Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) mendesak pemerintah memprioritaskan penanganan pandemi coronavirus baru (Covid-19) daripada mengikuti perundingan perdagangan untuk menyelesaikan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
"Dengan adanya pandemik, justru pemerintah seharusnya melakukan penilaian (assessment) menyeluruh atas draf teks perjanjian RCEP dan melihat kembali pasal-pasal yang berpotensi menghambat penanganan pandemik dan pemulihan ekonomi," kata Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ) sekaligus perwakilan Koalisi MKE, Rahmat Maulana Sidik, melalui keterangan tertulis yang diterima Alinea.id di Jakarta, Jumat (12/6).
RCEP merundingkan perjanjian perdagangan yang komprehensif, mencakup liberalisasi perdagangan barang, pembukaan sektor-sektor jasa, liberalisasi investasi, dan penguatan hak kekayaan intelektual.
Pada 20-24 April 2020, RCEP melangsungkan pertemuan Trade Negotiating Committe (TNC) dan diikuti 15 Negara. ASEAN, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan China. Dikabarkan dilanjutkan 10-11 Juni.
Dirinya mengingatkan, Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) bersama 15 negara RCEP lainnya dan terakhir terbaru dengan Australia. Di dalamnya mengatur tarif produk ekspor ke negara-negara tersebut sangat rendah bahkan 0%.
Koalis MKE meyakini, ekspor Indonesia ke negara-negara RCEP takkan berubah signifikan dengan adanya kesepakatan itu. Justru diprediksi bakal dibanjiri produk impor. "Karena itu, menyelesaikan merundingkan RCEP seharusnya bukan prioritas," tegasnya.
Perwakilan Koalisi MKE lainnya dari Third World Network, Lutfiyah Hanim, mengingatkan, India telah melayangkan kritik terhadap RCEP. Bahkan, "Negeri Anak Benua" memutuskan untuk hengkan per November 2019 usai menganalisis teks perjanjian yang sedang dirundingkan.
Bagi India, realisasi teks perjanjian akan meningkatkan defisit neraca perdagangannya dengan mitra negara RCEP, seperti China. Faktor kedua, dikhawatirkan keikutsertaan di dalamnya berdampak terhadap industri lokal dan sektor pertanian, khususnya peternak susu akan dikepung impor.
Perwakilan Solidaritas Perempuan (SP), Arieska Kurniawaty, menambahkan, perjanjian RCEP terancam menghambat akses pada obat dan vaksin Covid-19. Alasannya, "Drafnya mengatur perlindungan HKI (hak kekayaan intelektual) yang akan memperkuat monopoli perusahaan farmasi atas obat dan vaksin."
Selain itu, RCEP mendorong liberalisasi semua sektor. Ini berimbas terhadap fleksibilitas tenaga kerja tanpa perlindungan hak-haknya. "Dalam hal ini, perempuan yang lebih banyak mengalami tekanan," jelasnya.
Sedangkan peneliti GRAIN, Kartini Samon, mengungkapkan, banyak negara di ASEAN mengamankan pasokan pangan warganya dengan membatasi ekspor sementara waktu. Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, misalnya, tak menjual beras ke luar negeri sejak Maret.
Thailand pun menutup ekspor telur selama seminggu untuk mencegah kekurangan pasokan dalam negeri. "Saat berbagai negara menutup batas-batasnya kala pandemi, pemenuhan produksi pangan di tingkat lokal menjadi sangat diperlukan," tegasnya.
Sementara itu, perwakilan Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, berpendapat, melanjutkan perundingan RCEP di tengah pandemi merupakan langkah buruk. Pangkalnya, pemerintah semestinya mengutamakan sektor pertanian dan pangan dalam negeri.
"Pandemi menyebabkan petani kesulitan mendistribusikan pangan, sehingga turunnya harga jual," ungkapnya.
Bagi dia, pemerintah juga sepatutnya fokus pada pengamanan sosial petani dengan mengeluarkan kebijakan yang relevan. Memastikan reforma agraria berjalan dan program pro kedaulatan pangan, misalnya.
"Dukungan pada produksi pertanian di tingkat lokal akan sulit dilakukan jika perjanjian RCEP dilakukan," kritiknya. Alasannya, kesepakatan akan lebih banyak menggusur produksi pangan lokal.
Koalisi MKE terdiri dari berbagai organisasi nirlaba. SP, IGJ, SPI, Third World Network, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), serta Indonesia Aids Coalition (IAC).