Aktivis demokrasi Ravio Patra menilai penangkapan dirinya oleh oknum aparat kepolisian janggal dan cacat hukum. Pasalnya, aparat tidak menyertakan surat penangkapan yang jelas.
"Hingga saat ini pun saya belum melihat perihal surat penangkapan saya pada 24 April lalu oleh pihak kepolisian, saya tidak tahu ada atau tidak surat itu," kata Ravio dalam Diskusi virtual bertajuk 'Mengapa Diskusi dan Tulisan Diteror?' di Jakarta, Minggu (31/5).
Ravio kemudian menyampaikan kronologi penangkapan dirinya pada 24 April lalu itu. Dia mengaku ditangkap oleh oknum kepolisian tanpa menggunakan seragam lengkap kepolisian.
Ravio mengaku saat ditangkap sempat menolak dan mempertanyakan landasan hukumnya. Namun kata dia, polisi tersebut malah membantah tegas dan memaksa Ravio mengikuti arahannya.
Saat itu, dia mengaku sempat ketakutan ragu dengan oknum kepolisian itu. "Kalau bilang saya nolak, ya saya nolak karena waktu itu, dilpikiran saya hanya ada satu hal ini orang mau culik saya," ujar dia.
"Saya tau mereka beneran polisi ya setelah saya sampai di Polda," lanjutnya.
Ravio menilai, dari penangkapannya itu ternyata banyak aparat kepolisian yang justru abai terhadap aturan hukum yang berlaku.
Kata dia, mereka seenaknya melakukan penangkapan paksa seeorang tanpa prosedur yang jelas. Dia lantas menyayangkan di saat masyarakat dituntut untuk melek hukum, namun aparat kepolisian justru dinilai mencontohkan sebaliknya dengan melanggar aturan hukum yang berlaku.
"Sampai saya bahas ke mereka soal pasal-pasal KUHP yang saya tahu tentang prosedur penangkapan, terus mereka cuma bilang 'jangan sok pintar," ungkapnya.
Justru, sambung dia, yang seharusnya melek hukum adalah aparat agar dalam menjalankan tugas dan kerjanya sesuai prosedur yang berlaku.
Diketahui, Ravio Patra sempat ditangkap oleh pihak kepolisian atas dugaan melakukan penghasutan di tengah pandemi Covid-19 melalui WhatsApp.
Ravio membantah tuduhan tersebut dan mengaku WhatsApp-nya diretas oleh seseorang. Kini, aktivis demokrasi yang kritis atas kebijakan pemerintah itu bebas.