Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Senin (20/4) yang membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cipker) dihujani kritikan. Pasalnya rapat yang dilakukan secara daring via aplikasi Zoom itu sengaja ditutup-tutupi dari publik.
Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi menegaskan, rapat Baleg pada hari Senin lalu merupakan rapat internal yang diagendakan secara tertutup. Rapat hanya berisikan pembahasan pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU Cipker. Sayangnya laman Zoom yang dibuat tersebar luas.
"Fasilitas Zoom itu buat peserta rapat. Kalau mau mengikuti jalannya rapat secara terbuka bisa melalui saluran TV Parlemen ataupun medsos DPR, jika rapat terbuka. Jika rapatnya tertutup, tentu tidak bisa," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan yang kerap disapa Awiek itu saat dihubungi, Rabu (22/4).
Awiek menjelaskan, dalam rapat internal memang peserta rapat hanya anggota. Di luar itu tidak diperkenankan. Kalau pun ada aspirasi yang ingin disampaikan, Awiek menganjurkan, untuk mengirimkan surat ke Baleg DPR.
Nanti, lanjut Awiek, pasca Baleg DPR meninjau surat yang dikirimkan, kemungkinan barulah akan mengundang pihak keberatan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), lantas dipersilakan untuk menyampaikan pendapatnya.
"Sama jika rapat fisik, di ruangan yang duduk di meja dengan mikrofon kan hanya peserta rapat. Di luar peserta rapat tidak boleh mengakses mikrofon dan bisa memantau via balkon, jika rapatnya terbuka. Jika rapatnya tertutup, ya tidak bisa masuk ke ruangan. Substansinya sama saja," tegas dia.
Baleg akan melangsungkan RDPU secara terbuka dengan pihak-pihak terkait pada hari ini. Namun demikian, Awiek belum menjelaskan kapan tepatnya RDPU akan berlangsung, dan siapa-siapa yang saja pihak-pihak yang akan diundang secara detail.
Untuk diketahui, Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) merasa kehilangan akses lantaran tidak bisa berpartisipasi dalam sidang DPR mengenai pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Cipker), Senin (20/4) secara daring atau online.
FRI lantas mengungkap sejumlah modus ditutupnya akses publik dalam sidang online melalui aplikasi Zoom yang katanya digelar terbuka. Pertama, warga dikeluarkan dari ruang online setelah menyampaikan aspirasi yang berbeda.
Kedua, ruang online dikunci sehingga publik tidak bisa masuk meskipun sudah mencoba berkali-kali. Bahkan, kondisi serupa juga dialami beberapa jurnalis yaitu dikeluarkan dari ruang daring.
"Artinya, rakyat tidak diharapkan untuk mengikuti proses pembahasan RUU yang akan menimpa mereka. Hal ini, menunjukkan partisipasi publik hanya menjadi formalitas, seperti pernyataan anggota DPR lainnya yaitu 'masukan kami dengar tapi tidak harus semua diakomodir' yang terdengar saat sidang berlangsung," ujar Asep Komarudin dari Greenpeace, salah satu lembaga jaringan FRI via keterangan tertulis, Senin (20/3).
Sementara Tommy Indriadi, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengaku, dikeluarkan dari ruang online saat mengikuti sidang DPR melalui aplikasi Zoom itu. Bahkan, admin (host) sidang online DPR tersebut, memblokirnya sehingga tidak dapat kembali masuk ruang online.
"Apabila perlakuan DPR kepada publik tersebut disamakan dengan sidang di DPR (offline), maka sama artinya DPR menutup pintu sidang dan atau mengeluarkan masyarakat dari ruang sidang yang diketahui memiliki suara dan pandangan berbeda dengan apa yang sedang dibahas," ujarnya.
Hilangnya partisipasi publik ini dinilai FRI, akan berimplikasi serius. Yaitu, tidak sahnya sidang-sidang yang berlangsung, sehingga dokumen apapun yang dihasilkan dalam proses tersebut juga menjadi tidak sah.
Tak hanya itu, penghilangan partisipasi publik secara sengaja dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cilaka dinilai FRI melanggar Pasal 96 UU 12/2011 ayat (1) yang mengatur bahwa, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.