Pulau Pari: Menolak tenggelam diterjang krisis iklim
“Enam pulau sudah hilang di Pulau Seribu.”
Salah satu tulisan protes itu tertempel di tembok rumah warga RT01 RW04, seolah menjadi ucapan selamat datang di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tulisan bernada protes lainnya pun terdapat di dinding beberapa rumah warga.
Tulisan-tulisan itu dibuat warga yang tergabung dalam Forum Peduli Pulau Pari (FP3). Mereka resah dengan kondisi Pulau Pari yang terus dilanda bencana abrasi dan banjir rob akibat perubahan iklim global.
Menurut salah seorang warga Pulau Pari, Mustaghfirin alias Bobby, sudah tiga tahun belakangan permukiman di tempatnya tinggal mengalami banjir rob. Padahal, sebelumnya tak ada cerita air laut sampai naik ke daratan.
“Perubahan iklim begitu terasa di sini. Ada rumah warga yang rusak,” kata Bobby kepada Alinea.id, Kamis (9/2).
Dampak krisis iklim
Kerugian materiel begitu besar dialami warga. Bahkan, bencana itu sudah menggerus aset wisata pantai yang molek.
“Abrasi sudah membuat pantai terkikis enam sampai delapan meter,” ujarnya.
Ada tiga pantai andalan wisata di Pulau Pari yang terancam rusak akibat abrasi, yakni Pantai Pasir Perawan, Bintang, dan Rengge. Paling parah terlihat di Pantai Rengge dan Bintang, yang terletak di ujung barat dan timur pulau. Puluhan pohon cemara laut mati terendam air laut yang menggerus daratan.
“Pantai kami adalah salah satu daya tarik wisata," ujar Bobby.
Sartono, 42 tahun, warga Pulau Pari lainnya mengeluh ikan kerapu yang ia budi daya mati lantaran cuaca dan kondisi air yang berubah akibat krisis iklim. “Pada 2021 saya menebar sampai 600 bibit,” kata Sartono, Kamis (9/2).
“Tapi, mati karena rob dan PH (tingkat keasaman) air berubah. Lebih dari setengahnya ikan mati.”
Tahun lalu, Sartono mengaku rugi sangat besar. Modal Rp30 juta yang ia keluarkan untuk membesarkan 300 bibit ikan kerapu, hanya kembali Rp5 juta karena yang hidup hanya 50 ekor. Padahal, sebelum 2018 ia bisa meraup untung hingga Rp70 juta dari 600 ekor ikan kerapu yang dibudi daya.
"Sesudah tahun 2018 panen saya terus merosot," ucapnya.
Seorang warga RT04 RW04 Pulau Pari, Arif Pujianto, 52 tahun, juga merasakan dampak krisis iklim. Rumahnya di ujung barat pulau itu, berada di dataran rendah hanya 50 meter dari bibir pantai, sering kali terendam banjir rob.
“Depan dan belakang rumah saya laut. Jadi, kalau lagi rob, air datang dari depan dan belakang,” ujarnya, Kamis (9/2).
Arif mengatakan, rob mulai mengepung rumahnya sejak empat tahun terakhir. Tingginya mencapai 30 sentimeter di dalam rumah.
"Sekarang rob sering terjadi tanpa kenal waktu,” tuturnya.
Rob pun membuat bibir pantai jadi abrasi. “Sejak 2020 keadaan semakin buruk dan belum ada tanda-tanda pantai bakal pulih,” katanya.
Posisi rumahnya yang tepat di muka Pantai Bintang pun membuat ia kesulitan mendapat air bersih. Sebab, banjir rob mengakibatkan sumur sumber air minum keluarganya menjadi asin.
“Akhirnya, untuk minum, saya harus beli air penyulingan. Per galon Rp500. Banjir rob juga membuat motor, kulkas, dan alat-alat dari logam (saya) berkarat,” ujarnya.
Tak hanya itu. Rob membuat perkebunan sayur yang ia buat untuk ketahanan pangan luluh lantak. “Pohon pete, pisang, pepaya, cabai, tomat, semua mati. Tahun 2022 sayuran enggak bisa ditanam lagi,” ucapnya.
Rob juga membuat kebun sayur yang ditanam Asmania, 40 tahun, bersama kelompok perempuan di Pulau Pari mati. “Padahal, kebun kami jauh dari pantai, sekitar 50 meter,” ujar Asmania, Kamis (9/2).
Asmania khawatir, Pulau Pari bakal tenggelam di masa depan. Pasalnya, ia melihat, air laut sudah menggerus daratan hingga delapan meter, selama tiga tahun terakhir. Ia berkata, perubahan iklim telah membuat Pulau Pari kehilangan satu hektare dari total 42 hektare luasnya.
Tiga tahun terakhir ini, menurut Asmania, Pulau Pari mulai tak lagi menjadi habitat burung bangau dan kuntul karena pepohonan di pinggir pantai tumbang tergilas air laut.
Segala petaka yang disebabkan krisis iklim itu membuat warga Pulau Pari menggelar diskusi dengan beberapa aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ahli lingkungan sejak 2018. Asmania menuturkan, dari serangkaian diskusi, warga menyimpulkan semua solusi pemulihan lingkungan tak akan berdampak apa pun, selama emisi karbon penyebab perubahan iklim tak ditekan.
“Kami pelan-pelan memahami, bila fakta perubahan iklim hari ini, tidak terlepas dari aktivitas perusahaan penyumbang emisi karbon yang membuat pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu tenggelam,” kata Asmania.
Usai diskusi panjang lebar dengan aktivis dan ahli lingkungan, warga menelusuri industri mana saja yang menyumbang emisi karbon terbesar. Akhirnya, kesimpulan tertuju pada perusahaan semen PT Holcim.
“Mereka sudah beroperasi sejak lama dan perusahaannya ada di mana-mana,” kata Asmania.
“Mereka ternyata salah satu penyumbang emisi, yang mestinya bertanggung jawab. Kami minta mereka mengurangi emisi karbon, agar pulau kami tidak tenggelam.”
Sejak 2021, Asmania dan beberapa warga meminta dukungan internasional untuk melayangkan gugatan ke pengadilan Swiss. Mereka menuntut PT Holcim yang berkantor pusat di Swiss.
“Selama puluhan tahun aktivitas mereka, keadaan perubahan iklim ini terjadi salah satunya karena mereka,” ujarnya.
Grup Holcim Swiss termasuk dalam daftar “Carbon Majors”, yang menyumbang emisi global CO2. Studi Institut Akuntabilitas Iklim menempatkan Holcim dalam 100 perusahaan penyumbang 70% emisi karbon dunia. Holcim memimpin industri bahan bangunan terbesar, yang mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia.
Sementara penelitian HEKS/EPER menunjukkan, sejak 1950-2021 Holcim sudah memproduksi tujuh miliar ton semen. Pada 2021, perusahaan ini memproduksi 200 juta ton semen. Produksi semen untuk bahan beton sudah melepaskan karbon dioksida dalam kuantitas yang cukup besar. Sekitar 8% emisi global keluar dari industri ini.
“Kondisi ini sangat berdampak bagi kami yang tinggal di pulau karena permukaan air laut terus naik. Maka, kami menuntut keadilan,” kata Asmania.
Awal Februari 2023, Asmania bersama Edi Mulyono, Mustaghfirin, dan Arif Pujianto, menuntut PT Holcim ke pengadilan Swiss lewat European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR).
Gugatan dan harapan
Alinea.id sudah berupaya meminta tanggapan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengenai upaya gugatan warga Pulau Pari terhadap PT Holcim ke pengadilan Swiss. Namun, Bambang memilih bungkam.
Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitriah Tanjung, yang mendampingi warga Pulau Pari berpendapat, gugatan kepada PT Holcim merupakan upaya menuntut keadilan iklim pada negara-negara utara (Amerika Utara, Eropa Barat, negara maju Asia Timur) terhadap selatan (Afrika, Amerika Latin, negara berkembang di Asia).
Disebutnya, banyak perusahaan penyumbang emisi karbon berasal dari negara utara, tetapi yang menanggung akibatnya adalah negara selatan, terutama yang punya lautan seperti Indonesia.
Menurut Suci, warga di Pulau Pari harus menanggung akibat langsung dari krisis iklim itu. Sedangkan PT Holcim meraup keuntungan dari akvitias industri semen.
“Produksi karbonnya tidak sebanding, dampak yang dirasakan lebih besar oleh teman-teman di pulau-pulau kecil,” ujarnya, Senin (6/2).
“Kami melihat, ada persoalan ketidakadilan di situ.”
Suci mengatakan, Walhi ingin menuntut komitmen negara-negara utara, seperti Swiss, untuk menindak perusahaan dari negara mereka yang menyumbang emisi karbon. Supaya tak seenaknya berbisnis dengan cara merusak lingkungan.
Upaya gugatan ini, menurut Suci, untuk memancing reaksi dunia agar terjadi efek domino bagi perusahaan lain yang sudah teridentifikasi menyumbang emisi karbon.
“Ini tentu akan memberi snowball effect dari gugatan yang sudah dimulai di Belanda (tahun 2021) yang menggugat Shell,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyebut, warga di Pulau Pari merasa tak nyaman karena dampak krisis iklim. “Perubahan iklim sudah membuat cuaca sulit ditebak oleh nelayan di sana,” katanya.
“Awalnya (laut) tenang, bisa berubah terjadi badai, sehingga membuat nelayan takut melaut.”
Selain itu, kata dia, sudah ada pulau-pulau kecil di sekeliling Pulau Pari yang tenggelam akibat naiknya air laut. Tak mustahil, hal yang sama akan menimpa Pulau Pari, jika perusahaan tak didorong mengurangi emisi.
“Makanya, kami satu-satu menuntut perusahaan. Bukan tidak mungkin yang lain nanti menyusul,” ujar dia.
Sementara itu, pakar hukum lingkungan dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Kartono berpendapat, gugatan empat warga Pulau Pari sudah tepat. Soalnya, sudah ada kasus serupa yang bisa menjadi landasan hukum atau yurisprudensi, yakni gugatan hukum yang diajukan Friends of the Earth Belanda (Millieudefensie) bersama 17.000 penggugat dan enam organisasi lain terhadap Shell di pengadilan Den Haag, Belanda pada 2021.
Pengadilan memutuskan, Shell harus mengurangi emisi CO2 sebesar 42% dalam 10 tahun. Di samping itu, ada pula gugatan petani di Peru terhadap RWE, sebuah perusahaan batu bara asal Jerman.
“Kalau berhasil, ini menjadi pertama kali di Indonesia,” tuturnya, Rabu (8/2).
“Saya jujur, sangat mendukung sekali gugatan semacam ini karena akan memberikan edukasi bagi warga. Terutama mereka yang menjadi korban naiknya permukaan air laut.”
Di sisi lain, gugatan ini juga bisa menjadi pelajaran bagi perusahaan penyumbang emisi, yang berkantor di negara-negara utara untuk mematuhi Perjanjian Iklim Paris (2015), yakni membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius.
“Saya kira, (perusahaan asal) Swiss dan perusahaan (lain) juga punya tanggung jawab untuk bisa memenuhi target penurunan suhu,” kata Kartono.
Menurut Kartono, meski berkantor pusat di Swiss, PT Holcim punya pabrik di Indonesia. Maka cukup beralasan menuntut perusahaan itu untuk memulihkan pulau-pulau yang terdampak perubahan iklim.
“Itu tandanya ada kepentingan antara penggugat dan tergugat untuk bisa meluluskan gugatan ini,” ujarnya.
“Tapi, memang terutama kemampuan dari penggugat untuk bisa membuktikan sebab timbal balik antara kerugian yang mereka dapatkan, dengan naiknya suhu bumi itu.”
Pendekatan global untuk menyelesaikan persoalan krisis iklim, kata Kartono, sudah semestinya dilakukan. Karena sebab-akibat perubahan iklim terjadi lantaran perilaku masyarakat dunia, yang tak terikat batas-batas geografis.
“Persoalan-persoalan lingkungan itu lebih terkait dengan masalah ekosistem,” tuturnya.
“Isu mengenai suhu bumi ini merupakan isu ekosistem secara keseluruhan.”