Ravio, Dandhy, dan teror jemput paksa polisi
Lari dari kejaran polisi, aktivis demokrasi Ravio Patra melompat masuk ke mobil seorang diplomat Belanda yang terparkir di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (22/4) malam itu. Di mobil rekannya itu, Ravio mencoba berlindung.
Meski begitu, usaha pemuda berusia 27 tahun itu sia-sia. Sempat dicegah oleh sang pemilik mobil, polisi tetap merangsek masuk untuk "mencomot" Ravio di dalam mobil. Ravio pun digelandang ke Polda Metro Jaya.
Saat tiba di kantor polisi, Ravio sempat bersikeras menolak diperiksa. Apalagi, polisi yang menjemput dia tidak pernah menunjukkan surat penangkapan dan penggeledahan. Di tengah tekanan para penyidik, Ravio akhirnya kalah.
"Awalnya Ravio enggak mau. Karena didesak dan dalam keadaan takut, akhirnya dia mau. Tapi, dalam satu jam kemudian, setelah kami datang langsung berubah statusnya jadi saksi. Itu setelah ramai di media sosial," ujar kuasa hukum Ravio, Nelson Nikodemus Simamora kepada Alinea.id, Selasa (28/4) lalu.
Polisi menangkap Ravio setelah mendapat laporan seseorang mengenai pesan-pesan provokatif yang dikirimkan dari aplikasi WhatsApp milik Ravio. Dalam pesan itu, Ravio mengajak publik melakukan vandalisme dan penjarahan nasional pada 30 April.
Pembelaan terhadap Ravio dilancarkan oleh kalangan aktivis dan tokoh-tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam keterangan pers, Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto menyatakan bahwa Ravio tengah mencari rumah aman ketika dijemput polisi.
Menurut Damar, Ravio merasa sedang "diincar" setelah akun WhatsAppnya diretas dan menemukan notifikasi panggilan-panggilan tak terjawab dari dua orang tak dikenal di ponselnya. Setelah ditelusuri menggunakan aplikasi khusus, nomor-nomor itu ternyata milik perwira polisi dan TNI.
Berikut kronologis penangkapan Ravio Patra (1/3) #BebaskanRavio pic.twitter.com/80KxSkczi5
— KONTRAS (@KontraS) April 23, 2020
Kronologi penangkapan Ravio juga disebar Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) sehari setelah Ravio dijemput polisi. Dalam unggahan di Twitter, KontraS mengungkapkan bahwa Ravio sempat berkontak dengan staf khusus Presiden, Billy Mambrasar sebelum WhatsAppnya diretas.
"RP (Ravio Patra) mengontak Billy Mambrasar via SMS untuk memberi tahunya bahwa RP tahu perusahaannya menjalankan proyek pemerintah tanpa melalui proses pengadaan yang tepat," tulis akun @Kontras.
Tukar pesan antara Billy dan Ravio terjadi pada 21 April atau sehari sebelum WhatsApp Ravio tak bisa diakses. Menurut KontraS, Billy membalas dengan menyatakan telah keluar dari perusahaan yang dimaksud Ravio. Tak puas, Ravio meminta bukti. Billy tak lagi merespons.
Menurut Nelson, selisih waktu yang berdekatan antara percakapan Ravio dan Billy, peretasan, dan penangkapan Ravio menghadirkan tanda tanya besar. Itulah kenapa dugaan Ravio sedang dikriminalisasi berembus kencang.
"Ada momen yang berdekatan antara kritik dan penangkapan. Cuma beda beberapa jam dari mengkritik stafsus yang banyak bikin proyek di daerah pakai perusahaan dia. Ini kan aneh," ujar advokat LBH Jakarta itu.
Nelson juga mempertanyakan penjemputan paksa Ravio yang tidak sesuai dengan aturan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain tanpa surat penangkapan, status Ravio juga berubah-ubah dalam pemeriksaan di kantor polisi sebelum akhirnya dilepaskan.
"Awalnya tersangka, diperiksa sebagai tersangka kemudian berubah jadi saksi. Jadi, enggak ada kejelasan dalam satu proses hukum. Untuk penangkapan, ini juga berlebihan. Yang bisa ditangkap itu hanya orang yang kemudian diduga melakukan pembunuhan," tutur Nelson.
Nasib Dandhy digantung Polri
Ravio bukan satu-satunya aktivis dan pegiat demokrasi yang pernah ditangkap polisi dengan mengabaikan aturan KUHAP. Selama beberapa bulan terakhir, polisi rajin menjemput paksa sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi yang doyan mengkritik pemerintah.
Di penghujung September 2019, misalnya, eks vokalis Banda Neira Ananda Badudu dan pendiri Watchdoc Dandhy Dwi Laksono dijemput paksa polisi di kediamannya masing-masing. Ananda diperkarakan karena menggalang dana untuk aksi unjuk rasa Reformasi Dikorupsi, sedangkan Dandhy ditangkap karena cuitannya soal gelombang kerusuhan di Papua.
Usai diperiksa, Ananda bebas dengan status sebagai saksi. Meski dibebaskan, Dandhy hingga kini masih menyandang status tersangka. Ia diduga melanggar Pasal 28 ayat (2), jo Pasal 45 A ayat (2) UU No.8 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta beberapa pasal di KUHP.
Kepada Alinea.id, Dandhy mengatakan, penjemputan paksa di tengah malam buta yang dialami dia dan rekan-rekannya merupakan tindakan berlebihan dan bentuk teror dari polisi. Apalagi, kalau "dosa-dosa" mereka ternyata benar hanya sekadar mengkritik kebijakan pemerintah.
"Dipanggil saja saya akan datang. Buat apa saya ditangkap? Saya bukan koruptor dan bukan (politikus PDI-P yang kini jadi buronan) Harun Masiku. Apa urusan dia (polisi) seperti itu? Datang jam 11 malam? Ini nuansanya lebih ingin meneror," ujar sutradara film dokumenter Sexy Killers itu.
Dandhy juga mempersoalkan perlakuan polisi saat memeriksanya dalam kasus itu. Di kantor polisi, Dandhy dan penyidik sempat beberapa kali bersitegang. Itu terjadi karena polisi mendesak Dandhy menyerahkan telepon genggamnya.
"Saya menolak karena pengacara belum datang. Itu bagi saya masalah. Bahkan, sampai tiga kali kami agak bersitegang. Setelah mereka minta yang ketiga kalinya, saya lihat baterai juga tinggal 2%, baru saya kasih," tutur Dandhy.
Dandhy mengaku heran kriminalisasi terhadap para pengkritik kebijakan pemerintah kian marak. Apalagi, penangkapan dan pemeriksaan terhadap mereka terkesan sembrono. "Padahal, saya dilepas aja juga dengan tuduhan yang enggak jelas. Tapi, statusnya tetap tersangka," ujarnya.
Soal UU ITE yang kerap dipakai untuk menjerat para pengkritik rezim, Dandhy mengusulkan agar beleid itu direvisi atau dicabut. Menurut dia, UU ITE telah melenceng jauh dari tujuan utamanya sebagai regulasi pelindung privasi publik.
"UU ini kan tujuan sebenarnya justru untuk melindungi orang supaya enggak diretas seperti Ravio. Lalu, agar orang tidak ditipu lewat internet, seperti Gojek ditipu, pesen Gofood ditipu. Lalu, pesanan palsu dan segala macam. Tapi, pada praktiknya UU ini lebih banyak dipakai untuk memberangus kebebasan berekspresi," kata dia.
Tahun lalu, penangkapan yang terkesan sewenang-wenang juga menimpa dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert. Robertus dikriminalisasi lantaran menyanyikan lagu yang dianggap menghina TNI di salah satu aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Awal tahun ini, giliran aktivis kebebasan beragama Sudarto yang digarap polisi. Mengungkap larangan merayakan Natal di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Sudarto malah ditangkap dengan tuduhan menyebarkan kebencian.
Polisi tak bisa sembarangan menangkap
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan polisi tak bisa sembarangan menangkap seseorang. Menurut dia, ada prinsip legalitas dan yuridiktas yang harus dipatuhi saat polisi menjalankan tugas.
Dari sisi legalitas, misalnya, hanya polisi yang berstatus sebagai penyidik dan penyelidik yang boleh menangkap seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana. Sesuai KUHAP, penyelidik hanya bisa menangkap jika mendapatkan instruksi dari penyidik.
"Kalau tidak punya dasar kewenangan (SK pengangkatan sebagai penyelidik atau penyidik), maka tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan. Kalau dilakukan tanpa kewenangan, namanya menculik," jelas Fickar kepada Alinea.id, Rabu (29/4).
Dari sisi yuridiktas, Fickar mengatakan, penangkapan juga tidak bisa sembarangan. Personel Polri, misalnya, wajib mengantongi surat penangkapan sebelum menahan seseorang. "Demikian juga bila ingin menggeledah dan menyita barang. Itu harus ada izin dari pengadilan negeri," tutur dia.
Untuk kasus-kasus penangkapan yang mengabaikan aturan, Fickar menyarankan agar para korban mengajukan praperadilan. Tak sekadar untuk menuntut ganti rugi, menurut Fickar, pengajuan praperadilan juga penting untuk mengoreksi Polri dan memberikan efek jera.
"Ini penting dilakukan bukan semata-mata menuntut ganti rugi. Akan tetapi, juga supaya kepolisian tak melakukan kesewenang-wenangan. Apalagi, (bertindak) berkaitan dengan pembelaan atas kekuasaan," ujar Fickar.
Fickar juga sepakat jika UU ITE direvisi dan dicabut. Menurut dia, ada banyak pasal karet di UU tersebut yang mengancam kebebasan berekspresi dan tidak tepat dijalankan di negara demokrasi modern. Di sisi lain, pejabat publik juga perlu dikritik agar tidak melenceng dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Para pejabat publik itu digaji oleh uang rakyat untuk melayani dan dikritik kinerjanya. Karena itu, UU ITE--sepanjang berkaitan dengan kebebasan berpendapat--sudah tak relevan dan harus dicabut. Bila tidak, ini akan selalu menjadi alat kriminalisasi bagi pihak-pihak yang kritis," kata dia.
Pakar hukum acara pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho mengatakan penangkapan tanpa dokumen resmi sudah pasti masuk dalam kategori pelanggaran. "Dan, ini berpotensi dipraperadilankan," kata dia kepada Alinea.id.
Menurut dia, polisi juga tak bisa sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hanya orang-orang tertangkap tangan melakukan kejahatan yang bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka. "Mestinya harus jadi saksi dulu. Kecuali, kalau dia tertangkap tangan," ujar Hibnu.
Sanksi terhadap personel Polri yang tak taat KUHAP
Anggota Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok) Alghiffari Aqsa mengatakan polisi tidak boleh dibiarkan kian sewenang-wenang dalam menangkap aktivis-aktivis seperti Ravio. Jika dibiarkan, ia khawatir, polisi malah kian berani melanggar aturan.
"Sebab praktik teror dan represif ini bisa dikenakan pada siapa pun yang kritis terhadap pemerintah. Kepolisian harus lebih profesional dan mengikuti ketentuan di KUHAP tentang penangkapan, pemeriksaan saksi, dan penyitaan," ujar dia.
Ia pun mendesak agar lembaga pengawas kepolisian tidak tutup mata terhadap tindakan-tindakan personel Polri di lapangan yang melanggar aturan. Menurut dia, tanpa ada sanksi tegas, peristiwa seperti yang dialami Ravio dan rekan-rekannya bakal terus berulang.
"Irwas (Inspektorat Pengawasan Polri), Propam, dan juga Kompolnas (harus tegas) sehingga anggota (Polri) yang melanggar KUHAP dan protap (prosedur tetap) diberi sanksi, meskipun perwira menengah dan tinggi," ujarnya.
Khusus untuk Kompolnas, Alghiffari menyebut lembaga pengawasan eksternal Polri itu terasa tak bertaji. Dalam sejumlah kasus yang menjadi perhatian publik, menurut dia, Kompolnas terkesan membiarkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan personel Polri.
"Sampai sekarang tidak ada inisiatif dari Kompolnas untuk bersikap terhadap kasus Ravio. Berbeda dengan KomnasHAM yang cukup membantu ketika penangkapan Ravio dan membuka akses bantuan hukum. Seharusnya tanpa laporan pun Kompolnas punya inisiatif," kata dia.
Terpisah, anggota Kompolnas Poengky Indarti membantah anggapan lembaganya acuh tak acuh menyikapi kasus-kasus penangkapan aktivis oleh polisi. Tanpa ada kasus khusus pun, menurut Poengky, Kompolnas selalu mengawasi kinerja Polri.
"Termasuk dalam menerima pengaduan dari masyarakat terhadap dugaan adanya pelanggaran dari anggota Polri. Dalam kasus-kasus yang disebutkan kawan-kawan koalisi, kami langsung komunikasikan dengan Polri. Hal tersebut tidak perlu kami pamerkan pada kawan-kawan koalisi toh," ucapnya.
Soal tuduhan Polri mengabaikan KUHAP saat menangkap Ravio dan aktivis-aktivis lainnya, Poengky menjawab diplomatis. Menurut dia, polisi berwenang menangkap seseorang jika dia diduga keras melakukan tindak pidana.
"Bila kawan-kawan koalisi masyarakat sipil merasa ada pelanggaran ketika polisi menegakkan hukum, silakan lapor Propam, lapor Kompolnas, dan silahkan ajukan praperadilan," kata mantan Direktur Eksekutif Imparsial itu.