Metode rapid test, PCR, dan TCM, mana paling pas deteksi Covid-19?
Indonesia tengah berusaha menangani pandemi Corona virus disease 2019 (Covid-19). Setiap hari, kasus positif Covid-19 terus bertambah. Angka mortalitasnya pun kerap meningkat.
Selain upaya pencegahan penularan virus bernama SARS-CoV-2 itu, pemerintah pun melakukan usaha pendeteksian potensi terinfeksi pada seseorang.
Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Bambang Wibowo, wawancara dan penyelidikan epidemiologi merupakan tahap awal, sebelum dilakukan tes kesehatan. Tes kesehatan dilakukan dengan dua metode, yakni rapid test (tes cepat) yang menguji sampe darah dan polymerase chain reaction (PCR) dengan menguji sampel lendir (swab).
“Untuk yang melakukan tes cepat antibodi (rapid test), baik hasilnya positif maupun negatif, maka bila tidak ada tanda dan gejala sakit berat maupun sedang, dianjurkan melakukan isolasi diri di rumah,” ujar Bambang saat konferensi pers secara virtual di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (6/4).
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, atau akrab disapa Yuri, mengatakan hingga Sabtu (11/4), pemerintah sudah memeriksa hampir 20.000 sampel menggunakan metode PCR di laboratorium seluruh Indonesia.
"Sampel diperiksa 40 laboratorium di seluruh Indonesia, baik di Jakarta maupun di daerah lain," ujar Yuri dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (11/4).
Belakangan, pemerintah juga berencana mengembangkan metode tes Covid-19 dengan alat tes cepat molekuler (TCM). Alat ini lazimnya digunakan untuk tes tuberkolosis.
“Kita akan memanfaatkan mesin pemeriksaan TB-TCM, yang selama ini sudah tergelar di lebih dari 132 rumah sakit dan beberapa puskesmas yang terpilih untuk kita konversi, agar mampu melaksanakan pemeriksaan Covid-19,” kata Yuri di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (1/4).
Maka, sejauh ini ada tiga metode untuk menguji Covid-19 yang digunakan pemerintah, yakni rapid test, PCR, dan TCM.
Praktik PCR dan rapid test
Salah seorang tenaga keseahtan di Rumah Sakit Hermina, Tangerang, Monica Christy mengakui, pihaknya sering baru mendapat laporan hasil tes Covid-19 seminggu setelah dilakukan pengujian memakai metode PCR.
Alasannya lamanya keluar hasil tes, kata dia, terkait prosedur pelaporan. “Usai mendapatkan hasil tes, laporan juga diberikan oleh lembaga laboratorium kepada dinas-dinas kesehatan terkait,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (11/4).
Hal itu juga diungkapkan Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio. “Kami hanya menerima sampel berisi swab yang dikirim dari rumah sakit. Hasil yang kami kirimkan ke Balitbangkes selanjutnya dikirimkan kepada Dinas Kesehatan provinsi,” ucapnya saat dihubungi, Minggu (5/4).
Laboratorium Lembaga Eijkman sendiri merupakan salah satu yang ditunjuk pemerintah untuk menguji Covid-19 menggunakan metode PCR. Laboratoriumnya memenuhi salah satu standar penguji PCR, yakni punya fasilitas biosafety level (BSL) 3.
Amin mengaku, sejak dipercaya pemerintah untuk menguji sampel swab, pihaknya kewalahan dengan banyaknya permintaan pemeriksaan yang masuk dari kiriman sampel berbagai rumah sakit rujukan Covid-19.
“Kapasitas maksimum laboratorium kami 180 tes per hari, tetapi sampel yang masuk bisa lebih dari lebih dari 200,” kata Amin.
Hasil pengujian tes PCR, tutur Amin, bisa diketahui tiga hari kemudian. Namun, karena berbagai prosedur laporan yang mesti dikerjakan, rata-rata seseorang baru bisa menerima hasilnya satu hingga dua minggu kemudian.
Sementara itu, salah seorang warga Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Donal Husni menyebut, metode rapid test sangat cepat. “Cuma semenit,” kata Donal saat dihubungi, Sabtu (11/4).
Sebagai orang dalam pemantauan (ODP), Donal melakukan rapid test di Puskesmas Kelurahan Rawa Buntu, Tangerang Selatan, beberapa minggu lalu. Donal mengungkapkan, setelah diambil darahnya, ia tak perlu menunggu lama untuk mengetahui hasilnya.
Puskesmas Kelurahan Rawa Buntu menerima layanan tes cepat untuk ODP dan pasien dalam pengawasan (PDP) di sekitar Tangerang Selatan. Menurut Kepala Puskesmas Rawa Buntu, Hartono Mulyana, rapid test dilakukan menggunakan sistem drive thru di halaman kantor kelurahan.
Dua pekan sebelumnya, kata Hartono, pihaknya membuka layanan rapid test dengan mendatangi masing-masing rumah warga. Akan tetapi, cara itu kurang efektif.
“Kami ambil inisiatif drive thru karena ada ODP dan PDP yang tidak mau didatangi. Mereka takut tetangganya panik, mereka juga takut dikucilkan,” kata Hartono saat dihubungi, Rabu (8/4).
“Data ODP dan PDP yang mau rapid test kita dapat dari Dinkes Tangsel. Rencana rapid test berikutnya kita belum tahu kapan, tergantung logistik dari Dinkes.”
Hartono menyebutkan, perlengkapan untuk tes cepat bergantung dari pasokan Dinas Kesehatan (Dinkes) Tangerang Selatan dan Dinkes Provinsi Banten. Koordinasi pelayanan kesehatan ini terbagi dalam empat puskesmas yang berada di bawah jangkauan kerja Puskesmas Kecamatan Serpong.
Beberapa minggu ke depan, pihaknya juga merencanakan pemeriksaan dengan metode PCR, yang dikoordinir di setiap kecamatan di Provinsi Banten.
Kelemahan PCR, rapid test, dan TCM
Guru Besar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany memandang, metode PCR lebih akurat dalam memberikan data hasil tes Covid-19. Namun, prosedur pengujian dengan PCR dinilainya lambat dan mahal.
“Fasilitasnya sangat terbatas dan mahal. Kalau semua dengan PCR tidak sanggup negeri ini,” kata Hasbullah ketika dihubungi, Jumat (10/4).
Oleh karenanya, menurut Hasbullah, pemerintah mencoba metode lain, dengan membeli alat rapid test. Metode inilah yang diharapkan bisa mempersingkat proses pendeteksian dan menekan biaya.
Sayangnya, kata Hasbullah, kecepatan deteksi rapid test tak sebanding dengan hasil yang akurat. Selain itu, menurutnya, rapid test bersifat sebagai saringan pertama dari kemungkinan potensi seseorang terjangkit Covid-19.
“Rapid test hanya saringan pertama. Jika hasilnya positif, maka seseorang itu perlu dicek lagi dengan PCR,” ucapnya.
Sementara itu, pakar kesehatan masyarakat dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dono Widiatmoko membeberkan data penelitian terhadap hasil rapid test di Italia. Laporan penelitian yang dirilis pada Maret 2020 itu, kata dia, menunjukkan kalau alat rapid test yang beredar di Italia punya angka negative predictive value (NPV) yang kecil, di bawa 30%.
“Mereka yang dinyatakan negatif (dari rapid test), sebenarnya hasilnya tidak betul-betul negatif. Banyak orang yang sebetulnya positif, tetapi juga lolos pemeriksaan atau dinyatakan negatif. Jadi, alat ini kurang sensitif,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu (11/4).
Lebih lanjut, dosen bidang kesehatan publik di University of Derby, Inggris ini mengatakan, bila seseorang dinyatakan hasilnya negatif, belum tentu juga dalam kondisi sehat. Hal ini dinilai membahayakan karena berpotensi menulari orang lain tanpa disadari. Dono menyebutnya dengan kondisi wrong sense security.
Dono pun menanggapi rencana pemerintah menggunakan metode TCM untuk mendeteksi Covid-19. Menurutnya, metode tersebut cocok untuk tes penyakit tuberkolosis saja.
“Alatnya sebagian mungkin bisa digunakan, tetapi reagen dan teknik, belum tentu sesuai untuk tujuan tes Covid-19,” katanya.
Hasbullah juga menilai kebijakan itu kurang tepat, mengingat akan menelan biaya cukup besar untuk membeli mesinnya, hingga hampir Rp20 juta per unit. Di samping itu, kata Hasbullah, GeneXpert sebagai alat yang dipakai dalam metode TCM merupakan produksi perusahaan di California, Amerika Serikat.
“Hal ini membuat Pemerintah Indonesia akan sulit mendapatkannya karena saat ini angka warga positif terjangkit di Amerika sangat besar,” tuturnya.
Dari data Worldometers.info, per Minggu (12/4) Amerika Serikat masih menduduki peringkat pertama di dunia angka tertular coronavirus, dengan total 533.115 orang. Hasbullah bilang, dengan kondisi seperti itu, persediaan alat GeneXpert dari Amerika Serikat akan menjadi langka. Akan tetapi, ia menyarankan pemerintah untuk melengkapi alat GeneXpert yang dimiliki Indonesia dari hasil hibah Amerika Serikat pada 2015.
“Kita bisa memanfaatkan yang kita punya itu. Tinggal perangkatnya ditemukan untuk dapat membaca potensi seseorang terjangkit Covid-19 atau tidak,” ujarnya.
Menurut Hasbullah, sesungguhnya kondisi saat ini adalah momentum pemerintah untuk mereformasi sistem kesehatan. Katanya, sudah waktunya Indonesia melakukan investasi di bidang industri alat dan laboratorium kesehatan.
“Alat diagnostik hanya mempercepat penghitungan orang yang sudah tertular, tidak mencegah penularan. Kembali lagi, efektivitas pencegahan ada pada disiplin orang untuk menjaga jarak dan sikap hidup sehat,” kata dia.