close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peneliti Masyarakat Pemantau Pengadilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) Joshua Kolin (kiri), Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha (kedua kiri), Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu (kedua kanan), serta Peneliti I
icon caption
Peneliti Masyarakat Pemantau Pengadilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI) Joshua Kolin (kiri), Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha (kedua kiri), Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu (kedua kanan), serta Peneliti I
Nasional
Minggu, 07 Juli 2019 18:50

Proses seleksi calon hakim tipikor marak cacat administrasi

Dari tak lapor LKHPN hingga berasal dari kalangan politikus.
swipe

Proses seleksi calon hakim ad hoc tindak pidana korupsi yang diselenggarakan Mahkamah Agung (MA) diktritik Koalisi Pemantau Peradilan (KKP). Berdasarkan analisis terhadap rekam jejak 125 calon hakim, KKP masih menemukan banyak kelalaian yang dilakukan panitia seleksi. 

"KKP mencatat setidaknya terdapat lima poin utama yang perlu diwaspadai oleh panitia seleksi dalam merekrut calon hakim ad hoc tipikor," kata peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Rizki Yudha di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Minggu (7/7). 

Pertama, lanjut Rizki, terkait kelengkapan dokumen syarat administratif. Menurut Rizki, masih banyak calon hakim ad hoc tipikor yang tidak memenuhi persyaratan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Disebutkan pada Pasal 12 UU tersebut, calon hakim ad hoc harus memenuhi sejumlah persyaratan di antaranya, warga negara Indonesia, bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan sarjana hukum serta berpengalaman di bidang hukum sekurang-kurangnya selama 15 tahun.

Selain itu, calon hakim juga tidak boleh menjadi pengurus dan anggota partai politik; jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik; berumur setidaknya 40 tahun pada saat proses; tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; serta melaporkan harta kekayaannya atau LKHPN.

"Misalnya saja surat sehat, itu sebagian besar bisa dikatakan tidak melampirkan surat sehatnya. Padahal, kan jelas undang-undang menyebut bahwa hakim ad hoc itu harus sehat dan salah satu syarat tersebut tidak dilampirkan dalam CV (curiculum vitae) mereka," ujar Rizki.

Kedua, KKP menemukan, sejumlah calon yang tidak memiliki kepakaran di bidang pidana korupsi. "Dari 125 peserta seleksi hakim ad hoc, kami masih tidak menemukan lampiran kompetensi seperti buku, atau tulisan-tulisan. Hanya beberapa yang kami temukan calon peserta yang mempublikasi buku atau tulisan tentang Undang-Undang Tipikor," tuturnya. 

Ketiga, KKP menemukan beberapa calon hakim ad hoc tipikor yang tidak melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LKHPN). Dari 41 calon peserta hakim ad hoc tipikor yang wajib lapor LKHPN, terdapat 18 peserta yang tidak melaporkan kekayaannya.

Bahkan, lanjut Rizki, KKP menemukan sejumlah calon hakim ad hoc yang mempunyai catatan pernah dijatuhi sanksi disipilin dan juga ingin mencoba mengelabui panitia seleksi dengan mencantumkan informasi palsu pada berkas pendaftaran.

Keempat, KKP menemukan konflik kepentingan pada calon-calon dari kalangan politikus. Dari 125 calon peserta yang ditelusuri rekam jejaknya, setidaknya terdapat 16 calon yang berafiliasi politik. Bahkan, terdapat 9 pendaftar dari kalangan advokat yang pernah menjadi kuasa hukum koruptor.

"Hal ini tentu akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan manakala calon tersebut terpilih nantinya dan harus menangani kasus yan merupakan pengembangan perkara terdahulu pernah ditanganinya sebagai advokat," tutur Rizki.

Terakhir, KKP menyoroti calon peserta hakim ad hoc yang pernah mendaftar sebelumnya namun gagal. "Meski tidak ada aturan yang mengatur menganai batasan pencalonan, tetapi hal ini bisa menimbulkan persoalan di kemudian hari," kata dia. 

Selain ILR, KKP juga beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya, semisal Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK), Indonesia Corruption Watch dan Masyarakat Pemantau Pengadilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI). 

Terkait poin terakhir, peneliti MaPPI FH UI Joshua Kolin merinci lebih jauh. Menurut dia, terdapat 18 calon hakim ad hoc tipikor yang mendaftar berulang kali. Bahkan, beberapa di antaranya pernah mengikuti proses seleksi tersebut dari 2016 silam.

"Sebenarnya kalau langsung dicap negatif, enggak bisa juga, ya. Tetapi, ada beberapa dari narasumber yang saya wawancarai dia mengaku penasaran kenapa sih enggak diterima-terima jadi ad hoc tipikor," ujar Joshua.

Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu berharap kandidat yang terpilih bukan sekadar pencari kerja, tapi memiliki kapabilitas mumpuni dalam mengemban tugas sebagai hakim. Selain itu, Ninik juga berharap para calon hakim melek teknologi. 

"Sekarang kan ada sistem teknologi baru yang sedang dibuat oleh MA. Dia harus peka dan mampu untuk meenggunakan sistem online itu. Jangan sampai hakim tipikor nanti enggak bisa menelusuri rekam jejak para koruptor," katanya.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan