Resah ASN di DKI: "Yang baik aja digituin, gimana kalau saya?"
Suara Gembong Warsono terdengar gusar. Ketua fraksi PDI-Perjuangan DPRD DKI itu mengaku kian geram terhadap Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Dari informasi yang ia dapatkan, menurut Gembong, tim bentukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu mengganggu kinerja birokrasi di Pemprov DKI.
“Ya, bisik-bisiknya peran TGUPP terlalu sentral sehingga dia (aparatur sipil negara/ASN) tidak mau ikut (lelang jabatan). Toh, belum tentu juga (Kepala SKPD) akan terakomodir (kinerjanya). Lah, ngapain (ASN daftar lelang jabatan eselon II),” ujar Gembong, saat dihubungi Alinea.id melalui sambungan telepon, Selasa (25/5).
Pekan lalu, Anies mengumpulkan sebanyak 239 ASN di Balai Kota. Anies disebut-sebut ngambek lantaran para bawahannya itu tidak mau ikut lelang jabatan untuk 17 jabatan pratama tinggi (JPT) atau setara eselon II yang digelar Pemprov DKI Jakarta.
Padahal, jabatan-jabatan kepala organisasi pemerintah daerah (OPD) itu sudah cukup lama kosong dan dipegang oleh pelaksana tugas (plt), semisal Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup.
Lantaran peminatnya hanya dua ASN, lelang jabatan untuk posisi Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah bahkan terpaksa ditunda. Sesuai aturan, lelang jabatan untuk posisi eselon II minimal harus diikuti tiga calon.
Gembong menduga para ASN ogah naik jabatan lantaran khawatir kariernya bakal diganjal TGUPP. Terlebih, ia mendapat laporan banyak kepala SKPD yang merasa tak lagi betah bekerja di pemprov lantaran kinerjanya kerap direcoki anggota TGUPP.
"Peran dari Kepala SKPD itu sangat terganggu. Enggak ada keleluasaan, enggak ada kemerdekaan sehingga mereka tidak happy-lah. Itu yang muncul dalam pembahasan-pembahasan informal,” tutur politikus berusia 58 tahun itu.
Gembong mengatakan keberadaan TGUPP perlu dievaluasi. Menurut dia, TGUPP tidak banyak mendongkrak kinerja Pemprov DKI. Itu setidaknya terlihat dari merahnya rapor kinerja Anies dalam mencapai target-target yang tercantum Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Kalau jumlah maksimal mengakibatkan gerak kita semakin susah. Makin jumlahnya banyak, makin menaikkan adrenalin para anggota TGUPP itu. Adrenalinnya apa? Untuk menekan, untuk mengintimidasi para SKPD. Itu yang muncul di lapangan,” kata dia.
Ganjalan TGUPP
Dominasi TGUPP dalam perumusan kebijakan itu dibenarkan sumber Alinea.id di internal Pemprov DKI. Menurut dia, anggota TGUPP non-ASN kerap memiliki kepentingan politis dan bisnis yang tak sejalan dengan agenda birokrasi.
Untuk mencapai meja Anies, misalnya, kata dia, kepala-kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) seringkali mesti meminta "izin" ke TGUPP. Setelah TGUPP memberi lampu hijau, barulah persoalan-persoalan birokrasi bisa dibahas.
"Selalu lewat TGUPP. Nah, di situ kemudian bisa akses ke situ (Anies). Tapi, ada ongkosnya. Ya, kalau kita (kepala SKPD) enggak nurutin, ya, mereka enggak ini (bekerja),” tutur sang sumber kepada Alinea.id, Selasa (25/5).
Dalam Pasal 17 Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 15 tahun 2019 tentang TGUPP, disebutkan anggota TGUPP berasal dari unsur ASN dan non-ASN. ASN yang jadi anggota TGUPP umumnya ialah pejabat DKI yang dicopot atau mengundurkan diri dari jabatannya.
Dalam sistem birokrasi Pemprov DKI saat ini, menurut dia, TGUPP juga berperan sebagai penyaring usulan-usulan Pergub yang disampaikan kepala SKPD. Ia mengklaim proses birokasi penyusunan regulasi semacam itu kerap jadi mainan politik.
"Kadang-kadang, mereka (TGUPP non-ASN) ini nitip kan. Apalah, sesuatulah. Itu bisa macam-macam. Misalnya, tolong ini saudaraku kamu iniin (loloskan) di tempatmu. Itu bisa. Misalnya, proyek ini kamu kerjakan pakai (perusahaan) yang ini," kata dia.
Menurut sang sumber, oknum-oknum TGUPP juga kerap turut "bermain" dalam kegiatan strategis daerah (KSD) Pemprov DKI. KSD, kata dia, seringkali didesain supaya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan oknum-oknum tersebut.
"Nah, itu yang sering memang bikin resah juga. Memang enggak vulgar, tetapi mereka (oknum TGUPP non-ASN) itu, ibaratnya kalau kita sudah bikin mereka enggak senang beberapa kali, ya sudah, tunggu saja, pasti disuruh mundur. Gitu aja,” kata dia.
Ia mengklaim banyak pejabat DKI Jakarta yang telah jadi korban arogansi TGUPP. Salah satunya, kata dia, ialah mantan Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman DKI Jakarta Kelik Indriyanto yang mengundurkan diri pada 24 Februari 2020.
Menurut dia, Kelik ditekan untuk mundur dari posisinya. “Itu kan anak buahnya (Kelik) enggak usah dijelaskan mereka sudah tahu. Ya, yang baik begini saja digituin, gimana kalau saya? Gimana kalau saya daftar (lelang jabatan)? Gitu loh,” tutur dia.
Kepada Alinea.id, sumber internal lainnya membenarkan bahwa Balai Kota tidak lagi jadi tempat yang nyaman untuk bekerja. Ia mencontohkan pengalamannya ketika didesak mundur dari posisinya sebagai kepala OPD di Pemprov DKI.
Padahal, kata dia, kinerjanya di tengah pandemi Covid-19 hampir mencapai target. “Ini yang kemudian hanya bisa nebak-nebak. Karena memang enggak pernah disampaikan secara jelas (alasan disuruh mundur). Enggak ada omongan itu. Yang ada, ‘Karena saya Gubernur, ya saya udah saklek aja nih. Saya terima pengunduran diri bapak',” tutur dia.
Ia mengungkapkan jabatan sebagai kepala OPD belum genap setahun dipegang. Jika mengacu pada Pasal 142 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN, pejabat pimpinan tinggi yang tidak mencapai target kinerja mestinya diberikan kesempatan selama setahun untuk memperbaiki kinerjanya.
“Orang itu kan jangan dilihat salahnya. Kalau kita kerja, begitu salah langsung pecat, itu kan kita enggak pernah dilihat utuh sebagai orang (pegawai). 'Oh, kamu sudah melakukan hal yang baik, ya,'" kata sang sumber.
Berbasis pengalamannya, ia menilai wajar jika ada banyak ASN di Pemprov DKI ogah naik jabatan meskipun kesempatan tersebut terbuka lebar. “Mereka (ASN) juga mikir. Buat apa naik untuk kemudian diturunkan dan dipermalukan," kata dia.
Alinea.id telah berupaya mengklarifikasi pernyataan-pernyataan sejumlah sumber di Pemprov DKI itu kepada Ketua TGUPP Amin Subekti. Namun, hingga kini Amin tidak merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Alinea.id.
Wacana pansus
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Hariyadi mengusulkan pembentukan panitia khusus di DPRD DKI untuk mengurai polemik penolakan peremajaan jabatan oleh 239 ASN di DKI. Tak hanya mencari akal persoalan, pansus juga bisa memberikan solusi untuk perbaikan manajemen ASN di DKI.
“Pansus bisa saja dibentuk jika masalah rekrutmen di posisi strategis birokrasi yang tidak berjalan telah berdampak pada kinerja birokrasi dan menghambat program-program pembangunan,” tutur Ade saat dihubungi Alinea.id, Jumat (21/5).
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi mengatakan telah berencana meminta masukan dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait lelang jabatan di Pemprov DKI.
Jika diperlukan, Edi mengatakan, DPRD DKI bakal membentuk pansus dan meminta keterangan dari ASN-ASN yang menolak ikut lelang jabatan di Pemprov DKI. Pansus nantinya bisa merekomendasikan evaluasi terhadap TGUPP jika indikasi praktik-praktik lancung ditemukan.
"Jadi, kami di DPRD bisa mendapatkan gambaran utuh. Tidak setengah-setengah. Kalau memang ternyata rekomendasi seperti itu, ya kita rekomendasikan. Tetapi itu kan terlalu dini, terlalu prematur karena kita belum minta keterangan (ASN yang mundur)," kata Prasetyo kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Terlepas dari polemik lelang jabatan di Pemprov DKI, Pras menilai kinerja TGUPP tergolong buruk. Ia mencontohkan sejumlah program yang termaktub dalam RPJMD yang meleset jauh dari target selama empat tahun Anies berkuasa.
"Artinya, TGUPP enggak efektif. Yang ada justru jadi mudarat karena anggaran yang seharusnya produktif untuk menyejahterakan rakyat, dipakai untuk mereka. Yang jelas, keberadaan TGUPP ini inefisien, enggak efektif,” kata dia.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Maria Qibtya mengatakan tidak tahu persis alasan semua ASN yang menolak ikut lelang jabatan meskipun telah memenuhi syarat. Khusus ASN di BKD, menurut dia, mereka menolak ikut lelang jabatan lantaran baru dimutasi.
"Yang tahu tentu saja yang bersangkutan. Kalau di tempat saya, karena yang bersangkutan baru mutasi di tempat tersebut dan sebagai panitia pelaksana seleksi terbuka eselon II, yang bersangkutan melapor kepada saya untuk diperkenankan tidak mendaftar. Saya mengizinkan,” terang Maria kepada Alinea.id, Rabu (26/5).
Untuk 239 ASN tidak berpartisipasi dalam lelang jabatan, Maria berkata Pemprov DKI Jakarta akan memberikan peringatan dan pembinaan. Sebelum dibina, para ASN itu akan dimintai keterangan kepala OPD masing-masing.
"Diharapkan akan diketahui alasan mereka tidak ikut mendaftar. Nanti ada pengawasan dari atasan langsung. Ini terkait dengan disiplin pegawai pastinya," ujar Maria.