Rentan kepentingan kuasa di balik “obral” gelar doktor kehormatan
Dua tahun lalu, Ubedilah Badrun bersama dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) lainnya yang tergabung dalam Aliansi Dosen UNJ melancarkan protes terhadap rencana pihak kampus untuk memberi gelar doctor honoris causa atau doktor kehormatan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Ubedilah bersama dosen lain, yang termasuk Presidium Aliansi Dosen UNJ, seperti Abdhil Mughis Mudhofir, Abdi Rahmat, dan Rakhmat Hidayat, menolak perubahan aturan pemberian gelar doktor kehormatan dari pimpinan kampus agar bisa diberikan kepada pejabat. Padahal, rapat pleno Senat UNJ pada 10 Maret 2021 telah menyepakati, UNJ tak memberi gelar doktor kehormatan kepada pejabat.
Ubedilah berkata, kampus memang diberikan kewenangan memberi gelar doktor kehormatan, sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan. Aturan ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Problemnya, sering kali terjadi universitas terlihat obral doktor kehormatan kepada pejabat,” ujarnya kepada Alinea.id, Senin (6/3).
“Mirisnya, pemberian gelar doktor kehormatan kepada pejabat tersebut diwarnai hal-hal yang bersifat transaksional dan politis, yang dilakukan antara pejabat dengan elite kampus.”
Menurut Permendikbud 21/2013, doktor kehormatan (doctor honoris causa) adalah gelar kehormatan yang diberikan suatu perguruan tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sosial, budaya, kemanusiaan, dan kemasyarakatan.
Penolakan
Sikap Ubedilah dan kawan-kawannya jelas. Menurutnya, mereka menolak pemberian gelar doctor honoris causa kepada seseorang yang sedang memiliki jabatan strategis, semisal menteri.
“Para dosen aktif menolak hal itu, dan diatur dalam aturan senat atau peraturan rektor bahwa doctor honoris causa tidak bisa diberikan kepada seseorang yang sedang memiliki jabatan,” ucap Ubedilah.
Ubedilah mengatakan, penolakan Aliansi Dosen UNJ terhadap pemberian gelar doktor kehormatan kepada Ma’ruf dan Erick bisa dikatakan berhasil mencegah hubungan transaksional antara elite kampus dan penguasa.
“Sampai hari ini, Ma’ruf Amin dan Erick Thohir batal mendapatkan gelar doktor kehormatan dari UNJ,” katanya.
Beberapa waktu lalu, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur juga memprotes pemberian gelar doktor kehormatan kepada Erick Thohir. Erick, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PSSI itu mendapat gelar doktor kehormatan bidang manajemen strategi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB.
“Karena (kami) merasa, alasan pemberian kepadanya (Erick) tidak jelas apa indikatornya,” kata Presiden BEM Fakultas Hukum UB, Rafly Rayhan, Jumat (9/3).
Rafly dan kawan-kawan mahasiswa yang memprotes pemberian gelar doktor kehormatan untuk Erick itu tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Resah (Amarah) Brawijaya. Mereka berunjuk rasa saat acara penganugerahan gelar doktor kehormatan tengah berlangsung pada Jumat (3/3).
“Kami menggugat kriteria yang menjadi landasan senat akademik universitas, yang pada akhirnya memberikan validasi terhadap (gelar doctor) honoris causa Erick Thohir,” ujar Rafly.
Selain itu, kata Rafly, mahasiswa juga memprotes pihak rektorat yang terkesan gampang memberi gelar doktor kehormatan kepada pejabat atau politikus. Sebelumnya, pada Juni 2022 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menerima gelar profesor kehormatan bidang ilmu manajemen sumber daya alam dari Fakultas Pertanian UB. Tak lama berselang, giliran Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mendapat gelar doktor kehormatan bidang sosiologi politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB.
“Kami sebenarnya tidak menolak sosok Erick Thohir, tapi menggugat apa yang menjadi verifikasi dan validasi doctor honoris causa itu,” tutur Rafly.
Dalam riset Moh. Mudzakkir (Universiti Sains Malaysia dan Universitas Negeri Surabaya), Mohammad Reevany Bustami (Universiti Sains Malaysia), Ikomatussuniah (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), dan Wani Maler (Universiti Sains Malaysia) berjudul “The Policy of Honoris Causa Doctorate in Indonesian Higher Education 2000-2020”, terungkap kenaikan cukup signifikan pemberian gelar doktor kehormatan kepada pejabat dan politikus selama 20 tahun terakhir.
Dari 2000-2020, riset ini mencatat, sebaran penyematan gelar doktor kehormatan paling banyak diberikan universitas negeri, yakni 106. Diikuti universitas Islam negeri, sebanyak 31 dan universitas swasta, sebanyak 13. Dilihat dari keilmuan, bidang ilmu sosial dan politik paling banyak di antara yang lainnya, yakni 28.
Selama 20 tahun, dikemukakan Mudzakkir dkk, terjadi perubahan kebijakan yang mengarah pada fleksibilitas kampus untuk memberi gelar kehormatan. Namun, fleksibilitas ini justru membuat pemberian gelar kehormatan mengalami pergeseran, dari yang semula diberikan untuk kalangan komunitas akademik mengarah ke kalangan nonakademik, bahkan politikus dan pejabat.
Penelitian ini menemukan, ada pertalian erat kenaikan pemberian gelar doktor kehormatan dengan praktik pertukaran kepentingan antara elite kampus dengan pejabat atau politikus. Tak jarang, pemberian gelar itu memicu kontroversi. Sebab, seorang pejabat atau politikus yang mendapat gelar kehormatan, dianggap belum layak menerimanya.
Contohnya, terjadi penolakan dari alumni Universitas Padjadjaran (Unpad), kala pihak Unpad hendak memberi gelar kehormatan bidang ilmu sosial dan politik kepada Megawati Soekarnoputri pada 2016 lalu.
“Dengan desentralisasi kekuasaan pada era pascareformasi, terjadi transformasi logika kelembagaan pendidikan tinggi, dari mengakui kemajuan pengetahuan dan kontribusi ilmiah kaum intelektual menuju pemberdayaan legitimasi kekuasaan, terutama di kalangan politisi dan pejabat publik yang kuat,” tulis Mudzakkir dkk dalam riset yang diterbitkan Journal of Governance and Public Policy, volume 8, nomor 3, 2021.
Hubungan elite kampus dan penguasa
Menurut Rafly, pemberian gelar kehormatan kepada pejabat atau politikus yang ada di lingkaran kekuasaan, sangat riskan terjadi hubungan transaksional antara pejabat kampus dan elite kekuasaan.
Karenanya, ia meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengawasi jalannya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permen Ristekdikti) Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan—juga Permendikbud 21/2013—agar tak disalahgunakan pihak kampus.
Sementara itu, Ubedilah menuturkan, pemberian gelar doktor kehormatan marak terjadi sejak kampus berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum, yang menjadi pintu masuk pemerintah memberi otonomi kepada kampus—sekaligus “mengendalikan” pimpinan universitas.
Di samping itu, Permen Ristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur pada Perguruan Tinggi Negeri, kata Ubedilah, membuat menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (mendikbud ristek) punya suara sebesar 35% untuk menentukan rektor.
“Walhasil, mendikbud (ristek) sangat menentukan siapa yang akan menjadi rektor di sebuah universitas negeri,” katanya.
“Ujungnya, suara 35% mendikbud (ristek) juga dipengaruhi langsung oleh peran presiden. Jadi pemilihan rektor sangat politis.”
Sejak pemilihan rektor sarat kepentingan politik, katanya, pejabat atau politikus semakin banyak yang mendapat gelar doktor kehormatan. Ia menegaskan, pemberian gelar doktor kehormatan yang marak di berbagai kampus adalah indikasi balas jasa elite kampus kepada mereka.
"Transaksi dengan politisi itu terjadi sejak pemilihan rektor,” kata dia.
Menurut Ubedilah, tren pemberian gelar doktor kehormatan kepada politikus atau pejabat sangat berbahaya karena bisa membuat kampus jadi alat kekuasaan.
“Membuat kampus tidak lagi menjadi (komunitas) magistrorum et scholarium (guru dan cendekiawan),” ucapnya.
Dampak turunannya, bisa membuat ilmu pengetahuan di kampus tak berkembang secara independen.
Terpisah, Plt Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti Ristek) Kemendikbud Ristek, Nizam mengaku tak bisa mengintervensi keputusan universitas memberikan gelar doktor kehormatan kepada politikus atau pejabat. Ia berdalih, kampus punya otonomi untuk memberi gelar itu.
“Sesuai dengan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2013,” kata dia, Jumat (10/3). “Itu bagian dari otonomi perguruan tinggi.”
Ia tak sepakat, pemberian gelar kehormatan kepada pejabat atau politikus yang sering terjadi dianggap praktik “obral” gelar. Ia percaya, kampus pasti berhati-hati dalam memberikan gelar kehormatan.
“Karena menyangkut marwah perguruan tinggi yang memberikan gelar, serta orang yang menerima gelar tersebut,” ujarnya.
Menurut Nizam, perguruan tinggi pasti tak sembarangan memberi gelar kehormatan itu, hanya karena termotivasi niat transaksional. Alasannya, di kampus ada mekanisme pengawasan, yang juga memainkan peran menjaga marwah akademik.
“Di perguruan tinggi ada senat akademik yang menjaga marwah dan norma akademik,” katanya.
“Pemberian gelar doktor kehormatan biasanya dibahas dan diusulkan oleh senat akademik kepada rektor.”