Menteri Sosial Idrus Marham mundur dari jabatannya, terhitung sejak Jumat (24/8). Ia datang ke Istana Negara untuk memberikan surat pengunduran diri kepada Presiden Indonesia Joko Widodo. Dalam keterangannya di Jakarta, dilansir Kompas TV, Idrus mengaku pengunduran dirinya terkait dengan kasus suap PLTU Riau-1 yang turut menjerat dirinya.
Idrus mulanya memang menjadi salah satu saksi dalam perkara tersebut, dan sudah menjalani tiga kali pemeriksaan di lembaga antirasuah. Kendati belum ada konfirmasi resmi dari KPK, namun di depan media, Idrus mengaku proses pengusutan atas dirinya memasuki babak baru, yakni penyidikan.
"Pada hari ini, tadi saya menghadap Bapak Presiden pukul 10.30 WIB. Saya lakukan ini setelah kemarin saya mendapatkan surat pemberitahuan tentang penyidikan saya terkait kasus yang dilakukan oleh Enny dan Koco. Berdasarkan surat itu, saya mengambil langkah, maka itu saya menghadap Presiden untuk mengajukan surat pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya," ujar politisi Golkar tersebut.
Idrus juga telah mengajukan surat pengunduran diri dari kepengurusannya di Partai Golkar. Surat pengunduran diri itu telah dikirimkan ke Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Idrus disebut-sebut terkait dengan kasus suap PLTU Riau-1. Dalam kasus korupsi yang dimaksud, rumah Idrus Marham sendiri menjadi lokasi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Jumat (13/7).
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu, KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti, yaitu uang Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100.000 dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp 500 juta.
Dugaan penerimaan uang sebesar Rp 500 juta merupakan bagian dari commitment fee sebesar 2,5% dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan.
Sebelumnya, Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp 4,8 miliar, dengan rincian Rp 2 miliar diterima pada Desember 2017, Maret 2018 sebanyak Rp 2 miliar, dan 8 Juni 2018 sebesar Rp 300 juta, yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang agar Eni memuluskan penandatanganan kerja sama terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1.
KPK rencananya juga akan memeriksa Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir pada Jumat (20/7) nanti. Pemeriksaan Sofyan berangkat dari pengembangan kasus yang didalami penyidik KPK. Lembaga antirasuah ini juga telah menggeledah kediaman Sofyan guna menemukan bukti-bukti terkait.
Selain sempat menggeledah rumah Sofyan Basir, KPK juga memeriksa Kantor Pembangkit Jawa Bali (PJB) I di Gedung Indonesia Power yang merupakan anak perusahaan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), ruang kerja tersangka Eni Maulani Saragih di Gedung DPR RI, dan Kantor Pusat PLN. KPK mendapatkan dokumen perjanjian dan skema proyek dan dokumen lain terkait dengan proyek PLTU Riau-1, dokumen rapat, CCTV, dan alat komunikasi dari penggeledahan tersebut.
Proyek PLTU Riau-1 sendiri merupakan bagian dari proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt secara keseluruhan. PLTU ini masih pada tahap letter of intent (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 megawatt dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU mestinya dijadwalkan beroperasi pada 2002 dengan kapasitas 2 x 300 megawatt dengan nilai proyek US$ 900 juta atau setara Rp 12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51% sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49% konsorsium yang terdiri atas Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan Pasal 5 Ayat 1 Huruf a atau Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Sebagai tersangka penerima suap, Eni Maulani Saragih, disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 64 Ayat (1) ke-1 KUHP.