Produksi ikan nasional dan dunia terancam, lantaran faktor perubahan iklim. Penurunan stok dan produksi nelayan yang disebabkan perubahan iklim berdampak pada area tangkapan dan produktifitas hari bagi nelayan tradisional berkurang.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengungkapkan, nelayan tradisional menanggung kerugian akibat perubahan iklim yang terjadi.
"Perubahan iklim itu sangat nyata sekali. Bagaimana iklim itu mengurangi hari penangkapan bagi nelayan. Kalau sebelumnya dalam setahun bisa 100 hari kini hanya 70 hari," kata Marthin di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (14/3).
Perubahan iklim yang terjadi, memaksa nelayan untuk melaut lebih jauh dari biasa. Dalam perhitungan ekonomi, nelayan mesti mengeluarkan biaya lebih besar, sehingga dampaknya sangat memukul nelayan tradisional.
"Nelayan terpaksa melaut lebih jauh dan membutuhkan biaya yang sangat besar juga. Ini sangat berdampak," kata Marthin.
Akibat perubahan iklim itu, nelayan tradisional dengan peralatan minim terpaksa tidak melaut lantaran anomali iklim, cuaca ekstrim. Padahal, keberadaan nelayan sebagai produsen pangan dari laut sangat besar perannya dalam penyediaan pangan nasional.
"Ikan mencari tempat yang aman. Kalau bermigrasi, ikan akan pindah ke wilayah subtropis. Dalam jangka panjang, kita sangat merugi dari perubahan iklim ini," ujar Marthin.
Lebih jauh, dia menyebut, keberadaan nelayan kecil sangat signifikan dalam menggerakkan ekonomi masyarakat pesisir. Bila dihitung berdasarkan jumlah, angka nelayan yang bekerja dalam bidang nelayan tangkap tradisional sangat besar.
"80% pangan ikan nasional disupply nelayan tradisional. Kalau ada 6,5 juta ton ikan yang ditangkap, 6 juta itu berasal dari nelayan skala kecil," kata Marthin.
Selain itu, Marthin juga menyoroti persoalan klaim area tangkapan yang kerap memicu konflik dengan perusahaan tambang. Dia memaparkan, ada beberapa area tangkapan nelayan kemudian diklaim sebagai daerah pertambangan.
Dari sisi regulasi, Marthin melihat pemetaan untuk zonasi wilayah tangkapan nelayan juga terancam dengan klaim perusahaan tambang. Dia menyebut, aturan pemerintah untuk membagi zonasi itu, tidak mempertimbangkan area tangkapan nelayan.
"Itu terjadi. Itu kita temukan di wilayah Jawa Timur. Di mana wilayah tersebut wilayah konflik karena memaksa menjadi wilayah tambang pasir," kata Marthin.
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) Alan Frendy Koropitan, menunjukkan data yang serupa. Alan menyebut, hasil tangkapan ikan laut dunia juga mengalami gejala yang sama dengan kondisi nasional.
Dari gejala itu, hasil tangkapan nelayan tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan ikan dunia. Maka perlu ada langkah lain untuk menjamin kebutuhan pangan dunia juga tercukupi.
"Produksi rata-rata hanya 79 juta ton per tahun. Angka itu tidak mungkin digenjotkan lagi. Harus ada cara selain itu, yakni melalui budidaya," kata Alan.