Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru. Keterlibatan pimpinan perguruan tinggi dalam kasus ini membuat sejumlah pihak mengkritik dan mempertanyakan soal seleksi jalur mandiri dalam penerimaan mahasiswa baru di universitas.
Menanggapi hal tersebut, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais menilai perlu adanya pengawasan terhadap jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan sesuai kewenangan masing-masing universitas.
Terlebih, kata Indraza, universitas yang berstatus PTN BH (Perguruan Tinggj Negeri Berbadan Hukum) seperti Unila memiliki hak otonom untuk mengatur tata kelolanya sendiri, termasuk dalam hal keuangan.
"Namun harus dilihat, ketika ada jalur-jalur yang memberikan kekuasaan lebih terhadap kewenangan keuangan, maka seharusnya program pengawasan terkait dengan hal tersebut juga diperketat," kata Indraza kepada wartawan di Kantor Ombudsman RI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/8).
Indraza mengatakan, universitas berstatus PTN BH seperti Unila memiliki kewenangan untuk mengumpulkan anggaran untuk pengembangan universitas, salah satunya melalui seleksi jalur mandiri.
Kendati demikian, menurutnya, minimnya pengawasan terhadap seleksi jalur mandiri dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai celah untuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum, misalnya, praktik korupsi. Oleh karena itu, ia menilai pentingnya membangun sistem pengawasan baik yang dilakukan oleh Kementerian atau juga di internal perguruan tinggi.
"Jadi aturan jalur mandiri itu sebetulnya tidak salah, tapi pelaksanaannya dan pengawasannya yang kurang," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan suap penerimaan mahasiswa baru Unila jalur seleksi mandiri tahun akademik (TA) 2022/2023, Minggu (21/8). Salah satunya, Karomani.
Dua pejabat kampus lainnya juga berstatus tersangka, yakni Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila, Heryandi, dan Ketua Senat Unila, Muhammad Basri (MB). Sementara itu, seorang lainnya dari swasta, Andi Desfiandi.
Atas perbuatannya sebagai penerima suap, Karomani dan kedua rekannya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Andi, yang merupakan pemberi suap, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.