Tudingan pemerintah atas dalang kerusuhan Papua berasal dari provokasi asing dinilai tidak bijak. Rohaniawan Katolik sekaligus budayawan Romo Franz Magnis Suseno menilai rentetan aksi protes yang terjadi di sejumlah daerah oleh masyarakat Papua bukan semata-mata hasutan dari pihak asing.
Romo Magnis menilai, peristiwa di Surabaya dan Malang telah memantik reaksi masyarakat Papua dalam melakukan unjuk rasa. Kalaupun saat ini ada yang memprovokasi, tidak bisa dijadikan kambing hitam persoalan.
Sebaliknya, Romo Magnis menyebut respons Masyarakat Papua atas peristiwa di surabaya adalah akumulasi dari perasaan tidak puas, kecewa dan merasa diri tidak diakui. Meskipun Papua telah terintegrasi dengan administrasi Jakarta namun menurut Romo Magnis masyarakatnya belum merasa menjadi bagian dari NKRI.
"Orang Papua belum merasa spontan sebagai orang Indonesia," ujar Romo Magnis kemarin Sabtu (7/9).
Masalah ini katanya harus disikapi serius oleh Pemerintah Indonesia. Maka, saran Romo Magnis agar pemerintah Indonesia tidak menggunakan pendekatan keamanan. Selain itu, ia mengajak pemerintah Indonesia mencontoh almarhum Gus Dur yang meresponnya dengan rileks.
Pembangunan infrastruktur sebaiknya jangan dijadikan satu-satunya fokus di Bumi Cendrawasih. Baiknya, Presiden Joko Widodo juga menaruh perhatian khusus.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyebut menemukan buktinya keterlibatan orang dan organisasi asing dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Wiranto menganggap mereka yang disinyalir sebagai dalang yang menghasut, menginspirasi, dan memotivasi kelahiran gerakan-gerakan yang menimbulkan kerusuhan.
Evaluasi Otsus
Tokoh masyarakat Papua Freddy Numberi mengatakan Presiden Joko Widodo harus dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah, dengan memproses permasalahan HAM yang terjadi selama ini di Bumi Cenderawasih.
"Kami mau supaya ditindaklanjuti, supaya mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah terutama kepada Presiden Jokowi bahwa dia serius mau menyelesaikan masalah-masalah masa lalu di Papua," ujar Freddy.
Masyarakat Papua disebut memiliki kenangan pahit pada masa lalu atas sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi, antara lain di Kabupaten Nduga, Wamena, dan Wasior. Maka, Pemerintah Jokowi diminta tetap memegang komitmen untuk memproses kasus-kasus tersebut hingga proses ke pengadilan.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan menambahkan, Pemerintah mesti mengajak perwakilan dari tujuh wilayah adat dan budaya di Papua dan Papua Barat untuk berdialog. Ketujuh wilayah tersebut adalah Mamta, Saereri, Ha’anim, Bomberai, Domberai, La Pago, dan Mee Pago.
Freddy berharap Pemerintah dapat mengakomodir seluruh aspirasi yang diutarakan oleh seluruh perwakilan wilayah agar mengetahui apa yang sebenarnya menjadi keinginan masyarakat Papua.
"Biarlah mereka bicara, nanti dari sana setelah disaring dengan baik oleh tim, inilah bahannya, ketemu untuk bicara dengan Presiden. Apapun dia hasilnya harus disampaikan kepada presiden," ucap dia.
Lebih lanjut Freddy juga mengatakan Pemerintah harus melakukan langkah-langkah konkret untuk mengembangkan wilayah Papua, salah satunya dengan mengevaluasi otonomi khusus. Menurut dia, saat ini otonomi khusus tidak berjalan dengan baik lantaran kurang adanya sinergi antara Pemerintah daerah dan Pemerintah pusat.
"Jangan salahkan daerah, pusat pun harus introspeksi diri, apa yang belum kita lakukan dalam konteks pengawasan dan pendampingan terhadap uang yang diturunkan. Jadi tidak boleh saling menyalahkan agar masyarakat tidak menjadi korban dan akhirnya mereka demonstrasi ribut-ribut karena mereka sebagai korban," ujar Freddy. (Ant)