close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pada 2015, Kalimantan mengalami kebakaran hutan dan lahan hebat. Masyarakat menggugat pemerintah. Alinea.id/MT Fadillah.
icon caption
Pada 2015, Kalimantan mengalami kebakaran hutan dan lahan hebat. Masyarakat menggugat pemerintah. Alinea.id/MT Fadillah.
Nasional
Rabu, 02 Oktober 2019 21:08

Putusan MA dan pemerintah yang abai atasi karhutla

Masyarakat menggugat pemerintah terkait kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan pada 2015.
swipe

Salah seorang warga yang tinggal di Desa Mantangai Hulu, Kalimantan Tengah, Norhadie Karben mengakui, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 terbilang paling parah, selain yang pernah terjadi pada 1997.

Norhadie mengatakan, malapetaka kebakaran besar itu bermula ketika pemerintah memberikan “karpet merah” untuk perusahaan membuka lahan gambut di desanya.

Ia mengeluh, kesulitan meminta pertanggung jawaban perusahaan yang membakar hutan karena pemerintah tidak bertindak tegas. Menurutnya, ada dua perusahaan yang beroperasi di desanya, yakni PT Usaha Handalan perkasa dan PT Kalimantan Lestari Mandiri.

"Setiap terjadi kebakaran, titik api ada di wilayah mereka. Kami pernah melayangkan protes untuk meminta perusahaan bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan ke warga di tahun 2015. Tapi tak mendapat tindak lanjut," ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Senin (30/9).

Atas dasar itu, Norhadie pasrah, peristiwa kebakaran hutan di desanya bakal terus terjadi. Alasannya, izin perusahaan pembuka lahan tak pernah ditertibkan pemerintah.

"Karena pangkal masalah awal ada di situ," katanya.

Pada 2015, berdasarkan data dari SiPongi karhutla monitoring system Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seluas 2.611.411,44 hektare hutan dan lahan di beberapa titik yang tersebar di 34 provinsi terbakar.

Saat itu, Kalimantan Tengah menjadi wilayah paling parah kedua karhutla, di bawah Sumatera Selatan. Total hutan dan lahan yang terbakar di Kalimantan Tengah seluas 583.833,44 hektare.

Api mambakar lahan milik warga di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (22/9) dini hari. /Antara Foto.

Pada Juli 2015, kelompok masyarakat yang diwakili Aries Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty menggugat pemerintah atas karhutla yang terjadi di Kalimantan.

Gugatan itu dialamatkan untuk Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah.

Pada 2017, Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya lalu mengabulkan gugatan itu, diperkuat pula dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palangkaraya, yang menolak banding pemerintah.

Pemerintah lantas mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, permohonan itu ditolak pada Juli 2019.

Keputusan tersebut menguatkan putusan PN Palangkaraya, yang memvonis pemerintah harus menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang penting bagi pencegahan penanggulangan karhutla.

Selain itu, pemerintah diminta untuk menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden sebagai dasar hukum terbentuknya tim gabungan, mendirikan rumah sakit paru dan penyakit lain akibat pencemaran asap secara gratis untuk korban, dan membuat peta kerawanan karhutla di Kalimantan Tengah.

Kemudian, merevisi rencana kehutanan tingkat nasional yang ada di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 41 Tahun 2011, mengumumkan lahan terbakar dan perusahaan pemegang izin, membuat tim khusus pencegahan karhutla berbasis wilayah desa, serta mengesahkan peraturan daerah yang diatur perlindungan kawasan lindung.

Pemerintah pun mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai respons penolakan kasasi.

Berkelit dari tuntutan

Relawan pemadam kebakaran berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Desa Handil Usang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Senin (30/9). /Antara Foto.

Menurut juru bicara MA Andi Samsan Nganro, pihaknya belum melihat berkas PK dari pemerintah. Mekanisme PK, kata Andi, dilayangkan ke PN Palangkaraya terlebih dahulu.

“Tolong cek dulu, apakah PK pemerintah sudah diajukan, sebab pengajuannya melalui PN Palangkaraya,” kata Andi saat dihubungi, Rabu (2/10).

Dihubungi terpisah, Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani enggan berkomentar terkait alasan pemerintah mengajukan PK ketimbang menjalankan perintah MA.

"Tanyakan saja ke pihak humas KLHK," ujar Rasio ketika dihubungi, Senin(30/9).

Saat dikonfirmasi, juru bicara KLHK Djati Wicaksono Hadi mengatakan, saat ini pihaknya tengah menunggu rilis resmi putusan dari PN Palangkaraya. Hal itu diperlukan sebagai dasar mengajukan PK.

"Sampai saat ini belum kami terima," tuturnya saat dihubungi, Selasa (1/10).

Untuk materi PK, Djati menuturkan, hal itu masih dibahas tim biro hukum KLHK yang sudah dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Menurut Djati, pihaknya lebih memilih mengajukan PK karena KLHK merasa sudah menjalankan tuntutan gugatan yang diajukan pada 2015. Namun, pihaknya tetap menempuh jalur hukum lanjutan untuk menanggapi penolakan kasasi.

"Kami kan sudah melakukan tindak lanjut pencegahan kebakaran hutan. Tidak hanya KLHK ajak kan (yang digugat)? Ada beberapa kementerian juga. Artinya, KLHK sudah berusaha keras dan tak abai," ucap Djati.

Berdasarkan laporan Walhi bertajuk “Pemulihan Kebakaran Hutan dan Lahan”, ada delapan poin tuntutan dan turunannya. Namun, hanya sedikit yang terealisasi.

Di poin menghukum tergugat I (Presiden) untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat, pemerintah diminta menerbitkan delapan peraturan pemerintah.

Dari delapan peraturan pemerintah yang diminta, hanya satu yang terealisasi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Di dalam poin menghukum tergugat I (Presiden), tergugat II (Menteri LHK), dan tergugat VI (Mendagri) membuat peta kerawanan kebakaran hutan, lahan, dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, serta kebijakan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, yang terealisasi hanya soal peta kerawanan karhutla.

Ada versi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tetapi tidak tersosialisasikan dan hanya berbentuk fisik. Peta itu hanya berdasarkan aspek fisik saja, belum mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat.

Di poin menghukum tergugat VI untuk membuat tim khusus pencegahan dini karhutla dan perkebunan di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbasis pada wilayah desa yang beranggotakan masyarakat lokal, Mendagri wajib mengalokasikan dana untuk operasional dan program tim, melakukan pelatihan dan kordinasi secara berkala minimal setiap empat bulan dalam setahun, menyediakan peralatan yang berkaitan dengan karhutla, dan menjadikan tim tersebut sebagai sumber informasi pencegahan dini dan penanggulangan karhutla di Provinsi Kalimantan Tengah, hanya satu terealisasi.

Realisasi itu adalah kewajiban menyediakan peralatan yang berkaitan dengan karhutla. Peralatan ada, tetapi belum diketahui sumber pendanaannya.

Di poin menghukum tergugat VI dan VII (Gubernur Kalimantan Tengah) segera menyusun dan mengesahkan perda yang mengatur tentang perlindungan kawasan lindung, seperti diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, belum terealisasi. Namun, ada Surat Keputusan Menteri LHK SK.130/MenLHK/Sekjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional.

Selain KLHK, Kementerian Kesehatan termasuk yang ada dalam pihak tergugat. Akan tetapi, saat dikonfirmasi, Kepala biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Widyawati mengatakan, hingga kini pihaknya belum mengetahui adanya putusan MA terkait PK.

"Maaf sampai saat ini belum ada putusan MA," ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (2/10).

Aktivis lingkungan Greenpeace Indonesia dan Save Our Borneo melakukan aksi pembentangan spanduk raksasa di bawah Jembatan Kahayan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (22/9). /Antara Foto.

Pemerintah bela perusahaan?

Salah seorang pihak penggugat yang juga Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas kecewa dengan sikap pemerintah. Ia mengatakan, bukannya melaksanakan amanat putusan MA dengan membuat aturan turunan dan membangun fasilitas perawatan, pemerintah malah memilih mengajukan PK.

“Sangat ironis. Upaya pengajuan PK tersebut sama saja mengabaikan hak-hak warga negara yang mestinya dipenuhi pemerintah,” kata Arie saat dihubungi, Jumat (27/9).

Arie mempertanyakan komitmen pemerintah terkait pencegahan karhutla, termasuk putusan pengadilan. Sebab, kata dia, putusan MA itu tak membatalkan atau menghentikan eksekusi yang seharusnya dilakukan pemerintah. Arie pun melihat, sikap pemerintah itu sama saja memperlihatkan tindakan kurang terpuji.

“Artinya pemerintah sedang mempertaruhkan bagaimana hukum itu bekerja," kata dia.

Sementara itu, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Wahyu Perdana memandang, sikap pemerintah sama saja membiarkan korban berjatuhan. Padahal, kata dia, bila pemerintah melaksanakan putusan MA, hal itu sama dengan menyelamatkan korban dari efek karhutla.

"Pemerintah diperintahkan pengadilan untuk menyediakan rumah sakit paru-paru. Kalau belum ada, korban asap itu dibebaskan biayanya. Tapi itu tak dijalankan pemerintah," ujarnya saat dihubungi, Minggu (29/9).

Wahyu menyarankan, ketimbang mengajukan PK lebih baik pemerintah memperkuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup (PPLH), dengan membuat aturan turunan.

"Sebenarnya pengaturan tentang PPLH-nya itu sudah cukup komprehensif menurut kami dengan kondisinya.Tapi belum cukup. Sebab, untuk menjadikan itu operasional butuh PP (peraturan pemerintah), bahkan peraturan menteri (permen). Tapi itu enggak turun,” kata dia.

“Saya pikir menunjukkan negara itu tangannya turut memperparah kebakaran hutan."

Arie mengendus gelagat tak baik dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah sedang memberi angin segar korporasi yang membakar hutan dan lahan. Bila PK itu diajukan, bakal menjadi contoh para pengusaha bahwa pembakaran hutan dan lahan bisa diakali melalui tangan pemerintah.

Perusahaan dan pelaku pembakaran hutan dan lahan, kata Arie, bisa mengabaikan putusan hukum. Bahkan, putusan pengadilan.

"Karena pemeritah memberikan contoh yang tidak baik terhadap supremasi hukum," ujar Arie.

Arie menyarankan pemerintah untuk menuntut perusahaan nakal yang membakar hutan dan lahan, serta melakukan pemulihan lahan. “Bukan mengajukan PK,” tuturnya.

Menurut Arie, kasus pengadilan yang sudah memiliki kedudukan hukum tetap ada 11 perusahaan. Nilainya mencapai Rp18,9 triliun. Jika nilai tersebut dimanfaatkan untuk biaya pemulihan, sebut Arie, akan berguna sekali. Sebab, mereka merupakan pelaku pembakaran hutan dan lahan.

“Sebaiknya pemerintah memaksimalkan menagih dengan cara mengambil alih dan menyita aset perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan," ujarnya.

Anak-anak berpose di area kebakaran lahan gambut di kawasan Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Kamis (19/9). /Antara Foto.

Wahyu menilai, pemerintah masih kurang terbuka dalam mengumumkan perusahaan nakal terkait Karhutla. Padahal, keterbukaan itu penting untuk mengetahui seberapa luas lahan yang terbakar dan akan dibakar, dengan membandingkan tanah yang dimiliki perusahaan.

"Kalau klaim hanya melalui pantauan udara saja tanpa melihat titik dari satelit, itu enggak akan kelihatan. Kalau 2 hektare saja, belum bisa mengidentifikasi tanahnya siapa, kalau belum ada plangnya. Mestinya itu buka,” tutur Wahyu.

Sayangnya, kata Wahyu, negara tak membuka tanah siapa yang terbakar. Malah berusaha menutupinya. Terutama tanah konsesi perkebunan.

Di samping itu, Wahyu melihat, sikap pemerintah yang melindungi perusahaan sawit dengan dalih memiliki tingkat devisa yang besar, tetapi membiarkan membakar lahan merupakan sikap yang kurang bijak.

Sebab, kata Wahyu, meski menyumbang devisa yang besar, perusahaan sawit cenderung paling tak taat pajak.

"Mestinya, pemeritah membuka saja semua perusahaan sawit nakal. Dengan begitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bisa leluasa menyelidiki dan menyidik kasus sengkarut kebakaran hutan dan lahan dipusaran perusahaan sawit,” ucapnya.

Main mata pemerintah daerah

Wahyu Perdana memandang, sikap pemerintah sama saja membiarkan korban berjatuhan. Padahal, kata dia, bila pemerintah melaksanakan putusan MA, hal itu sama dengan menyelamatkan korban dari efek karhutla.

"Pemerintah diperintahkan pengadilan untuk menyediakan rumah sakit paru-paru. Kalau belum ada, korban asap itu dibebaskan biayanya. Tapi itu tak dijalankan pemerintah," ujarnya.

Wahyu juga sangat kecewa dengan Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, yang acap kali mengatakan, kondisi kebakaran hutan masih terkendali. Padahal, kenyataannya di lapangan sudah sangat kritis.

Ia menilai, pernyataan Wiranto itu bisa berpengaruh negatif dan menular ke pejabat di bawahnya untuk tak bersikap jujur terkait karhutla.

"Kebakaran yang sudah jelas asapnya ke mana-mana masa masih dibilang baik-baik saja," ucapnya.

MA memutuskan pemerintah bersalah atas kebakaran hutan dan lahan pada 2015 di Kalimantan. Alinea.id/MT Fadillah.

Dihubungi terpisah, CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Jamartin Sihite menyebut, problem kebakaran hutan di Kalimantan sebenarnya masalahnya ada di pemerintah daerah. Menurutnya, pemerintah daerah cenderung main mata dengan korporasi nakal.

"Korporasi ini yang mestinya diputus pengadilan, bersalah. Pemda yang keluarkan izin, ke mana mereka? Bupati yang kasih izin sawit, ke mana? Enggak saya lihat disasar," ujarnya saat dihubungi, Rabu (2/10).

Meski demikian, ia tak menampik jika pemerintah pusat turut memperparah kebakaran hutan di Kalimantan. Jamartin mengatakan, pemerintah tak pernah serius menindak perusahaan yang membakar hutan, demi memperluas lahan industri garapannya.

"Kalau pemegang izin tidak taat, ya cabut dan penjarakan. Pemerintah itu lalai. Jadi, lakukan saja perbaikan, perkarakan pemda yang tak menjalankan tugas dan fungsinya," ujarnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan