Program Kartu Prakerja dan munculnya lembaga pelatihan tak kompeten
Sungguh apes nasib Muhammad Ridwan—bukan nama sebenarnya. Pada Maret 2020, baru dua minggu bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan fintech, akibat pandemi SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease 2019 (Covid-19), ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perusahaan tempatnya bekerja harus melakukan hal itu sebagai strategi bertahan di masa pandemi. Malangnya, pemuda 24 tahun itu kesulitan mencari pekerjaan baru saat pandemi masih mengancam.
Lantas, berbekal informasi dari koleganya, Ridwan mencari peruntungan dengan mendaftarkan diri dalam program Kartu Prakerja—sebuah program “penyelamat” dari pemerintah yang diluncurkan pada Maret 2020.
Ridwan dinyatakan lolos pendaftaran gelombang pertama pada awal April 2020. Namun, prosesnya tak semudah yang ia bayangkan.
Ia tak paham metode pembelian program pelatihan yang disajikan delapan platform mitra program Kartu Prakerja, seperti Skill Academy by Ruangguru, Tokopedia, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolah.mu, Pijar Mahir, dan Kemenaker.go.id.
“Menurut saya (informasi pembelian kelas) kurang detail. Saya lebih banyak mendapat informasi itu dari teman yang lolos dan kerja di (platform digital) yang kerja sama dengan Kartu Prakerja,” ucap Ridwan kepada Klub Jurnalis Investigasi (KJI)—tim kolaborasi antarmedia yang terdiri dari Alinea.id, Tempo, Jaring.id, dan Suara.com—di Jakarta, Senin (4/5).
Teman Ridwan menyarankan untuk mengambil paket program “Sukses Kembangkan UMKM hingga Kebanjiran Order, Trik Menulis untuk Tingkatkan Penjualan (Copywriting)” dari Skill Academy by Ruangguru.
Ridwan pun mengikuti saran temannya. Ia mengambil paket kelas itu karena ada potongan Rp100.000 dari harga Rp999.000.
Akan tetapi, alumnus Universitas Veteran Jakarta itu menilai, model pembelajaran Skill Academy by Ruangguru tak efektif. Sebab, menurutnya, tak ada sistem pengawasan pembelajaran dalam menonton video dari enam kelas pada satu paket program pelatihan yang diambil.
“Saya kira pertama ikut kelas ini harus full nonton videonya untuk tambahin progres kelas. Ternyata setelah saya skip (durasi videonya) tanpa ditonton, itu progres kelasnya nambah,” tuturnya.
Temuan ICW
Sejak diluncurkan pemerintah pada Maret 2020, program Kartu Prakerja menuai kritik beberapa pihak. Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati, Eka Simanjuntak pun tak yakin salah satu program janji kampanye Presiden Joko Widodo itu bisa berjalan efektif. Masalahnya, praktik pembelajarannya dilakukan dengan metode daring.
“Saya saja enggak yakin kalau program ini diberikan untuk pelatihan konvensional berjalan maksimal, apalagi yang online,” kata Eka saat dihubungi, Senin (4/5).
Menurut Eka, selama ini tak ada regulasi yang mengatur pelatihan secara daring. Hanya pelatihan tatap muka yang ada regulasinya dalam peraturan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
“Di sana ada standar dan kurikulumnya, sudah diatur apa saja yang mesti dipenuhi. Termasuk standar pelatih dan penyelenggara. Kalau online sama sekali enggak ada,” ucapnya.
Tak ada aturan yang jelas dinilai Eka bisa menjadi celah munculnya pelatihan tak kompeten dalam program ini. Dengan modal platform digital, menurut Eka, lembaga yang minim pengalaman pun bisa menyediakan pelatihan untuk “dijual” dalam program Kartu Prakerja. Eka mengatakan, hal itu terjadi karena tak ada kurasi terhadap lembaga pelatihan.
“Faktanya, Kartu Prakerja tidak ada yang mengawasi. Mereka hanya ada persetujuan manajemen,” katanya.
“Pertanyaannya, mereka punya kualifikasi untuk mengkurasi enggak? Kalau ada yang menyeleksi, enggak mungkin lah ada pelatihan yang aneh-aneh.”
Sementara itu, Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari—akrab disapa Tari—memandang, Peraturan Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja, yang merupakan ujung tombak regulasi terkait kurasi lembaga pelatihan, menjadi pangkal problem munculnya lembaga pelatihan tak kompeten.
“Regulasi tersebut tidak menjelaskan secara rinci standar lembaga pelatihan untuk dapat bergabung dalam program Kartu Prakerja,” kata Tari dalam diskusi virtual bertajuk "Prakerja: Penguasa Bantu Pengusaha? Catatan Kritis Program Kartu Prakerja", Senin (1/6).
“Padahal, hal ini akan berdampak pada kualitas pelatihan.”
Di dalam Permenko Perekonomian tersebut, kata dia, hanya ada izin. Akan tetapi detailnya, seperti berpengalaman atau tidak di bidangnya, tidak jelas.
Temuan ICW, ada dua lembaga pelatihan yang diduga tak punya kompetensi untuk memberi pelatihan keterampilan kerja. Pertama, PT Boleh Dicoba Digital.
Berdasarkan penelusuran ke situs web Bolehdicoba.com dan akun media sosial mereka, ICW menyimpulkan, lembaga yang menawarkan layanan pemasaran digital itu tak punya kompetensi dalam memberi pelatihan keterampilan, baik daring maupun konvensional.
Dalam program Kartu Prakerja, Boleh Dicoba Digital membuka kelas “Memasang Iklan di Facebook dan Instagram secara Baik dan Benar” melalui platform Sekolah.mu. Kelas tersebut berbiaya Rp300.000.
“Kalau kita lihat, dia punya pengalaman misalnya membuat web, tetapi masih sedikit info yang kami temukan bahwa dia memiliki track record dalam melakukan pelatihan bidang prakerja,” kata Tari.
Kedua, badan latihan kerja (BLK) Komunitas Pondok Pesantren Al-Aitaam. Lembaga ini menawarkan kelas “Junior Desain Grafis” di platform Kemenaker.go.id, yang biayanya Rp1 juta.
Berdasarkan penelusuran ICW, Yayasan Pendidikan Al-Aitaam merupakan lembaga pendidikan tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga politeknik. Namun, lembaga itu tak pernah punya pengalaman memberi pelatihan secara daring.
Menurut Tari, eksisnya lembaga-lembaga yang diduga tak kompeten sudah menyimpang dari prakarsa Kartu Prakerja, yakni meningkatkan kemampuan keterampilan bagi warga siap kerja.
“Nah, bagaimana orang-orang yang menjadi target ini bisa mendapat skill yang baik dan berkualitas, kalau lembaga pelatihannya juga tidak punya pengalaman yang mumpuni,” ujar dia.
Di sisi lain, Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah menilai, proses kurasi program Kartu Prakerja bermasalah. Kesimpulan itu diambil berdasarkan temuan ICW, yaitu tak ada batas biaya sebuah jenis pelatihan yang ditawarkan.
Wana menuturkan, dari penelusuran di situs web Prakerja.go.id, ICW menemukan rentang biaya yang jomplang pada jenis pelatihan desain grafis. Dari sembilan lembaga yang menawarkan pelatihan desain grafis, ditemukan biaya terendah Rp250.000 dan tertinggi Rp1 juta.
Selain biaya pelatihan, standar diskon juga tak ada. Dari pemantauan ICW sejak 9-14 Mei 2020, harga diskon yang diberikan lembaga pelatihan, setiap hari mengalami perubahan.
“Kalau seandainya silabusnya sama, kemudian materi yang diajukan sama, pengajuannya sama, seharusnya itu harganya juga sama,” ujarnya dalam diskusi virtual, Senin (1/6).
ICW pun menyoroti tak adanya batas wajar komisi yang diterima delapan platform digital mitra Kartu Prakerja. Besaran komisi, kata Wana, tak diatur detail dalam Permenko Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.
“Sampai saat ini kita tidak mengetahui berapa komisi wajar yang disampaikan oleh setiap platform digital,” ucap Wana.
Berdasarkan penelusuran ICW, hanya ada satu lembaga pelatihan yang mencantumkan besaran komisi 20%, yang diberikan kepada platform digital, yakni Mau Belajar Apa. Wana mengungkap, nilai keuntungan yang didapat platform mitra Kartu Prakerja bisa mencapai ratusan miliar rupiah, bila menyamakan besaran komisi Mau Belajar Apa.
“Kalau hitungan kasar Rp5,6 triliun ini diberikan pemerintah yang ketika dibagi ke delapan platform, sekitar Rp700 miliar yang bisa didapatkan,” kata Wana.
“Ketika dibagi 20%, kira-kira kita menilai ada Rp140 miliar yang didapatkan oleh platform digital ketika program ini dilakukan.”
Oleh karenanya, ia menganggap, pemerintah keliru memaknai program Kartu Prakerja sebagai jaring pengaman sosial untuk menangani masyarakat terdampak pandemi. Ia menduga, program ini hanya tipu daya untuk menguntungkan pengusaha.
“Secara konsep, ini prematur,” ucap Wana.
Harus dievaluasi
Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky merespons temuan ICW. Ia justru menyambut baik munculnya lembaga baru penyedia pelatihan secara daring.
“Lembaga tersebut menunjukkan pertumbuhan usaha dalam bidang pelatihan vokasi,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (20/5).
Di samping itu, ia menganggap, beralihnya pelatihan keterampilan ke dalam bentuk daring adalah inovasi saat pandemi. “Ini menjadi suatu langkah bagi industri pelatihan kita untuk berevolusi. Kenapa kita anti dengan perubahan dan perbaikan?” ucap Panji.
Ia pun membantah tak ada proses kurasi dalam penetapan lembaga pelatihan. Panji menegaskan, proses asesmen sudah dilakukan, berpedoman pada Permenko Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020.
Ia menjelaskan, lembaga pelatihan yang ingin mengadakan program harus memenuhi kriteria, seperti mempunyai jenis pelatihan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kurikulum pelatihan keterampilan yang terukur, tenaga pelatihan yang kompeten, dan model evaluasi pembelajaran.
“Jadi, semua kami ceklis. Selain itu, mereka juga harus punya NIB (Nomor Induk Berusaha),” ucapnya.
Ia menegaskan, pelaksanaan bisnis dalam program Kartu Prakerja bersifat terbuka dan berbasis pada persaingan usaha yang sehat. Meski begitu, Panji mengakui, batasan komisi belum perlu diatur. Alasannya, lembaga pelatihan diberi kesempatan bebas untuk menjalin kerja sama dengan mitra platform digital.
“Apalagi saat ada platform digital wakil pemerintah, sisnaker (sistem informasi ketenagakerjaan) yang mengenakan komisi 0% sebagai batas terendah di pasar ini,” kata Panji.
Panji pun mengaku, pihaknya belum bisa menghitung komisi yang masuk ke kantong delapan mitra platform digital. Ia beralasan, manajemen pelaksana masih melakukan pengumpulan data terhadap besaran komisi itu.
“Karena program ini baru dimulai tiga gelombang, pasar pun masih menemukan ekuilibrium berbasis persaingan sehat antara pihak-pihak,” ucapnya.
Sementara peneliti ICW Tibiko Zabar Pradano memandang, untuk mengevaluasi sejumlah hal yang kurang, program Kartu Prakerja harus dihentikan.
“Pemerintah sebaiknya melakukan uji efektivitas juga program ini. Karena pelatihan secara daring, bisa dibilang belum banyak cerita sukses yang bisa dijadikan pelajaran,” katanya dalam diskusi virtual, Senin (1/6).
Tibiko pun meminta pemerintah untuk mengevaluasi kerja sama dengan delapan platform digital mitra Kartu Prakerja. Tujuannya, agar tetap menguntungkan bagi negara dan masyarakat penerima manfaat.
“Melihat catatan kita, ada dugaan pemborosan anggaran. Nah, ini yang perlu dilakukan evaluasi juga pada mitra platform,” ucapnya.
Sedangkan kolega Tibiko di ICW, Wana, mengajukan dua solusi kepada pemerintah. Pertama, pemerintah harus membenahi mekanisme pemilihan platform digital. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya masalah baru, bila ada penambahan platform digital mitra Kartu Prakerja.
Kedua, pemerintah harus lebih selektif memilih masyarakat yang dapat menikmati program tersebut. Pemerintah juga diminta memfasilitasi masyarakat penerima manfaat untuk mengikuti rangkaian proses dari program Kartu Prakerja.
“Kalau saya cek, ternyata orang-orang kelompok rentan ini secara penetrasi internet pun tidak memiliki kesempatan yang bagus untuk dapatkan atau mengakses internet lebih baik,” kata dia.
“Sehingga ini yang akan menjadi bias kelas yang dilakukan pemerintah, alih-alih memberikan program ternyata tidak tepat sasaran.”