LBH Masyarakat (LBHM) menduga kerangkeng yang beradi rumah eks Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin bukanlah sebuah tempat rehabilitasi ilegal. Penyebutan temoat rehabilitasi ilegal dipandang sebagai sebuah dalih dari Terbit.
“Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi,” ujar staf penanganan kasus LBHM Aisya Humaida dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1).
Menurutnya, penempatan manusia ke dalam kerangkeng jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak. Pasalnya, rehabilitasi hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan.
Disisi lain, masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, kata dia, ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan. Bahkan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi.
“Konsep panti rehabilitasi bukan penjara, dan tidak bisa dipersamakan dengan penjara,” tutur Aisya.
Dia menyebut, Kkecenderungan menggunakan pendekatan pemidanaan terhadap pengguna narkotika hanya akan menciptakan ruang-ruang korupsi yang masif, tak terkecuali proses rehabilitasi. Banyak pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya.
Beberapa orang yang tertangkap tanpa bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif dan kerap dimintai sejumlah uang. Padahal, secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi.
“Kondisi ini memikul segudang masalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius di samping dugaan praktik perbudakan. Ditinjau dari aspek kewenangan, otoritas yang oleh hukum dapat melakukan perampasan kemerdekaan seseorang hanya aparat penegak hukum, bukan Bupati,” ujar Aisya.
Bupati Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, katanya, dapat dijerat dengan Pasal 333 ayat 1 KUHP tentang perampasan kemerdekaan. Bahkan, hukuman atas perbuatan tersebut dapat diperperberat jika ditemukan luka berat bagi orang yang dirampas kemerdekaannya.
Ditambahkan dia, praktik serupa kerap terjadi pada panti-panti sosial bagi penyandang disabilitas mental. Praktik yang diklaim sebagai upaya penyembuhan justru menghadirkan permasalahan baru, karena abai terhadap pelindungan hak-hak dasar para korbannya.
Praktik pengurungan seperti itu merupakan bukti akan adanya pengambilan keputusan secara sepihak, sewenang-wenang, dan di luar pengawasan medis, sehingga tergolong sebagai bentuk kejahatan.
Praktik ilegal tersebut berpotensi sebagai tempat penyiksaan. LBHM dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menuntut Polri meminta pertanggung jawaban hukum kepada Bupati Terbit Rencana Peranginangin terkait tindakan pidana perampasan kemerdekaan seseorang.
Selain itu, juga meminta Polri menutup tempat-tempat serupa tahanan seolah-olah sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial.