Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyatakan, tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Ia menilai, RUU HIP berupaya melekatkan doktrin bahwa jabatan presiden adalah orang paling pancasilais. Padahal, jabatan presiden merupakan kekuasaan eksekutif yang bisa berganti lima tahun sekali.
Pada masa rezim Orde Lama dan Orde Baru, pelekatan doktrin sebagaimana RUU HIP ini disebut berbahaya karena menjadi alat penggebuk.
“Siapapun yang mengkritik pemerintah atau beroposisi dengan penguasa akan dengan mudah dicap sebagai anti-Pancasila. Karena Pancasila adalah saya, karena presiden memegang kekuasaan Haluan Ideologi Pancasila. Ini berbahaya. Jadi, jangan sampai Pancasila bukan menjadi alat pemersatu, tetapi menjadi alat pembeda,” ucapnya dalam diskusi virtual, Sabtu (20/6).
Terdapat substansi berbahaya dalam RUU HIP terkait diperasnya Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Sehingga, lebih mengedepankan substansi keadilan sosial daripada ketuhanan.
Selain mengusik aspek religiusitas masyarakat Indonesia, RUU HIP juga akan mengaburkan kaitan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara. “Dasar negara tidak ada debat, tetapi ideologi negara itu masih ada yang keberatan, seperti Rocky Gerung. Negara yang memiliki ideologi itu fasis kata Rocky Gerung,” ujar Refly.
Selain itu, RUU HIP terkesan memaksakan rakyat untuk mengamalkan Pancasila. Padahal, semestinya pejabat publik yang terlebih dahulu mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagaimana amanat UUD 1945. Pasalnya, nilai-nilai Pancasila diharapkan bisa membuat pejabat publik menghindari kesewenang-wenangan (abuse of power) karena kekuasaan dititipkan kepadanya.
“Agar tidak menggunakan kekuasaan secara serampangan dan sembarangan yang akan membuat rakyat sengsara, maka penguasa diminta berpancasila,” tutur Refly.
Misalnya, dalam sila pertama Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Semestinya bisa memperingatkan pejabat publik bahwa kekuasaan bukan hanya dipertanggung jawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat. Sedangkan sila kedua, meminta pejabat publik mempertimbangkan perspektif kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Jadi, kalau pemerintah memelihara buzzer untuk menghantam orang-orang yang kritis, maka pemerintah sudah melanggar sila ketiga, 'Persatuan Indonesia',” ucapnya.
Refly pun turut menyindir pemerintah yang melanggar sila keempat yang berbunyi ‘Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'.
“Pemerintah harus mendasarkan kehidupan kebangsaan dalam sistem demokrasi, tetapi dalam kenyataan sering diplesetkan menjadi musyawarah yang kongkalikong. Misalnya, kalau di DPR, penunjukan pejabat-pejabat publik tidak didasarkan pada prinsip musyawarah mufakat, tetapi justru kongkalikong,” tutur Refly.
Ia turut pula mengkritik pemerintah yang melanggar sila kelima ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.
“Negara adalah bapak dari semua rakyat, maka dia harus berlaku adil terhadap siapapun, maka dia memberikan fasilitas terhadap siapapun, memberikan pekerjaan terhadap siapapun, tidak peduli apakah dia cebong atau kampret,” ujar Refly.