close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Google Maps/Tristan Ku
icon caption
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Google Maps/Tristan Ku
Nasional
Rabu, 07 Oktober 2020 08:38

PSHK ragukan hasil uji materi UU Ciptaker di MK

Pengesahan RUU MK pada beberapa waktu lalu, merupakan imun bagi hakim MK agar dapat melanggengkan kebijakan pemerintah.
swipe

Wacana uji materi oleh sejumlah kalangan terhadap pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) dinilai tidak akan berjalan sesuai harapan. Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sudah tidak dapat menangani perkara uji materi RUU Ciptaker secara independen dan baik. Pasalnya pemangku kewenangan telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK).

"Saya meragukan proses formil maupun materiil yang akan diuji dari UU Ciptaker di MK bisa berjalan dengan baik," ujar peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal saat dihubungi Alinea.id, Rabu (7/10).

Menurutnya, RUU MK mencerminkan bentuk politisasi terhadap para hakim yang dilakukan DPR dan pemerintah. Hal itu terlihat dengan penambahan perpanjangan masa jabatan hakim MK yang tercantum dalam Pasal 87 huruf c RUU MK.

Dalam materi itu menyebutkan bahwa, masa jabatan hakim dapat diperpanjang hingga usia 70 tahun, terutama bagi hakim yang sudah menginjak umur 60 tahun. Namun, perpanjangan ini tak berlaku bagi hakim di bawah usia 60 tahun.

"Ini lebih pada persoalan politik sebenarnya. Jadi, RUU MK itu sebenarnya mengajak hakim konstitusi masuk dalam dunia politik," terangnya.

Di samping itu, penunjukan hakim MK yang dilakukan oleh presiden dan DPR juga dapat menjadi dasar penilaian potensi kebocoran indepedensi hakim MK.

"Kita tahu, tiga orang (hakim) di MK berasal dari (penunjukan) presiden. Tiga orang lagi berasal dari DPR. UU Ciptaker, itu disahkan dan disetujui bersama antara presiden dan DPR. Artinya, presiden dan DPR sekarang itu sudah memegang enam suara hakim di MK," tegasnya.

Baginya, pengesahan RUU MK merupakan imun bagi hakim MK agar dapat melanggengkan kebijakan pemerintah.

"Jadi kayak ada gratifikasi yang dikasih presiden dan DPR dengan cara mengubah UU MK. Karena merasa sudah utang budi karena UU MK direvisi," ucap Agil.

Sebagai informasi, UU Ciptaker yang telah disahkan oleh DPR dan pemerintah pada Senin (5/10) menuai kritik. Proses pembahasan UU berkonsep omnibus itu juga dinilai telah melanggar aturan pembentukan undang-undang.

Proses legislasi dilakukan secara tergesa dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi. Setidaknya, PSHK memberikan tiga argumen yang mendasari penilaian itu.

Pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di luar jam kerja. Kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada masyarakat. Dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan