close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Masalah pendatang baru selalu menjadi problem DKI Jakarta setiap tahun. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Masalah pendatang baru selalu menjadi problem DKI Jakarta setiap tahun. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Selasa, 25 Juni 2019 20:55

Problem urbanisasi usai operasi yustisi tak ada lagi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengganti operasi yustisi dengan Pelayanan Bina Kependudukan.
swipe

Selain banjir dan macet, urbanisasi kerap menjadi masalah menahun di Jakarta. Selesai libur Lebaran, pendatang baru selalu datang ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Siapa pun gubernurnya, masalah ini menjadi beban.

Alwi Shahab di dalam bukunya Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002) menulis, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang menjabat pada 1966-1977 pernah menyatakan Jakarta sebagai kota tertutup. Kebijakan itu dikeluarkan Bang Ali karena lonjakan penduduk yang luar biasa di Ibu Kota.

Kemudian, di masa Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1997-2007, ia melontarkan wacana bahwa sudah waktunya ada undang-undang pembatasan penduduk. Undang-undang itu, tulis Alwi, sangat penting untuk mengurangi urbanisasi.

Pemprov DKI Jakarta selalu menggelar operasi yustisi—kegiatan pendataan para pendatang baru ke Jakarta usai Lebaran—untuk mengatasi problem kependudukan ini.

Operasi ini dilakukan hingga masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo berakhir pada 2012. Ketika itu, para pendatang yang tak punya berkas kependudukan, harus ikut persidangan tindak pidana ringan dan dikenai denda. Saat Joko Widodo menjadi gubernur, operasi yustisi dihentikan.

Kemudian, di masa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta (2014-2017), operasi yustisi dikemas lebih soft. Di dalam buku Ahok: Koboi Jakarta Baru (2013) karya Markus Gunawan, kebijakan ala operasi yustisi masa Ahok dikenal dengan Program Bina Kependudukan.

“Jika sebelumnya operasi yustisi melibatkan polisi dan jaksa, di masa Ahok pemerintah merangkul instansi tingkat RT, RW, dan kelurahan merazia kawasan kumuh,” tulis Markus.

Program Bina Kependudukan menyasar pendatang baru yang tinggal di kawasan kumuh.

Sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2017, Anies Baswedan mengambil langkah berbeda. Ia tak melakukan operasi yustisi karena dianggap diskriminatif bagi warga bukan penduduk Jakarta. Anies mengatakan, Jakarta adalah kota terbuka bagi pendatang.

Belakangan, sebelum Idulfitri, Anies mengganti nama operasi yustisi menjadi Pelayanan Bina Kependudukan. Nama yang mirip diberikan oleh Ahok dahulu.

Ia menuturkan, pihaknya hanya meminta RT dan RW untuk mencatat warga yang masuk ke Jakarta pasca-Lebaran. Akan tetapi, ia tak pernah melarang warga pendatang untuk mengadu nasib di Jakarta.

Pemudik berdatangan di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, Sabtu (8/6). /Antara Foto.

Jumlah pendatang menurun

Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Pemprov DKI Jakarta Dhany Sukma, alasan penghapusan operasi yutisi dua tahun ini karena sudah tak sesuai dengan pemenuhan hak-hak penduduk, kesetaraan, dan keadilan sosial warga negara.

"Dunia saja saat ini sudah terbuka tanpa batasan untuk mengatur perpindahan orang," kata Dhany ketika dihubungi Alinea.id, Senin (24/6).

Dhany menyampaikan, penghapusan operasi yustisi bukan tanpa alasan. Sejak 2017, kata dia, kedatangan penduduk baru mengalami penurunan yang signifikan.

Pada 2017, angka warga pendatang baru sebanyak 175.000 jiwa, lalu mengalami penurunan sekitar 30% pada 2018, menjadi 151.000 jiwa.

Sudah meratanya sektor perekonomian di kota-kota lain di luar Jakarta, kata Dhany, menjadikan pencari kerja tak lagi fokus datang ke Ibu Kota.

"Sudah tersebar ke titik-titik pertumbuhan ekonomi di kota lain di Pulau Jawa, bahkan luar Pulau Jawa," tuturnya.

Lebih lanjut, Dhany mengatakan, mayoritas dari 151.000 orang yang datang ke Jakarta tahun lalu merupakan pekerja di sektor swasta. Selebihnya, mereka datang karena kedinasan suami dan melanjutkan pendidikan.

"Seperti mahasiswa yang datang dan melanjutkan hidup di indekos dekat dengan kampusnya," tutur Dhany.

Dhany mengatakan, tahun ini pihaknya tetap melakukan pendataan pendatang dengan nama Pelayanan Bina Kependudukan. Pendataan ini dilakukan Disdukcapil sejak 14 Juni hingga 24 Juni 2019.

Dalam kegiatan ini, petugas Disdukcapil akan ditemani perangkat kelurahan hingga RT/RW untuk mendata para pendatang. Lantas, petugas akan memberikan surat keterangan identitas sementara bagi warga pendatang.

"Di situ akan kita layani dengan memberikan identitas penduduk nonpermanen," katanya.

Dengan begitu, Dhany berharap akan terdata tujuan pendatang ke Jakarta. Meski demikian, Dhany belum bisa memberikan berapa jumlah pendatang. Alasannya, pihaknya masih mengakumulasi jumlah pendatang terlebih dahulu, dan baru bisa terlihat dua hari setelah operasi berakhir pada Senin (24/6).

"Mudah-mudahan di tanggal 26 kita sudah mampu identifikasi dari data yang ada," ujarnya.

Penasihat Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Triwisaksana setuju dengan kebijakan Anies. Menyangkut ancaman penyakit masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan kriminalitas yang timbul, menurutnya sudah menjadi kewajiban aparatur sipil negara di wilayah dan Satpol PP untuk melakukan pemantauan.

"Harus ada semacam pemantauan yang melekat dari aparat pemerintah supaya PMKS itu tidak melanggar ketetapan peraturan," katanya di Jakarta, Selasa (25/6).

Melanggar HAM

Anggota Satpol PP Kabupaten Badung memeriksa identitas pemudik yang akan balik Lebaran di Terminal Mengwi, Badung, Bali, Minggu (9/6). /Antara Foto.

Pengamat kebijakan publik Lembaga Kajian Mayarakat (Lekat) Abdul Fatah menilai, Anies punya landasan hukum yang kuat saat memutuskan tidak melakukan operasi yustisi.

Menurut Fatah, ada regulasi yang ditabrak bila operasi yustisi tetap dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) dan Administrasi Kependudukan (Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013), kata Fatah, disebutkan setiap warga negara bebas untuk mencari pekerjaan di manapun.

“Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sudah jelas landasan hukumnya, yaitu UU HAM dan UU tentang Administrasi Kependudukan,” kata Abdul Fatah saat dihubungi, Selasa (25/6).

Dihubungi terpisah, koordinator Urban Poor Consortium (UPC) Gugun Muhammad mengapresiasi langkah Anies.

Sejak dahulu, kata Gugun, UPC memang kerap mengampanyekan penolakan terhadap operasi yustisi. Alasannya, operasi yustisi bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang diatur undang-undang.

Menurutnya, dahulu di permukiman kumuh, pengamen banyak yang terjaring operasi yustisi. Namun, Pemprov DKI Jakarta tak pernah berbuat serius untuk menangani masalah di Jakarta, seperti pengentasan kemiskinan maupun menekan angka pengangguran.

"(Operasi yustisi) kan tidak ada manfaatnya juga, malah kalau dilakukan bisa menjadi bertentangan dengan prinsip HAM," kata Gugun saat dihubungi, Selasa (24/6).

Gugun melihat, persoalan urbanisasi lantaran tak meratanya pembangunan. "(Pembangunan) jangan hanya di Jakarta. Kalau pendatang, ya karena ada gula pasti akan ada semut," kata Gugun.

Risiko yang timbul

Menanggapi operasi yustisi yang sudah tak ada lagi, anggota Komisi Bidang Pemerintahan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono menyebut, hal itu bisa menimbulkan permasalahan sosial, seperti meningkatnya angka kriminalitas.

Selain kriminalitas, Gembong melihat, pendatang tanpa punya keterampilan dan tempat tinggal akan memunculkan permukiman kumuh.

"Kalau mereka tidak punya pekerjaan bahkan tempat tinggal, apa yang mereka akan lalukan? Mau atau tidak paling mudah mengemis, ketika semakin sulit yang paling mudah adalah melakukan tindakan kriminal," ujar Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI itu di Jakarta, Selasa (25/6).

Senada dengan Gembong, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sunyoto Usman mengingatkan dampak urbanisasi ke Jakarta, seperti meningkatnya angka kejahatan dan pengangguran.

Namun, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka tingkat pengangguran terbuka DKI Jakarta mengalami penurunan pada Februari 2018 dibandingkan Februari 2019. Pada Februari 2018, angka pengangguran terbuka sebesar 5,34%, sedangkan pada Februari 2019 menjadi 5,13%.

Lebih lanjut, Sunyoto melihat, langkah administratif seperti operasi yustisi tetap dibutuhkan. Operasi ini, kata dia, berguna untuk mendata potensi beban kependudukan dan masalah sosial.

“Saat mereka yang datang tidak punya skill, eksesnya pada penyakit sosial, menjadi pengangguran dan gelandangan karena mereka tidak bisa diserap oleh industri,” kata Sunyoto saat dihubungi, Selasa (25/6).

Sunyoto melihat, operasi yustisi tak mampu menyelesaikan masalah utama peningkatan urbanisasi ke Jakarta. “Operasi yustisi hanya memecahkan masalah kependudukan,” kata dia.

Penumpang kereta api Tawang Jaya Lebaran tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (8/6). /Antara Foto.

Tak ada langkah antisipatif

Sunyoto Usman melihat, ada dua penyebab urbanisasi. Pertama, industri yang menyerap tenaga kerja banyak terdapat di perkotaan. Kedua, lahan pertanian di desa semakin menyempit, begitu pula dengan harga produk pertanian yang tidak kompetitif.

Oleh karena itu, jika Pemprov DKI Jakarta ingin menyelesaikan masalah urbanisasi, Sunyoto menyarankan harus dilakukan langkah penyelesaian yang komprehensif. Bukan sebatas melakukan operasi yustisi atau tidak melakukannya.

“Operasi yustisi atau tidak itu hanya langkah administratif saja,” kata Sunyoto.

Sementara Gembong Warsono sepakat, Jakarta sebagai kota terbuka bagi siapa pun, seperti yang dikatakan Anies. Namun, ia mengingatkan, perlu ada upaya antisipasi yang dilakukan untuk mencegah risiko yang akan muncul.

"Langkah antisipasi ini yang belum saya lihat dari Pak Anies. Kebijakan yang jelas untuk mengantisipasi ketika pendatang baru datang tanpa keterampilan, lalu menimbulkan masalah," kata politikus PDIP itu.

Di sisi lain, meski mendukung langkah Anies meniadakan operasi yustisi, namun setali tiga uang dengan Gembong, Abdul Fatah menyayangkan langkah ini tak diiringi dengan kebijakan lain.

“Seharusnya Pemprov DKI melakukan upaya perlindungan, misalnya membuat regulasi dalam bentuk perda atau pergub. Ini untuk mengetahui laju urbanisasi yang berdampak pada daya tampung Jakarta, begitu juga ancaman disharmoni sosial kemasyarakatan,” ujar Fatah.

img
Armidis
Reporter
img
Akbar Persada
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan