Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menagih janji Presiden Jokowi untuk membentuk badan regulasi nasional. Badan itu diperlukan untuk mencegah peraturan tumpang-tindih atau bahkan saling bertentangan
"Kita tunggu apakah akhirnya Presiden Jokowi memenuhi janji atau kemudian sebaliknya," tutur Peneliti PSHK Ronald Rofiandri, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (30/10).
PSHK mengingatkan agenda reformasi regulasi jangan diartikan sebatas omnibus law semata yang sekedar menyasar sektor perekonomian, tetapi juga aspek lainnya.
Berdasarkan catatan PSHK sejak Oktober 2014 sampai Oktober 2018, ada 8.945 regulasi yang berlaku. Bila dirata-rata, maka dalam sehari bisa terbit enam peraturan atau regulasi.
"Lantas pertanyaannya apakah peraturan itu justru mempermudah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, urusan masing-masing orang atau justru sebaliknya? Sepertinya yang terjadi adalah kerumitan dan ada situasi terbelenggu," ucap dia.
Itulah sebabnya PSHK menegaskan perlu ada koreksi secara menyeluruh dan dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Pemerintah harus memahami reformasi regulasi bukan sekedar pelumas investasi, tetapi juga memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap aspek lain, seperti hak asasi manusia.
"Agenda prolegnas (program legislasi nasional) 2020-2024 perlu mendapatkan perhatian serius. Tidak hanya aspek investasi, bisnis, dan ekonomi tetapi juga yang lain. Juga perlu realistis, terukur, dan penyusunan prolegnas ini nanti diseriuskan dengan komitmen memenuhi janji pembentukan badan regulasi nasional," tutup dia.