Regenerasi pecatur terbentur anggaran dan turnamen internasional
Aditya Bagus Arfan, 14 tahun, mulai tertarik dengan permainan catur sejak usianya baru menginjak lima tahun. Saat itu, ia melihat kakeknya bermain catur di pos ronda di kampung halamannya di Kuningan, Jawa Barat.
Ia lantas diajarkan kakeknya bermain catur. Setelah pulang ke Jakarta, ia meminta kepada ayahnya untuk dibelikan catur dan mulai rajin latihan.
“Saya kaget, kok Aditya jadi jago banget main catur setelah pulang dari Kuningan,” kata ayah Aditya, Eka, saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (25/3).
Eka tak menyia-nyiakan bakat terpendam anaknya. Ia kemudian memasukkan Aditya ke Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA), agar bisa bermain lebih profesional.
“Setelah saya masukkan ke SCUA, kemajuan Aditya signifikan sekali,” ujar Eka.
Aditya kemudian berlaga di turnamen catur tingkat nasional. Dalam kejuaraan catur junior kategori usia tujuh tahun, Aditya berhasil menyabet juara satu. Setelah itu, di tingkat nasional kategori usia delapan tahun, ia berhasil juara kembali.
“Karena mulai menunjukkan prestasi, Aditya akhirnya direkrut salah satu perusahaan alat berat, yakni United Tractors. Sejak itu, Aditya mulai melanglang buana ke luar negeri, seperti kejuaraan di Albania, Spanyol, dan Rusia,” tutur Eka.
Demi menaikkan Elo rating—metode untuk menghitung tingkat keterampilan relatif pemain catur—dan menambah jam terbang, Eka menuturkan, sebelum pandemi Covid-19 Aditya bisa enam hingga tujuh kali mengikuti turnamen catur internasional.
"Jadi butuh banyak Elo rating internasional untuk menjadi Grandmaster atau Internasional Master, kalau bisa satu bulan itu satu turnamen internasional," ucap Eka.
Eka menyebut, Aditya memasang target menjadi Grandmaster pada 2025, saat usianya 18 tahun. Anaknya itu terinspirasi Grandmaster Utut Adianto. Target terdekat Aditya adalah meraih gelar Fide Master, yang dipatok Elo rating minimal 2.300 poin.
Berdasarkan situs web resmi federasi catur dunia Fédération Internationale des Échecs (Fide), Fide.com, Aditya kini menduduki 5.939 peringkat dunia. Ia bergelar Candidate Master (CM), dengan Elo rating 2.274 poin.
Untuk meraih gelar International Master, Elo rating seorang pecatur minimal 2.400 poin. Sedangkan untuk menjadi Grandmaster, pecatur harus mencapai Elo rating minimal 2.500 poin.
Catur (lagi) naik daun
Impian menjadi Women Grandmaster (WGM) juga diidam-idamkan Laysa Latifah. Pecatur berusia 15 tahun itu mengatakan, sudah tertarik dengan catur sejak usia lima tahun karena terinspirasi sang kakak, yang sering juara turnamen catur.
Pecatur muda yang juga mengagumi Grandmaster Utut Adianto itu memasang target di usia 18 tahun nanti ia bisa menjadi Women Grandmaster.
"Untuk sekarang WIM (Women International Master) dulu. Nanti kalau sudah WIM baru target WGM (Women Grandmaster)," ujarnya ketika dihubungi, Kamis (25/3).
Merujuk situs web Fide.com, Laysa masih berada di rangking 44.908 dunia. Sama sekali belum mendapatkan gelar apa pun, Elo rating Laysa masih berada di 1.897 poin.
Perjuangan meraih gelar Grandmaster juga sedang ditempuh Gilbert Elroy Tarigan. Pecatur berusia 18 tahun yang menyandang gelar International Master ini memasang target di usia 20 tahun bisa menjadi Grandmaster.
Sama seperti Aditya dan Lasya, ia terobsesi menjadi Grandmaster karena Utut Adianto. Ia pun ingin mengikuti jejak Utut, yang menjadi pendidik catur setelah menyandang gelar Grandmaster.
"Setelah dapat GM (Grandmaster), habis itu saya mau jadi pelatih catur," ucap Gilbert saat dihubungi, Kamis (25/3).
Barangkali, pecatur muda seperti Aditya, Laysa, dan Gilbert akan lebih banyak saingan saat catur mulai naik daun kembali, imbas dari polemik dugaan curang akun Dewa Kipas alias Dadang Subur ketika melawan GothamChess alias Levy Rozman di situs catur online Chess.com.
Akun Dewa Kipas kemudian ditutup karena dilaporkan curang oleh Levy. Kasus ini sempat membuat heboh beberapa waktu lalu lantara Dadang yang bukan siapa-siapa di dunia catur, bisa mengalahkan Levy, pecatur dari Amerika Serikat berlabel International Master.
Dadang kemudian melawan Irene Kharisma Sukandar dalam pertandingan persahabatan catur, yang disiarkan di YouTube Deddy Corbuzier pada Senin (22/3). Hasilnya, Dadang kalah telak tiga kali berturut-turut dari Irene, yang menyandang gelar International Master dan Women Grandmaster itu.
General Manager Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) Lisa Karlina Lumondong mengakui, sejak ada polemik Dewa Kipas, sekolahnya kebanjiran siswa baru.
"Dari Januari sampai Februari itu sekitar 150 yang mendaftar. Tapi mulai 1 Maret sampai kemarin (Rabu) itu sudah 70-an yang mendaftar," ujarnya saat dihubungi, Kamis (25/3).
Lisa menjelaskan, SCUA mulai mendidik siswa secara berjenjang, mulai dari basic hingga candidate master dan master, diselingi turnamen untuk menguji kualitas siswa. Materi yang diberikan sekolah ini, kata dia, lebih kepada fondasi permainan masing-masing level.
“Untuk bisa mahir, perlu inisiatif masing-masing siswa. Sebab, mana mungkin meraih prestasi puncak dengan latihan seminggu sekali,” ujarnya.
Ia mengatakan, SCUA punya banyak bibit pecatur potensial yang bisa menjadi Grandmaster. Seorang pecatur, menurutnya, tak bisa hanya mengandalkan teori dari pelatih untuk bisa jadi pecatur profesional. Apalagi untuk menjadi Grandmaster.
"Artinya, dia tidak bisa disuapin terus. Dia harus memacu diri untuk memperdalam taktik dengan membaca buku, melihat dari YouTube, dan perbanyak sparring. Supaya kualitas dia meningkat," ucap Lisa.
Menurut Lisa, butuh waktu lama untuk menyandang gelar Grandmaster karena sangat bergantung keseriusan individu memperbanyak jam terbang.
“Susanto Megaranto itu tujuh tahun. Irene Sukandar memulai dari 1999, baru dapat gelar Woman Grandmaster tahun 2009,” katanya.
“Masing-masing orang beda-beda. Tergantung setiap orang melakukan inovasi dan memacu dirinya.”
Seorang pecatur harus lebih banyak berhadapan dengan atlet catur dunia di turnamen internasional untuk menjadi Grandmaster. Hal itu untuk mengejar Elo rating.
Problem catur kita
Kepala Bidang Pembinaan dan Peningkatan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Catur seluruh Indonesia (Kabib Binpres PB Percasi) Kristianus Liem mengatakan, Indonesia memiliki banyak bibit pecatur profesional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya turnamen nasional yang diselenggarakan sepanjang tahun.
"Sebelum pandemi yang dilaporkan PB Percasi itu 52 turnamen dalam setahun. Jadi tiap minggu ada satu turnamen. Itu jadi sarana untuk mengasah kemampuan," ujar Kristianus ketika dihubungi, Senin (22/3).
Di masa pandemi, para pecatur hanya bisa mengandalkan turnamen online. Namun, ia menuturkan, turnamen online lebih sulit mengawasinya ketimbang offline.
“Kecurangan sering terjadi. Bisa saja mainnya berkelompok atau menggunakan bantuan komputer,” kata dia.
Untuk menjadi seorang pecatur profesional, menurutnya, dibutuhkan banyak sekali uji coba serta melatih ketangkasan lewat teori dan praktik. Mempraktikkan teori ke dalam permainan, diakui Kristianus, bukanlah perkara gampang.
“Jadi, enggak bisa kayak model Dewa Kipas, yang katanya belajar tiga bulan langsung jago. Seorang pecatur butuh banyak even untuk menyeimbangkan teori dan praktik,” tuturnya.
Lebih lanjut, Kristianus mengatakan, semakin tinggi gelar yang ditarget semakin ketat pula persaingan yang dihadapi. Waktu yang dibutuhkan pun semakin panjang. “Misalnya gelar International Master itu agak lama,” ucapnya.
Ia mencontohkan, Gilbert Elroy Tarigan yang berhasil menyandang gelar International Master di Bangkok, Thailand, dua tahun lalu pada usia 17 tahun. “Dia saja butuh waktu lama untuk mencapai itu,” kata Kristianus.
Pada 2019, Gilbert merupakan salah seorang dari 11 perwakilan Indonesia yang diberangkatkan untuk kejuaraan 4th Eastern Asia Youth Chess Championship kelompok umur 18 tahun.
Kristianus tak menampik bahwa Gilbert, Aditya Bagus Arfan, maupun Laysa Latifah memiliki kans besar meraih gelar Grandmaster. Kata Kristianus, sejauh ini mereka memiliki capaian gemilang.
“Kalau bisa kita bina secara teratur, uji coba yang cukup, dan latihan yang berkualitas, saya rasa itu calon-calon yang punya kans jadi Grandmaster dan Women Grandmaster,” ujarnya.
Sayangnya, di Indonesia belum cukup mampu mengadakan banyak turnamen catur internasional. Sehingga pecatur Indonesia masih bergantung dengan turnamen internasional, setidaknya di negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand.
Hal itu diakui Eka, ayah dari Aditya Bagas Arfan. Padahal, Eka mengatakan, anaknya perlu banyak jam terbang internasional untuk melanggengkan jalan menjadi seorang Grandmaster.
Laysa Latifah juga membenarkan bila di Indonesia masih sangat jarang kejuaraan catur kelas internasional. Maka, mau tak mau ia harus mencari gelanggang ke luar negeri.
Sementara Gilbert Tarigan ingin sekali terbang ke Hungaria untuk menambah jam terbang dan mengerek Elo rating. Sebab, menurut dia, Hungaria acapkali menggelar turnamen catur internasional, yang diikuti pecatur kelas dunia.
Di sisi lain, Kristianus menilai sejauh ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) belum begitu baik memajukan olahraga catur. Pemerintah, kata dia, baru serius membiayai atlet catur jika ada hajatan multieven olahraga.
“Semisal Asian Games atau SEA Games, baru mereka bantu anggaran untuk pembinaan. Tapi, kalau di single event, sangat sedikit bantuannya,” kata Kristianus.
“Akhirnya, kami ya minta bantuan sponsor atau urunan antarpengurus.”
Kristianus menambahkan, kondisi tersebut tak jarang menghambat capaian atlet catur. Dengan anggaran yang terbatas, memaksa pengurus Percasi “menyimpan” atlet yang layak tanding untuk dikirim ke turnamen internasional.
“Karena dananya sedikit, otomatis kami harus memilih atlet yang paling memungkinkan atau paling berbakat,” ucap dia.