close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
TNI akan ikut menangani persoalan terorisme di Indonesia. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
TNI akan ikut menangani persoalan terorisme di Indonesia. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Kamis, 26 November 2020 13:44

Raperpres pelibatan TNI atasi aksi terorisme terus menuai kritik

Hak asasi manusia, supermasi sipil, dan penegakan demokrasi harus menjadi parameter dalam melibatkan TNI.
swipe

Salah satu mandat UU No.5 Tahun 2018, yakni Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI mengatasi aksi terorisme dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme banyak menuai kritik. Dikarenakan hal itu dapat mengancam HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Mataram Syaiful Anam mengatakan, pelibatan TNI bisa dibilang perlu dalam hal kontraterorisme, tetapi dengan beberapa syarat.

Pertama perluasan peran TNI dalam penanggulangan terorisme harus dilakukan dalam kerangka supermasi sipil dan demokrasi, serta tidak mengganggu jalannya agenda reformasi sektor keamanan.

Jika tidak, agenda reformasi sektor keamanan berpotensi mengalami kemunduran jika rancangan Perpres tersebut disahkan. Artinya hak asasi manusia, supermasi sipil, dan penegakan demokrasi harus menjadi parameter dalam melibatkan TNI.

Kedua, perluasan peran TNI dalam penanggulangan terorisme harus didasarkan pada penilaian terhadap intensitas ancaman. Artinya seberapa tinggi level ancaman itu TNI harus terlibat, ancaman tersebut bukan pada level yang sifatnya masih bisa dilakukan oleh kepolisian.

Penggunaan kekuatan militer dalam penanggulangan terorisme harus terjamin agar penggunaan tersebut bersifat sebagai solusi terakhir. Artinya ketika kepolisian dan instansi terkait sudah tidak mampu menangani, maka pada saat itu TNI bisa diturunkan dalam sebuah operasi gabungan.

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, secara prinsip tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme, seharusnya ditujukan untuk menghadapi ancaman terorisme di luar negeri, seperti pembajakan kapal atau pesawat Indonesia di luar negeri.

“Jika di dalam negeri bentuknya hanya bantuan kepada aparat penegak hukum,” tuturnya.

Isnur memberi catatan atas Raperpres yang beredar. Menurutnya draf Raperpres tentang keterlibatan TNI sulit didapatkan dan tidak dilakukan secara terbuka. Selain itu, jika Raperpres dibaca, di sana menjelaskan beberapa operasi, di antaranya menjalankan operasi intelejen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya (pasal 3).

"Operasi lainnya menurut kami ini tidak jelas atau multitafsir. Jadi kalo operasi lain seperti ini, kita enggak pernah tahu bagaimana operasinya. Ini potensial digunakan seluas mungkin dan bisa berpotensi melanggar konstitusi dan narasi manusia,” ujarnya.

Selain itu, Pasal 14 Raperpres membahas tentang pendanaan untuk mengatasi aksi terorisme yang dilakukan TNI. Salah satunya bersumber dari anggaran daerah. Hal ini tidak sejalan dengan Pasal 66 UU TNI, yakni anggaran untuk TNI hanya melalui ABPN, bukan APBD. Jika Pasal 14 ini dijalankan bisa menjadi probem akuntabilitas dan berpotensi terjadi penyimpangan sehingga menimbulkan beban anggaran baru di daerah.

img
Zahra Azria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan