Proyek ITF Sunter, dilema pengelolaan sampah di Jakarta
Selama ini, Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi kerap ribut-ribut masalah sampah. Belum lama ini, dana kemitraan yang diminta Pemkot Bekasi untuk kompensasi lantaran sebagian daerahnya digunakan sebagai tempat pembuangan akhir sampah oleh Pemprov DKI Jakarta, menjadi pangkal masalah.
Akibatnya, truk sampah milik Pemprov DKI Jakarta sempat ditahan Dishub Kota Bekasi, ketika akan menuju Bantargebang. Namun, usai Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ketegangan itu melunak. Pepen, sapaan Rahmat Effendi, berkilah masalah dana hibah tersebut hanya miskomunikasi.
Selama ini sampah memang menjadi salah satu masalah yang tak kunjung selesai. Sehari, volume sampah di ibu kota bisa mencapai 7.000 hingga 8.000 ton.
Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun fasilitas pengelolaan sampah dalam kota, Intermediate Treatment Facility (ITF)—dikenal pula dengan sebutan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)—di bilangan Sunter, Jakarta Utara. ITF diyakini bisa mengurangi ketergantungan Jakarta terhadap Bantargebang.
ITF merupakan fasilitas pengolahan sampah, yang memiliki tujuan mengurangi jumlah sampah sebanyak-banyaknya, sebelum masuk ke tempat pembuangan akhir. ITF itu diharapkan bisa menghasilkan listrik dari sampah. Fasilitas ini dipercaya bisa menyulap 2.200 ton sampah menjadi 35 megawatt listrik.
Cerita lama
Namun, sayangnya pembangunan ITF itu tak kunjung terealisasi. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang belum rampung, menjadi salah satu alasan tertundanya pembangunan ITF Sunter itu.
Sebenarnya, proyek ini sudah direncanakan sejak Fauzi Bowo masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada 2011 lalu. Sebagai catatan, Fauzi Bowo menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2007 hingga 2012.
“Ini cerita lama yang tak pernah terealisasi,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto, ketika dihubungi, Kamis (25/10).
Asep mengatakan, pada 2011 pernah ada lelang pembangunan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Namun, empat tahun berjalan, lelang itu dihentikan lantaran tak pernah menemukan kejelasan.
“Pada 2015, Pak Ahok menunjuk Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk memegang proyek ini,” ujar Asep.
Lantas, pada 2016 Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 50 Tahun 2016 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengelola Sampah di dalam Kota/Intermediate Treatment Facility.
Petugas membuang sampah di TPS Muara Baru, Jakarta, Senin (22/10). (Antara Foto).
Berbekal Pergub tersebut, Ahok kemudian menunjuk Jakpro sebagai pelaksana pembangunan dan pengoperasian ITF Sunter. Di tahun yang sama, terbit pula Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.
“Tapi, akhirnya Perpres itu dibatalkan Mahkamah Agung,” katanya.
Kala itu, Perpres tersebut mendapatkan penolakan dari Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah (KNTBS), yang terdiri dari sejumlah organisasi, seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Green Indonesia Foundation, BaliFokus, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA), Gita Pertiwi, Perkumpulan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB), serta Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Menurut Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung, ITF bukan solusi untuk masalah sampah. Menurut Sawung, koalisi mengkritik penggunaan teknologi insinerator (tempat pembakaran sampah), yang termuat dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016.
Usai dibatalkan Mahkamah Agung, otomatis Jakrpo tak bisa memulai pembangunan ITF Sunter. Asep mengaku, tak bisa berbuat apapun hingga terbit Perpres baru, yakni Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres tersebut baru terbit pada April 2018.
Dengan terbitnya Perpres baru tersebut, pengelolaan sampah masuk proyek strategi nasional. Di dalam Perpres Nomor 35 Tahun 2018 disebutkan, selain Jakarta, ada 11 kota lain yang akan membangun ITF, antara lain Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.
Kerja sama dengan lembaga asing
Direktur Proyek ITF Sunter PT Jakarta Propertindo (Jakpro) Aditya Bakti Laksana mengatakan, nilai investasi yang dibutuhkan untuk permesinan waste to energy plant sebesar US$ 250 juta atau setara Rp3,8 triliun.
Maka, Jakpro pun bekerja sama dengan badan usaha milik pemerintah Finlandia Fortum. Menurut Aditya, Fortum merupakan perusahaan yang sangat baik dan sudah punya pengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian waste to energy. Mereka juga sudah banyak membangun fasilitas itu di Eropa.
“Jakpro sebagai pemilik mayoritas, kepemilikan saham sebesar 51%. Sisanya milik Fortum,” ujar Aditya.
Selain berasal dari Jakpro dan Fortum, pendanaan juga mengalir dari lembaga keuangan yang berafiliasi dengan Bank Dunia International Finance Corporation (IFC). Status pendanaan proyek itu, kata Aditya, sekarang dalam proses uji kelayakan dan pemenuhan pembiayaan.
ITF Sunter itu, menurut Aditya, akan mulai dibangun pada Desember 2018. Pembangunannya sendiri memakan waktu tiga tahun.
Petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta mengambil sampah di Kali Sentiong, Kemayoran, Jakarta, Jumat (19/10). (Antara Foto).
“Diharapkan dapat beroperasi akhir tahun 2021,” katanya.
Di dalam Pergub Nomor 33 Tahun 2018 disebutkan, jangka waktu penugasan pemerintah daerah kepada Jakpro untuk pengoperasian ITF Sunter akan beralngsung selama 25 tahun, terhitung sejak tuntasnya pembangunan.
Sejauh ini, analisis mengenai dampak lingkungan dari ITF Sunter masih dalam tahap pengerjaan konsultan AECOM. AECOM sendiri merupakan perusahaan rekayasa multinasional Amerika Serikat, yang menyediakan jasa desain, konsultasi, konstruksi, dan manajemen. Aditya berharap, tahapan tersebut selesai November 2018.
Kelak, setelah selesai pembangunannya, ITF Sunter bakal mengolah sampah rumah tangga non-B3 (tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun).
“ITF Sunter akan mampu mengolah 2.200 ton sampah yang berasal dari Jakarta Utara dan Jakarta Pusat setiap hari,” kata Asep.
Problem
Ilustrasi cara kerja Intermediate Treatment Facility (ITF). (lingkunganhidup.jakarta.go.id).
Sawung tak mempermasalahkan terbitnya Perpres baru. Sebab, tak ada kewajiban penggunaan teknologi insinerator di dalamnya. Meski begitu, Sawung mengatakan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab di balik rencana pembangunan ITF Sunter.
“Ada persoalan besar di manajemen persampahan dan teknologi ITF itupun tak terbukti di negara seperti Indonesia ini,” kata Sawung.
Persoalan besar yang dimaksud Sawung adalah cara pengumpulan sampah yang tidak mengalami perubahan sejak 30 tahun silam. Menurutnya, manajemen pengelolaan sampah hanya fokus pada pengelolaan di hilir (tempat pembuangan akhir), tidak di hulu (penghasil sampah).
Selain itu, Sawung mengatakan, ITF Sunter nantinya akan mencemari udara Jakarta. “Apakah kemudian bisa menjamin gas yang dibuang itu 100% bersih?” ujar Sawung.
Menurutnya, alat paling mahal dalam proyek ini adalah alat untuk menyaring gas buang (emisi). Namun, di sisi lain, sebagai pihak yang menggawangi proyek ini, Aditya berkilah. Menurutnya, emisi tetap menjadi pertimbangan.
“Tentunya ITF Sunter menjamin emisi atau gas buang akan diperhatikan dengan sangat baik dan hati-hati,” ujar Aditya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, gas buang proses pengolahan sampah akan disaring oleh alat flue gas treatment. Dengan begitu, gas buang bisa diproses dengan baik dan ramah lingkungan.
Standar emisi ITF Sunter, menurut Aditya, mengacu kepada standar Eropa, yang sangat ramah lingkungan, dan tentu saja memenuhi standar emisi di Indonesia.
Akan tetapi, Sawung pesimis proyek ini akan tetap berlanjut. Sebab, menurut dia, di Indonesia lumrah anggaran untuk proyek semacam ini dipotong atau dikurangi.
Sawung tak asal bicara. Pada 1996, pengolahan sampah serupa ITF pernah ada di Surabaya. Namun, pengelolaannya hanya berjalan enam bulan.
“Karena beban biayanya berat,” ujar Sawung.
Dia mengingatkan, standar keamanan untuk ITF harus tinggi. Menurut Sawung, hampir fasilitas pengolahan sampah ini mirip dengan teknologi nuklir.
“Sementara, kita untuk pengawasan masih sangat lemah,” kata Sawung.
Rencananya, Pemprov DKI Jakarta akan membangun ITF di empat lokasi berbeda. Selain di Sunter, akan dibangun di Marunda, Cakung, dan Duri Kosambi. Rencana ini sesuai dengan masterplan pengelolaan sampah Jakarta tahun 2012-2032.
ITF Sunter ini akan dijadikan contoh pula pembangunan ITF di kota-kota lainnya di Indonesia. Namun, selain persoalan yang diungkapkan Sawung tadi, ada kejanggalan mengenai lokasi.
Di maket yang terdapat dalam akun Twitter Jakarta Smart City, lokasi berada di Jalan Danau Sunter Barat, Jakarta Utara, memakai lahan seluas 3,95 hektare. Sedangkan di dalam Pergub Nomor 33 Tahun 2018 tercantum, lokasi pembangunan ada di Jalan Sunter Baru, Jakarta Utara.