Rapor merah otonomi khusus Papua dan Papua Barat
Pada 19 Agustus 2019 dan beberapa hari setelahnya, terjadi aksi massa di sejumlah kota di Papua dan Papua Barat. Sebagian disertai insiden kerusuhan. Aksi unjuk rasa itu diduga karena rasa kecewa atas peristiwa penangkapan beberapa mahasiswa asal Papua dan rasisme di Jawa Timur.
Akan tetapi, beberapa pihak memandang, kerusuhan yang pecah di Bumi Cenderawasih bukan sekadar persoalan rasisme, tetapi kekecewaan yang sudah lama menggunung. Salah satunya terkait pembangunan yang kurang merata di provinsi paling timur Indonesia itu.
Akhir bulan lalu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah mengatakan, kerusuhan di Papua dan Papua Barat ada kaitannya dengan dana otonomi khusus yang selama ini belum tepat sasaran karena tak diawasi sebuah badan khusus yang mengaturnya.
Pada 1999 dan 2000, MPR menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Irian Jaya—nama Papua sebelum diganti. Hal itu sebagai langkah untuk membangun kepercayaan rakyat, dan menuntaskan segala masalah di sana.
Implementasinya, pada 2001 terbit Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.
Untuk mengakomodir otonomi khusus di Papua Barat, pada 2008 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Cacat legitimasi
Setelah berjalan bertahun-tahun, pelaksanaan otonomi khusus di Papua dan Papua Barat dipertanyakan. Peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua cacat legitimasi. Alasannya, undang-undang itu tak dibuat berdasarkan dialog politik antara pemerintah dan rakyat Papua.
"Akibatnya, baik pemerintah maupun orang Papua tidak memiliki komitmen untuk menjalankan UU ini," ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Senin (2/9).
Selain itu, kata dia, banyak sekali ketentuan di dalam undang-undang tersebut yang tak bisa dilaksanakan karena banyak yang bertabrakan dengan undang-undang sektoral lainnya. Cahyo memberikan contoh kewenangan khusus mengenai pendidikan yang tak berjalan. Sebab, masih mengikuti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Cahyo juga memandang, pemerintah sering membentuk undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus.
“Contoh, saat Papua dipisah menjadi dua provinsi, itu tak melalui UU Otonomi Khusus. Padahal, untuk pemekaran wilayah harus mendapat persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP),” katanya.
Dihubungi terpisah, anggota DPR dari Fraksi Demokrat Willem Wandik pun mengakui, otonomi khusus hanya bungkus kemandirian untuk Papua dan Papua Barat. Anggota legislatif dari daerah pemilihan Papua ini menuturkan, alih-alih ingin memberikan kewenangan khusus, pada praktiknya kontrol tetap ada di bawah pemerintah pusat, melalui kementerian dan lembaga.
“Otonomi khusus dikasih, tapi enggak pernah diberi ruang untuk penyelenggara di daerah itu memanfaatkan potensi daerah, supaya ada kemandirian dalam pengelolaan keuangan daerah,” kata Willem saat ditemui Alinea.id di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/9).
Isi undang-undang tersebut, menurutnya, sentralistik. “Daerah tak punya kewenangan apa pun,” ujarnya.
Kewalahan dalam pengawasan
Terkait dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menegaskan, pihaknya sudah berusaha agar dana itu transparan dalam pelaksanaannya.
Caranya, dengan mengedepankan mekanisme perencanaan, penyaluran anggaran, pemanfaatan, dan pertanggung jawaban yang disetujui masyarakat melalui forum musyawarah rencana pembangunan (musrembang) otonomi khusus. Hal itu dilakukan agar target pembangunan yang dialirkan melalui dana otonomi khusus bisa terencana dengan matang dan sesuai kebutuhan.
"Pemetaan dan identifikasi itu penting untuk menyusun prioritas program di dalam musrembang,” kata Akmal saat ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (2/9).
Menurut Akmal, dalam pelaksanaannya, dana otonomi khusus ikut diawasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Namun, Akmal mengakui, pihaknya kewalahan mengawasi seluruh wilayah Papua karena personelnya terbatas.
“Cakupan wilayahnya 29 kabupaten di Papua dan 13 di Papua Barat. Dengan sebaran wilayah itu, personel ya kurang,” ujarnya.
Selain itu, pendampingan penggunaan dana otonomi khusus yang dilakukan pemerintah daerah, diakui Akmal, masih terbatas.
Oleh karena itu, Akmal menyarankan APIP di setiap kabupaten diperkuat agar intensitas pengawasan bisa ditingkatkan. Pengawasan itu, kata dia, terkoneksi dengan pengawasan gubernur sebagai wakil pusat untuk pengendali program kegiatan.
Akmal kurang sepakat bila ada pihak yang mengatakan dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat belum menyentuh masyarakat. Menurut Akmal, hal itu bisa dibuktikan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Papua yang meningkat sejak adanya dana otonomi khusus.
"Meskipun tidak melonjak naik, tapi itu trennya positif, tidak turun. Artinya, untuk saat ini program yang yang didanai otonomi khusus itu signifikan," katanya.
Dikutip dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, IPM di Papua Barat mengalami peningkatan sebesar 1,25% dengan skor 62,99 pada 2017, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 62,21. Papua Barat disebut-sebut sebagai provinsi dengan pertumbuhan IPM tercepat ke-2 di Indonesia. Meski begitu, IPM di Papua Barat masih jauh berada di bawah rata-rata IPM nasional. Secara nasional, IPM Papua Barat berada di urutan 33 dibandingkan 34 provinsi di Indonesia.
Sementara itu, dana otonomi khusus dari pusat yang digelontorkan dari 2009-2018 di Papua Barat sebesar Rp18,4 triliun. Dana tambahan infrastruktur dari 2008-2018 sebesar Rp7,92 triliun, sedangkan dana bagi hasil sumber daya alam migas dari 2009-2018 sebesar Rp3,52 triliun. Total dana yang digelontorkan untuk Papua Barat sebesar Rp29,88 triliun.
Sementara gelontoran dana otonomi khusus dari pusat untuk Papua dari 2002-2018 sebesar Rp59,1 triliun. Dana untuk infrastruktur dari 2006-2018 sebesar Rp17,09 triliun. Total dana yang dikeluarkan Rp76,19 triliun.
Hanya dinikmati elite
Akmal Malik mengaku, dalam dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat rawan adanya penyimpangan. Sebab, kata dia, Papua dan Papua Barat belum punya rekening untuk dana otonomi khusus, masih bercampur dengan alokasi dana APBD dan pemerintah lainnya.
“Berbeda dengan Yogyakarta yang semuanya (rekeningnya) terpisah. Papua semua dicampur dengan rekening APBD,” ucapnya. “Ini sedang kami evaluasi dengan Menteri Keuangan."
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, secara kebijakan sebenarnya dana otonomi khusus sudah cukup tepat untuk meningkatkan kualitas masyarakat di Papua dan Papua Barat. Namun, sayangnya tak dirasakan langsung masyarakat.
"Karena dia macet di tataran elite. Elite politik dan birokrasi di provinsi, kabupaten dan kota," katanya saat dihubungi, Minggu (1/9).
Celakanya, kata Robert, ada semacam manipulasi yang dilakukan beberapa elite di Papua, yang menciptakan kesan seolah-olah pemerintah pusat yang kurang serius dalam memberikan dana otonomi khusus.
“Menurut saya, ini agak merisaukan,” tuturnya.
Dia menyarankan, pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat membenahi sistem tata kelola penggunaan dana otonomi khusus secara transparan dan akuntabilitas, sesuai peruntukannya. Sehingga, dana itu tak habis dikorupsi.
"Karena efisiensi dan korupsi itu jadi tantangan utama dari dana otonomi khusus di Papua, yang harus selesaikan," kata dia.
Robert mengatakan, untuk menciptakan sistem yang transparan, pemerintah pusat tak boleh pasif melihat penggunaan dana otonomi khusus, harus ikut mengawasinya secara ketat. Menurutnya, pemerintah pusat turut berkontribusi atas tak tepat sasarannya dana otonomi khusus.
“Pemerintah pusat lemah dalam membina dan mengawasi dana otonomi khusus itu,” ucapnya.
Duduk bersama
Anggota DPRD Kabupaten Manokwari Trisep Kambuaya juga mengakui, pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat, dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi belum terbuka dalam penggunaan dana otonomi khusus.
Trisep tak membantah, jika perkara ini kerap membuat masyarakat Papua marah dengan pemerintah pusat.
"Karena negara terlihat tidak tegas dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran dana otonomi khusus ini," ujarnya saat dihubungi, Senin (2/9).
Cahyo Pamungkas mengatakan, masih belum diterapkan penegakan hukum kepada mereka yang mencoba main-main dengan dana otonomi khusus. Cahyo yang meneliti Papua ini melanjutkan, hingga kini soal kabar adanya penyimpangan dana otonomi khusus itu tak pernah diusut tuntas.
"Mestinya jika ada penyimpangan pemerintah harus melakukan evaluasi dan memberi sanksi tegas. Misalnya dengan tidak memberikan dana otonomi khusus lagi," katanya.
Oleh karena itu, Cahyo menilai wajar bila muncul kesan bahwa dana otonomi khusus hanya dijadikan pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada elite Papua agar tak melawan pemerintah.
Terlepas dari itu, Cahyo mengatakan, masih ada cara alternatif untuk melakukan rekonsiliasi dengan elemen gerakan di Papua. Caranya, dengan merevisi kembali Undang-Undang Otonomi Khusus bersama unsur gerakan yang ada di Papua. Sebab, kata dia, tak bisa dimungkiri, gerakan itu merupakan representasi dari sikap politik sebagian rakyat Papua.
“Apa pun bentuk UU Otonomi Khusus yang akan datang, harus disetujui pemerintah maupun rakyat Papua secara politik. Siapa yang bisa mewakili? Ya yang selama ini mau merdeka,” ujar Cahyo.
Pemerintah, kata dia, harus duduk bersama dengan mereka untuk menentukan otonomi seperti apa yang tepat bagi rakyat Papua. Di samping itu, dalam penyusunan UU Otonomi Khusus, menurutnya, perlu ada kesepakatan jika tak dilaksanakan ada sanksinya.
"Seperti halnya di Aceh, ada aturan yang mengikat, sehingga UU itu benar-benar dihasilkan dari kesepakatan bersama," tuturnya.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi menilai, kerusuhan di Papua dan Papua Barat beberapa waktu lalu, bukan serta merta disebabkan sengkarutnya dana otonomi khusus, tetapi ada perubahan strategi Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari sayap militer ke politik.
Muradi mengatakan, OPM telah mengubah strateginya ke sayap politik, pascamenelan banyak kekalahan. Maka, mereka beralih menggunakan strategi propaganda untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
“Faktanya terlihat jelas dari adanya narasi negatif saat rusuh Papua,” kata Muradi saat dihubungi, Jumat (30/8).
Menurut Muradi, bila benar ingin mengelola Papua, sebaiknya OPM bersalin menjadi partai politik lokal, layaknya di Aceh, yang ikut menyampaikan aspirasi di parlemen daerah.
"Nah masalahnya OPM mau enggak kayak di Aceh, bereinkarnasi jadi partai lokal," katanya.
Muradi sendiri tak yakin OPM mau bersalin menjadi partai lokal. Sebab, dari awal mereka banyak menolak program pemerintah.
"Papua itu masih ada aktor yang menolak otonomi khusus, yaitu OPM. Ini berbeda kasus dengan di Aceh. Kalau di Aceh kan otonomi khusus diterima dengan penuh. Bahkan orang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) ikut berperan serta dalam kemandirian membangun Aceh,” ujarnya.