Proyek-proyek pembangunan pemerintah mengancam wilayah-wilayah kelola perempuan adat. Pangkalnya, sebesar 90% perempuan anggota masyarakat adat tak pernah diberitahukan di awal tanpa paksaan (free prior informed consent/FPIC) terkait persetujuannya atas alih fungsi di wilayahnya.
Sebanyak 64,7% responden perempuan adat pun tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Demikian hasil survei Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN).
"Jika pemerintah abai menempatkan wilayah kelola perempuan adat untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan atas hak-hak kolektifnya, kita sedang menuju pemiskinan dan penghancuran kebudayaan," tutur Dewan Nasional Perempuan Aman, Meiliana Yumi, melalui keterangan tertulis, Kamis (9/7).
Padahal, Ketua Umum Perempuan AMAN, Devi Anggraini, mengingatkan, wilayah kelola perempuan adat tidak sebatas dapur. Namun, terbentang di sepanjang daerah adatnya.
"Wilayah produktif yang dikelola oleh perempuan adat menggunakan pengetahuan yang dipraktikkan dan dikembangkan dari waktu ke waktu," ujarnya.
Interaksi di dalamnya berujung pada pengaturan atas wilayah kelola perempuan adat yang dilakukan oleh mereka sendiri atau otoritas (governance). Kapan musim tanam, di mana lokasinya, ritual apa yang harus dilakukan, dan benih yang harus digunakan, misalnya.
"Proses ini hanya dapat berjalan jika wilayah adat tidak beralihfungsi menjadi konsesi pertambangan, perkebunan, proyek pembangunan, konservasi dan lainnya," tambah Devi.
Karenanya, menurut dia, akses dan kontrol wilayah kelola menjadi prasyarat utama memastikan perempuan adat masih menjalankan fungsi dan peran, identitas diri, serta identitas politik perempuan adat.
Saat kehilangan wilayah kelolanya, ungkapnya, perempuan adat terpaksa bekerja di perusahaan pertambangan dan perkebunan. Tidak jarang mengalami diskriminasi hingga kekerasan seksual.
Di sisi lain, Devi menerangkan, pihaknya memperjuangkan hak-hak kolektif perempuan adat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat. Wilayah kelola, salah satunya.
"Perempuan adat memastikan keberlangsungan hidup komunitasnya dari sumber-sumber penghidupan yang terletak di wilayah kelola mereka. Wilayah kelola perempuan adat merupakan pondasi kemandirian komunitas adat yang tak tergantikan dan telah menjauhkan mereka dari ketergantungan pada pihak luar," tuturnya.
Yumi lantas mencontohkan dengan kebijakan kelompoknya, Rakyat Penunggu, di Medan, Sumatera Utara (Sumut). Di masa pandemi coronavirus baru (Covid-19) dan kerusakan lahan imbas perkebunan sawit, para perempuan terus merawat kebun-kebun kolektif.
"Mereka (perempuan Rakyat Penunggu) secara mandiri dapat kebutuhan pangan keluarganya dan komunitasnya," katanya.
Rakyat Penunggu juga terus memperjuangkan wilayah adatnya sekitar 260.000 hektare (ha) akibat konflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sejak 1950-an. Hingga kini baru berhasil merebut kembali seluas 2.000-an ha.
Sementara itu, perwakilan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Imam Hanafi, menyatakan, mutlak dilakukan identifikasi, verifikasi dan registrasi bagi semua tanah masyarakat, termasuk tanah adat, sebagai wujud pengakuan wilayah adat dan kepastian wilayah kelola masyarakat.
Dirinya melanjutkan, rasa aman dan nyaman dalam pengelolaan wilayah tanpa konflik dan tumpang tindih ruang menjadi prasyarat kesejahteraan masyarakat. Pun begitu dengan penetapan peruntukan status dan fungsi ruang, harus ditempatkan pada sasaran yang tepat demi kesejahteraan sosial yang berkeadilan.
Sayangnya, beber Imam, perspektif, kepentingan, dan suara perempuan adat atas wilayah kelola dan sumber-sumber hidup lainnya acapkali tak mendapatkan tempat dan sering diabaikan. Kelompok ini kerap dipinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dan akses terhadap informasi dengan berbagai keterbatasan dan pembatasan dari peran dan fungsi sosialnya.
Karenanya, KJPP mendorong peninjauan ulang terhadap metodologi pemetaan partisipatif agar peka terhadap ruang perempuan adat. Pemerintah pun didorong membuat peta skala 1:10.000 atau lebih besar, agar ruang-ruang perempuan bisa direpresentasikan dengan baik dan mewujudkan tindakan afirmatif, khususnya pengarusutamaan gender.
"Diperlukan upaya pengembangan metodologi dan terobosan hukum untuk membuat lanskap budaya masyarakat adat sebagai bentuk bukti pendakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam," papar peneliti pemetaan partisipatif JKPP, Albertus Hadi Pramono.
"Dan meninjau meninjau kembali metodologi pemetaan partisipatif agar lebih responsif terhadap kebutuhan ruang perempuan, termasuk perempuan adat," imbuh Hadi.