertemuan.
Dalam melakukan penertiban, sebenarnya ada beberapa aturan yang menjadi dasar. Pemprov DKI Jakarta, kerap melakukan penggusuran permukiman di tepi rel kereta dengan dasar Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Penertiban Umum. Sedangkan PT KAI, menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Di dalam Pasal 178 Undang-Undang 23/2007 disebutkan, setiap orang dilarang membangun gedung, tembok, pagar, tanggul, dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan.
Jarak ruang kanan-kiri milik jalur kereta api pun diatur lebarnya paling sedikit enam meter. Hal itu disebutkan dalam pasal 42 ayat 1 undang-undang yang sama.
Meski begitu, Nirwono mengingatkan, penataan permukiman di pinggir rel kereta tak hanya sebatas penertiban semata. Harus dipikirkan pula relokasi warga yang terdampak penggusuran, dengan jaminan rumah tinggal dan lapangan pekerjaan.
"Kalau dua akar persolaan itu tidak diselesaikan, mereka hanya akan pindah, baik ke jalur hijau kereta api, jalur hijau bantaran sungai, atau kolong jembatan layang," kata dia.
Salah satu jalan keluar yang bisa diusahakan, ujar Nirwono, adalah kerja sama antara PT KAI Daop 1 Jakarta dengan Pemprov DKI Jakarta dalam menyediakan rumah susun sewa (rusunawa).
"Nah itu win-win solution sebenarnya. Karena pemda kabupaten/kota dituntut sebenarnya untuk menambah ruang terbuka hijau. Dia ditargetkan untuk menambah 30%," kata Nirwono.