Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan kecewa dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang menolak gugatan perlawanan terhadap pengangkatan Mayjen Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya.
Untung Budiharto diketahui merupakan anggota Tim Mawar Kopassus yang terbukti bersalah dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Ini dinilai sebagai bukti bahwa TNI merupakan unsur yang kebal hukum di negara hukum.
"Ditolaknya gugatan perlawanan menunjukkan bahwa TNI kebal hukum di Negara Hukum, karena secara praktik keputusan tata usaha militer tidak dapat diuji oleh mekanisme hukum apapun," ujar Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan pers yang digelar secara daring di saluran YouTube KontraS, Jumat (17/6).
Salah satu pertimbangan majelis hakim dalam menolak gugatan Koalisi Masyarakat Sipil yaitu kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan bersenjata atau militer bukan menjadi ranah dari PTUN.
Gugatan yang sama dilayangkan koalisi ke Peradilan Tata Usaha Militer Jakarta, namun gugatan tersebut ditolak tanpa adanya proses peradilan yang berlangsung. Alasannya, peraturan pemerintah mengenai hukum acara tata usaha militer hingga saat ini belum tersedia.
Arif Maulana dari LBH Jakarta mengatakan, ini merupakan bentuk kegagalan lembaga yudikatif dalam fungsinya sebagai lembaga koreksi, untuk memastikan bahwa lembaga eksekutif juga bekerja.
"Ketika kemudian tidak ada ruang, mestinya yudikatif itu menjadi lembaga yang bisa kita harapkan untuk kemudian dapat memberikan ruang bagi korban untuk memperjuangkan keadilan," ujar Arif.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyebut, hakim berwenang untuk melakukan penemuan hukum dan dilarang menolak perkara dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
"Dia tidak boleh menolak, apapun kondisi hukum saat itu. Dari pasal ini diberikan kewenangan yang namanya penemuan hukum, itu karena tidak boleh menolak perkara," kata Julius.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar mengungkapkan, putusan dari PTUN yang menolak gugatan koalisi menunjukkan negara tidak memiliki terobosan dalam melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pihaknya menilai, upaya-upaya yang telah dilakukan koalisi bersama dengan keluarga korban dalam menuntut hak-hak mereka menemui jalan buntu. Hal ini dianggap melukai keinginan korban untuk menemukan keadilan di masa depan karena tidak ada ruang untuk itu.
"Dan ini juga jelas, upaya putusan atau penolakan tersebut sebagai upaya penangkalan terhadap keadilan, kebenaran dan pemulihan pada korban pelanggaran HAM," terang Rivanlee.
Menurut koalisi, gugatan atas keputusan Panglima TNI yang melakukan penunjukkan terhadap Panglima Kodam Jaya Untung Budiharto seharusnya menjadi bahan refleksi bahwa pengambilan keputusan di dalam tubuh TNI itu tidak transparan. Sementara, dampaknya bisa meluas bahkan hingga ke masyarakat yang hendak mencari perlindungan hukum.
"Seharusnya pengujian terhadap keputusan tata usaha militer di kamar tata usaha negara menjadi penting, sebagai perwujudan kepastian hukum serta jaminan akses terhadap hukum bagi warga negara," tegas koalisi.