Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK dinilai menjadi momentum DPR dan pemerintah untuk segera menginisiasi pembatasan revisi kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Dalam rancangan RKUHAP 2012, tim penyusun telah mencoba memperkenalkan konsep hakim pemeriksa pendahuluan dengan kewenangan memberi izin pelaksanaan upaya paksa, mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, hingga penyadapan.
Kehadiran hakim pemeriksa pendahuluan dalam revisi KUHAP ini dinilai akan mampu mengatasi sebagian persoalan krisis akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Di sisi lain, revisi KUHAP diharapkan dapat menyelesaikan masalah kewenangan aparat penegak hukum yang eksesif dalam pelaksanaan berbagai bentuk upaya paksa.
“Sebagai bentuk pengawasan, tentu kaidah dalam putusan MK tersebut masih sangat jauh dari konsep ideal sistem akuntabilitas dalam sistem penegakan hukum pidana. Pengawasan terhadap upaya paksa seharusnya diletakkan pada lembaga pengadilan,” ujar peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari dalam keterangan tertulis, Rabu (5/5).
Ia melanjutkan, hingga saat ini, pengawasan yudisial melalui lembaga pengadilan terhadap upaya paksa masih belum efektif. Berdasarkan riset ICJR pada 2014 tentang lembaga praperadilan, ditemukan berbagai keterbatasan fungsi lembaga tersebut dari segi pengaturan dalam KUHAP maupun penerapannya. Imbasnya, lebih banyak menguji persoalan administratif daripada yang substansial.
Dalam konteks penyadapan, kata dia, KUHAP juga masih belum mengatur tentang izin penyadapan yang harus dimintakan ke pengadilan. “Sehingga putusan MK yang merombak kewenangan Dewas KPK ini pun juga tidak menjawab persoalan krisis akuntabilitas terhadap upaya paksa yang saat ini dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia,” ucapnya.
Sebelumnya, Hakim konstitusi Aswanto menilai, ketentuan mengharuskan KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas (Dewas) untuk melakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balances. Alasannya, Dewas bukanlah aparat penegak hukum sehingga tidak memiliki kewenangan pro justitia.
"Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewas," tuturnya.
MK berpandangan, kewajiban pimpinan KPK mendapatkan izin Dewas untuk menyadap tidak saja merupakan campur tangan atau intervensi. Namun, juga bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum.
"Dengan kewenangan demikian merupakan ancaman bagi independensi lembaga penegak hukum yang pada akhirnya dapat melemahkan eksistensi prinsip negara hukum," ucapnya.