Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti kasus anggota keluarga yang mencungkil anak perempuan berusia enam tahun berinisial AP di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk pesugihan. Pelaku ialah ayah, ibu, paman, dan kakek korban sendiri.
Reza mendorong, polisi menjerat pelaku dengan pidana eksploitasi untuk memberatkan hukuman, meski itu tidak sebanding dengan trauma yang bakal dialami korban sepanjanga hidupnya.
Awalnya, Reza mengatakan, ketika anak diperkosa oleh orang dewasa, pelaku diancam pidana 5-15 tahun. Jika pelakunya adalah orang tua anak, pidananya ditambah sepertiga.
Menurut Reza, hukuman ini lumayan berat hukuman bagi orang yang telah melakukan kebejatan seksual dengan efek jangka panjang terhadap lahir dan batin anak.
"Tapi gilanya, ketika orang tua mencungkil mata anaknya, betapa pun itu juga mengakibatkan trauma jangka panjang bahkan mungkin sepanjang hayat pada diri si anak, tapi hukuman bagi pelakunya hanya penjara maksimal lima tahun. Tanpa pemberatan pula," ujar Reza kepada Alinea.id, Selasa (7/9).
Reza menjelaskan, walau dirinya sedih sekaligus marah luar biasa pada para pelaku pencungkilan mata itu, namun kemurkaannya tidak sungguh-sungguh terwakili oleh Undang-undang Perlindungan Anak yang ada saat ini.
"Keinginan saya agar para pelaku kekerasan fisik dan psikis yang mengakibatkan luka ekstrim pada anak dihukum seberat-beratnya, ternyata hanya "dipuaskan" oleh penjara antara 3,5 hingga 5 tahun," ungkap Reza.
Oleh karena itu, lanjut Reza, penerapan pasal eksploitasi terhadap anak. Alasannya, pesugihan dilakukan lewat 'pemanfaatan fisik' anak untuk tujuan ekonomi, maka definisi 'eksploitasi secara ekonomi' dalam UU Perlindungan Anak sudah terpenuhi. Ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara.
"UU Penghapusan KDRT juga memuat sanksi pidana yang sama, yakni penjara maksimal 10 tahun, bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga," katanya.
Menurut Reza, pidana eksploitasi memang lebih berat daripada pidana kekerasan terhadap anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT.
Guna memberikan efek jera terhadap pelaku penyiksaan terhadap anak, Reza pun menyarankan adanya penggunaan hukum adat. Hal itu sebagai rujukan agar pelaku penyiksaan terhadap anal mendapat sanksi yang lebih berat lagi.