Relasi politis dan bau monopoli di balik layar Kartu Prakerja
Delapan bulan sebelum program Kartu Prakerja resmi diluncurkan, Vokraf.com lepas landas ke jagat maya. Di laman situs yang didominasi warna biru dan putih itu, Vokraf.com menjual "mimpi" menjadi copywriter, 3D animator, graphic designer, Youtube content creator, dan digital strategist.
Vokraf ialah situs resmi milik PT Kolaborasi Edukasi Nusantara. Fina Silmi Febriyani tercatat sebagai Chief Executive Officer (CEO) perusahaan itu. Sebelumnya, Fina juga pernah menjadi anggota Direktorat Konten Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin (TKN Jokowi-Ma'ruf).
Pada laman LinkedIn, Fina menyatakan bergabung di TKN Jokowi-Ma'ruf sejak Januari 2018 hingga Januari 2019. Lingkup tugasnya antara lain mengumpulkan data dan bahan yang diperlukan untuk debat, mengelola Konvensi Rakyat Indonesia Maju, dan mengorganisasi tim advance untuk kampanye terbuka di daerah.
Saat program Kartu Prakerja diresmikan pada 20 Maret lalu, Vokraf tergabung menjadi salah satu lembaga pelatihan di platform Kemenaker.go.id. Oleh manajemen pelaksana program Kartu Prakerja, Kemenaker.go.id ditunjuk sebagai salah satu mitra resmi pemerintah dalam program bernilai triliunan rupiah tersebut.
Tujuh mitra resmi pemerintah lainnya ialah Skillacademy by Ruangguru, Tokopedia, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, dan Pijar Mahir. Sebagaimana Vokraf.com di bawah naungan Kemenaker.go.id, masing-masing platform menyediakan puluhan jasa pelatihan berbasis digital.
"Kita tidak bisa (memastikan) dia (Vokraf) dapat proyek karena tidak memiliki bukti yang kuat. Tetapi, dalam konteks tersebut, kita menduga ada informasi yang didapat beberapa pihak sehingga munculnya beberapa website yang dikhususkan untuk Kartu Prakerja ini," ujar peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Siti Juliantari dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (1/6).
Menurut Tari, sapaan akrab Siti, ada indikasi pemilihan mitra dan kolaborator dalam program Kartu Prakerja dipengaruhi relasi politis antara pihak swasta dan pejabat pemerintah di belakang layar.
Itu setidaknya tergambarkan dalam dalam laporan bertajuk “Polemik Mitra dan Lembaga Pelatihan Program Prakerja" yang digarap Tari bersama empat peneliti ICW lainnya, yakni Egi Primayoga, Wana Alamsyah, Tibiko Zabar, dan Lalola Easter.
Kentalnya bau relasi politis paling kentara dalam proses terpilihnya lembaga Skillacademy by Ruangguru. Saat Kartu Prakerja diluncurkan, Direktur Utama PT Ruang Raya Indonesia (Ruangguru) Adamas Belva Syah Devara menjabat sebagai salah satu Staf Khusus Presiden Jokowi.
Di tengah kegaduhan mengenai konflik kepentingan antara Ruangguru dan Kartu Prakerja, Belva mundur dari posisinya sebagai stafsus pada 21 April silam. Namun demikian, Ruangguru hingga kini masih bertahan sebagai salah satu mitra program Kartu Prakerja.
Tak hanya itu, ICW juga mempersoalkan keberadaan pengusaha asal Singapura bernama Wilson Cuaca di belakang Ruangguru. Nama Wilson ada dalam akta perubahan kedua PT Ruang Raya Indonesia pada 19 Januari 2015.
Wilson merupakan co-founder dan managing partners di East Ventures, sebuah firma modal ventura. Selain Ruangguru, East Ventures juga tercatat mendanai Traveloka, BerryBenka, dan Tokopedia. "Bagi ICW, relasi politik dan pihak lain dalam Ruangguru perlu ditelusuri lebih lanjut," ujar Tari.
Lembaga ketiga yang diduga dipilih menjadi kolaborator karena relasi politis ialah Amithya Institute. Lembaga itu menjajakan pelatihan keterampilan dan pendidikan di bidang perhotelan dan jasa boga. CEO-nya Rucita Permatasari.
Dari penelusuran ICW, Rucita atau yang akrab disapa Chita Choo pernah mencalonkan diri anggota legislatif DPRD Provinsi Jawa Timur dari dapil V. Chita juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Partai Golkar Jawa Timur.
ICW, kata Tari, menyatakan keterkaitan partai berlambang beringin itu dalam Program Kartu Prakerja sangat erat. Pasalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto merupakan Ketua Umum Partai Golkar.
"Ada juga website yang mendapatkan privilege untuk membuka kelas. Kita menduga ketika pemerintah bekerja sama dengan perusahaan swasta ini kan harus menjaga jarak. Kalau mengetahui ada kerja sama, harus menggunakan prinsip pengadaan barang karena prosesnya kan harus adil," urai Tari.
Klub Jurnalis Investigasi (KJI)--beranggotakan reporter dari Alinea.id, Suara.com, Tempo, dan Jaring.id--mencoba mengonfirmasi temuan ICW itu kepada Fina dan Chita Choo. Kepada KJI, Fina menyatakan menolak untuk diwawancara.
“Saya lagi enggak open untuk diwawancara. Mungkin lain waktu. Maaf dan terima kasih, ya,” ujar Fina dalam pesan singkat yang dikirim melalui aplikasi WhatsApp, Kamis (14/5).
KJI juga telah melayangkan surat permohonan untuk wawancara kepada Fina pada Senin (18/5). Namun demikian, surat yang dikirim KJI tidak direspons baik oleh Fina maupun Vokraf.
Upaya konfirmasi pun dilakukan kepada Chita Choo dan Amithya Institute. Salah satunya via surat permintaan wawancara yang dikirimkan ke kantor Amithya di Surabaya. Setali tiga uang, Amithya dan Cita pun tidak merespons permintaan wawancara tersebut.
Bau malaadministrasi dan monopoli mitra Kartu Prakerja
Dalam kajiannya, ICW juga menduga terjadi malaadministrasi dalam pemilihan mitra. Itu setidaknya terlihat dari langkah manajemen pelaksana program Kartu Prakerja yang telah menetapkan para mitra resmi jauh sebelum Permenko Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksana Perpres Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja diterbitkan.
Perpres Nomor 36 Tahun 2020 diterbitkan pada 28 Februari 2020. Sekitar setengah bulan kemudian, tepatnya pada 17 Maret 2020, manajemen pelaksana program Kartu Prakerja dibentuk. Tiga hari berselang, nota kesepahaman dengan para mitra disepakati. Pada 27 Maret, Permenko terbit. Salah satu isinya mengatur mengenai ketentuan dan syarat bagi platform digital yang digandeng pemerintah menjadi mitra.
Pada Pasal 47 ayat (3) dan (4) diterangkan bahwa para mitra harus memiliki cakupan layanan berskala nasional, memiliki perangkat yang memadai untuk menyelenggarakan program Kartu Prakerja, memiliki portal internet untuk memfasilitasi pelatihan, memiliki kerja sama dengan lembaga pelatihan, dan harus berbadan hukum perseroan terbatas (PT) serta memegang izin usaha.
Menurut Tari, platform digital yang digandeng sebagai mitra idealnya ditunjuk setelah Permenko terbit. "Ini kan beda. Ini yang kami duga ada malaadministrasi dalam proses penunjukan platform digital," jelas dia.
ICW, lanjut Tari, juga menyoroti peran ganda para mitra dalam menjalankan program Kartu Prakerja. Dari hasil pemantauan di situs prakerja.go.id, ICW menemukan sebanyak 137 dari 850 jenis pelatihan dalam program Kartu Prakerja diselenggarakan lembaga yang juga berstatus sebagai mitra dan kolaborator. Bahkan, pemasaran pelatihan juga disajikan lintas platform.
Setidaknya terdapat empat platform diidentifikasi ICW menjalankan peran ganda sebagai mitra yang fungsi utamanya mengkurasi lembaga pelatihan dan sebagai penyedia jasa pelatihan, yakni Skillacademy by Ruangguru, Sekolah.mu, Pijarmahir, dan Pintaria.
Skillacademy menjajakan 42 jenis pelatihan. Selain di situs resminya, pelatihan Skillacademy juga dipajang di platform Tokopedia. Di platform mereka masing-masing, Sekolah.mu teridentifikasi menyelenggarakan 12 jenis pelatihan dan Pijarmahir menyelenggarakan 10 jenis pelatihan. Adapun Pintaria yang menawarkan 14 jenis pelatihan yang terdaftar di Tokopedia.
ICW juga menemukan rekanan platform digital yang menjajakan jenis pelatihan dalam Program Kartu Prakerja semisal HarukaEdu yang turut menginisiasi platform Pintaria. Setidaknya terdapat 24 jenis pelatihan yang dijajakan HarukaEdu di Pintaria.
Tak hanya itu, ICW juga menjumpai dua kolaborator yang ikut-ikutan menawarkan pelatihan, yakni G2 dan Hacktiv8. Berstatus sebagai pengembang program Kartu Pekerja, G2 menawarkan 19 jenis pelatihan dan Hacktiv8 menyediakan jasa untuk 16 jenis pelatihan.
"Di sini, ada konflik kepentingan. Satu sisi dia platform digital bertugas kurasi, tetapi sisi lain mereka juga dikurasi. Di Permenko ini tidak jelas aturannya, tidak ada klausul yang menjelaskan platform digital memperbolehkan menjadi lembaga pelatihan," terang Tari.
Karena itu, Tari mengatakan, ICW menduga terjadi praktek monopoli dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja. Ia berkaca pada definisi monopoli yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam regulasi itu, lanjut Tari, monopoli diterangkan sebagai sebuah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penguasaan jasa tertentu oleh suatu pelaku perusahaan atau kelompok usaha.
"Mungkin dugaannya akan menjurus ke sana gitu. Kalau dugaannya, pertama tadi, mulai dari pemilihan (platformnya) juga yang hanya delapan ini dan tidak jelas dasarnya. Kedua, delapan (platform) ini selain menjadi platform digital juga menjadi lembaga pelatihan," terang Tari.
Direktur Kemitraan dan Komunikasi PMO Kartu Prakerja Panji Winanteya Ruky membantah adanya konflik kepentingan dalam program Kartu Prakerja. Asalkan memenuhi syarat, menurut Panji, bisa saja platform digital turut menyediakan jasa pelatihan.
"Jadi sepanjang mereka mengikuti syarat dan kewajiban sebagai platform digital, termasuk memberikan layanan prima market place atau layanan pasar. Asal adil, dan tidak diskriminatif kepada seluruh lembaga pelatihan yang ingin bekerja sama, maka mereka akan tetap bisa memenuhi syarat-syarat dari platform digital," terang Panji saat diwawancara KJI secara virtual, Minggu (10/5).
Panji juga membantah tudingan adanya lembaga-lembaga penyedia jasa yang "lolos" karena kurasi khusus dari para mitra. Menurut dia, kurasi digelar dua kali untuk memastikan hanya yang memenuhi syarat yang bisa menyediakan jasa pelatihan.
"Jadi, kalau ada pertanyaan dia itu melakukan kurasi (terhadap penyedia jasa pelatihan), kurasi itu dilakukan dua kali. Keduanya oleh kami. Jadi, kami melihatnya itu lembaga pelatihan, bukan platform digital," papar Panji.
Lebih jauh, Panji menegaskan, program Kartu Prakerja tidak bisa diposisikan ke dalam ranah pengadaan barang atau jasa. Pasalnya, bukan pemerintah yang membelanjakan APBN dalam program Kartu Prakerja, melainkan penerima manfaat atau peserta program.
"Di mana ada konflik kepentingan dalam hal pengadaan barang dan jasa? Juri utamanya yang menentukan (penggunaan anggaran) kan bukan presiden, bukan pemerintah, bukan Kemenkeu. Yang menentukan adalah masyarakat. Masyarakat yang memilih," kata dia.