Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, mempertanyakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutuskan permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), terutama menyangkut seminar di sejumlah perguruan tinggi.
Baginya, yang termasuk pemohon uji materi dalam perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 itu, penggunaan data, kegiatan, dan laporan usulan perubahan UU KPK sejak 2012 adalah pertimbangan yang tak memadai. Pangkalnya, data tersebut tidak berhubungan dengan gugatan uji formil yang diajukan.
Apalagi, pembahasan dan pengesahan UU KPK dikerjakan secara kilat bahkan naskah akademik maupun naskah RUU belum dapat diakses masyarakat hingga beleid disepakati. "Publik tidak mengetahui naskah RUU mana yang sebenarnya disahkan," ucapnya dalam keterangan tertulis, Rabu (5/5).
Menurut Fathul, penggunaan data seminar yang diselenggarakan di Universitas Andalas (Unand) pada 8-10 Februari 2017. di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 21-23 Maret 2017; di Universitas Sumatera Utara (USU) pada 16-17 Maret 2017; dan Universitas Nasional (Unas) pada 28 Februari 2017 sebagai dalih penyerapan aspirasi publik merupakan menyesatkan. Ironisnya, MK juga memakai pelaksanaan beberapa rapat dengar pendapat (RDP) pada 2016-2017 sebagai basis argumentasi adanya partisipasi publik.
Di sisi lain, tambah dia, putusan MK ini justru tak memberikan penjelasan bagaimana suara publik yang muncul dalam berbagai seminar tersebut. "Penggunaan seminar sebagai alasan telah memenuhi asas partisipasi merupakan klaim yang reduktif dan membahayakan," tegasnya.
Dirinya pun heran dengan putusan MK yang menganggap proses penyusun UU KPK tidak melanggar regulasi. Padahal, tahap pembahasan dan pengesahannya kilat sekaligus sulit dipertanggungjawabkan secara akademis sehingga berpotensi melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Meski mengakui ada aksi besar-besaran menolak UU KPK, MK malah menganggap enteng sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Pun dibandingkannya dengan demonstrasi para pendukung.
Fathul menyebut, pertimbangan MK sangat melukai perasan publik sebab sejumlah orang dari ribuan pedemo yang turun ke jalan mendapatkan kekerasan dari aparat. "Ini hanya direduksi sebagai ekspresi tanpa memberi makna dan nilai pada substansi yang disuarakan."
"Pertimbangan ini nyata-nyata merupakan reduksi atas aspirasi substantif publik. Model reduksi atas gerakan mansyarakat seperti ini sangat membahayakan demokrasi yang baru saja mulai tumbuh di Indonesia," tandasnya.