Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menvonis pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait peristiwa Semanggi I dan II sebagai perbuatan melawan hukum.
Selama enam bulan Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II menempuh upaya hukum dengan melayangkan gugatan terhadap Jaksa Agung ST Burhanuddin ke PTUN Jakarta, atas pernyataannya di depan Komisi II DPR pada 16 Januari 2020.
Saat itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat. Maka, semestinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak menindaklanjuti kasus tersebut. Sebab, tidak ada alasan untuk menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan Putusan PTUN Jakarta Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 4 November atas nama Sumarsih, dkk, majelis hakim yang terdiri dari Andi Muh. Ali Rahman, Umar Dani, dan Syafaat, menyatakan mengabulkan seluruh gugatan Sumarsih dan Ho Kim Ngo.
“Menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima. Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya,” tulis amar putusan tersebut.
Diketahui, Sumarsih merupakan orang tua dari Bernardinus Ralino Norma Irmawan, mahasiswa yang meninggal setelah ditembak yang diduga oleh aparat dalam Peristiwa Semanggi I pada November 1998. Sementara Ho Kim Ngo adalah orang tua dari Yap Yun Hap, mahasiswa yang meninggal ditembak aparat dalam peristiwa Semanggi II pada September 1999.
Di sisi lain, tergugat Jaksa Agung ST Burhanuddin diwajibkan untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR berikutnya. Hal ini dilakukan selama belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya.
Kemudian, PTUN menghukum tergugat Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membayar biaya perkara sejumlah sebesar Rp285.000.