Problem pelik dan tak pernah selesai gelandangan di Jakarta
Kamis dan Minggu malam adalah waktu yang ditunggu-tunggu penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) gelandangan yang bekerja sebagai pemulung, yang banyak mendiami Jalan KH Hasyim Ashari, Jakarta Pusat. Sebab, saban malam itu bakal melintas mobil dermawan yang memberi sedekah berupa makanan dan uang.
“Kalau enggak diperhatiin (mobil dermawan), kita bisa enggak kebagian,” ucap Neneng kepada Alinea.id, Kamis (13/1).
Jika ada mobil yang menepi ke pinggir jalan, menghampiri gelandangan, Neneng gerak cepat. Ia khawatir tak kebagian jatah sedekah karena ada ratusan gelandangan di sana.
“Setiap hari, yang tidur di sini semakin banyak. Jadi saling berebutan,” tuturnya.
Jadi gelandangan karena terpaksa
Neneng, beserta suami dan anaknya yang berusia empat tahun sudah menjadi gelandangan di sekitar pusat perbelanjaan ITC Roxy Mas sejak dua tahun lalu. Menurut suami Neneng, Totong, penyebabnya mereka diusir dari rumah kontrakan karena tak mampu membayar.
Keluarga asal Malingping, Lebak, Banten itu setiap hari memulung di sekitar Mangga Besar dan Kota Tua, Jakarta. Jika malam tiba, Totong dan keluarganya beristirahat, mencari emperan toko di Jalan KH Hasyim Ashari. Selain risiko terguyur hujan deras, Totong dihinggapi rasa khawatir terjaring razia Satpol PP.
Mulanya, Neneng dan Totong bekerja sebagai buruh garmen di daerah Tambora, Jakarta Barat. Namun, mereka di-PHK karena alasan efisiensi imbas pandemi Covid-19.
“Jujur saja, saya mau nangis. Anak saya masih kecil dan harus ikut saya mulung. Itu bikin saya sedih,” ujar Totong.
Ia enggan pulang ke kampung halamannya lantaran tak mau menyusahkan orang tuanya. “Prinsip saya, sesusah apa pun di Jakarta, saya enggak mau nyusahin orang tua. Kasihan saya sama mereka, sudah tua tapi nanggung keluarga saya,” katanya.
Totong sudah merantau ke Jakarta sejak 2016. Ia merasa, kehidupan di Jakarta hanya memberi ilusi bagi dirinya yang lulusan SD.
Suryana, lansia berusia 61 tahun, terpaksa menjadi gelandangan usai diusir dari kontrakannya karena tak mampu membayar sejak empat tahun lalu. Awalnya, pria asal Majalengka, Jawa Barat ini bekerja serabutan di daerah Grogol, Jakarta Barat. Setelah suatu malam ia melihat kerumunan gelandangan meminta uang dari seorang dermawan, Suryana memutuskan menetap di Jalan Hasyim Ashari.
“Sampai akhirnya diajak mulung sama teman,” ucapnya, Kamis (13/1).
Hidup luntang-lantung di usia senja, sangat berat bagi Suryana. Ia kerap dibayangi ketakutan ditangkap Satpol PP. Setiap malam, ia hanya tidur beralas kardus dan karung.
Suryana mengaku, keluarganya di kampung halaman tak mengetahui kondisi dirinya yang sebenarnya. “Keluarga mah tahunya saya kuli bangunan di Jakarta,” kata Suryana.
“Saya sudah empat tahun enggak pulang, saya pengen pulang, semakin hari semakin susah hidup di Jakarta.”
Namun, ia mengatakan tak punya bekal untuk kembali ke Majalengka. Pendapatan dari memulung, katanya, hanya cukup untuk makan sehari.
“Malah sering enggak makan karena belum bisa dijual,” tuturnya.
“Syukur-syukur ada saudara di kampung yang jemput. Jujur aja, saya nyerah.”
Mohammad Hatta, perantau asal Pemalang, Jawa Tengah, bahkan sudah delapan tahun menggelandang di Jakarta. Lima tahun belakangan, pria berusia 68 tahun itu belum pernah pulang kampung.
“Anak-istri saya di kampung. Kalau pulang, saya cuma nyusahin mereka dan bingung mau kerja apa,” kata Hatta, Kamis (13/1).
“Saya sudah tua, sudah enggak begitu bisa jalan jauh.”
Pria yang sudah merantau ke Jakarta sejak 1980-an itu mengaku, sering kalah saing dengan gelandangan yang berusia lebih muda dalam urusan berebut sedekah. Terkadang, Suryana berbagi makanan dengan Hatta bila tak kebagian rezeki dari para dermawan.
Ia mengatakan, sudah beberapa kali ditangkap Satpol PP dan dijanjikan bakal dipulangkan ke Pemalang. Namun, hingga kini janji itu hanya isapan jempol.
"Ujung-ujungnya dibalikin ke sini lagi," ucap Hatta.
Hatta mengaku ingin pulang ke Pemalang. Ia berkeinginan menutup usia di kampung halaman agar dekat dengan keluarga.
Perlu penanganan pemda asal
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total PMKS di wilayah DKI Jakarta, seperti anak jalanan, gelandangan, pengemis, anak telantar, bekas warga binaan lapas, dan lain-lain pada 2020 sebanyak 2.169 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2018, yakni 1.992 orang.
Khusus jumlah gelandangan di Jakarta, pada 2020 ada 1.003 orang. Menurun dibandingkan tahun 2018, sebanyak 1.792 orang.
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta, Premi Lasari mengungkapkan, banyaknya gelandangan di Jalan KH Hasyim Ashari disebabkan dampak ekonomi akibat pandemi. Ia mengatakan, pihaknya sudah berulang kali melakukan penertiban.
"Ada monitoring dan penghalauan PMKS seputaran Roxy dan Mangga Besar dengan pendekatan persuasif," ucap Premi saat dihubungi, Sabtu (15/1).
Meski begitu, ia tak berkomentar ketika ditanya langkah strategis yang bakal dilakukan untuk mencegah gelandangan eksis di jalanan Ibu Kota. “Kami lakukan penertiban,” katanya.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Lidya Triana mengatakan, persoalan PMKS seperti gelandangan tak cukup diselesaikan dengan penangkapan. Akan tetapi, perlu disertai peningkatan keahlian dan menciptakan peluang kerja di daerah asal mereka.
"Rata-rata yang menjadi PMKS kan tingkat pendidikannya rendah dan akhirnya enggak punya pekerjaan," ucap Lidya, Senin (17/1).
Permasalahan PMKS gelandangan, kata dia, sangat kompleks dan tak bisa hanya diselesaikan pemangku kepentingan di Jakarta, tetapi harus ada penanganan dari daerah asal.
"Mereka ini sebenarnya terjebak di situasi pelik di Jakarta. Karena mereka pikir dengan ke Jakarta seketika hidup bisa berubah. Padahal mereka tidak datang dengan keahlian," kata Lidya.
Lebih lanjut, menurut Lidya, daerah yang selama ini menjadi penyumbang gelandangan harus lebih optimal meningkatkan taraf hidup warganya lewat pendidikan dan peluang usaha. Terlebih saat pandemi seperti sekarang. Bila tidak, kata dia, bakal ada regenerasi gelandangan baru yang “terjebak” di kota-kota besar, seperti di Jakarta.
"Jadi harus makro (penyelesaiannya), enggak bisa sektoral," ucap Lidya.
Lidya menilai, banyaknya gelandangan di Jalan Hasyim Ashari bisa jadi petanda munculnya gelandangan baru akibat kondisi ekonomi yang terpuruk imbas pandemi. Jumlahnya kian bertambah lantaran tak ada penanganan komprehensif dari pemerintah.
"Terlepas dari itu ada faktor penarik dan pendorong, yakni Jakarta menawarkan mimpi dan kehidupan yang lebih baik," kata Lidya.
Tatanan ekonomi yang porak-poranda karena pandemi, kata Lidya, perlu segera dibenahi untuk meminimalisir kemungkinan lonjakan jumlah gelandangan di Jakarta.
"Mereka sudah terperangkap dalam kehidupan kota yang memang tidak memberikan mereka kesempatan," ujar Lidya.