close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi alat tes sampel Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi alat tes sampel Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Senin, 15 Maret 2021 06:46

Segudang problem di balik retur ratusan ribu unit reagen Covid-19

Periode Juli-September 2020, sejumlah rumah sakit dan laboratorium mengembalikan alat reagen Covid-19 ke BNPB.
swipe

Beberapa waktu lalu, Ketua Tim Layanan Pemeriksaan Molekuler Covid-19 Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Erike Anggraini resah dengan alat deteksi atau reagen polymerase chain reaction (PCR) virus Corona penyebab Covid-19 yang dikirim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Reagen PCR itu, menurutnya, saat digunakan ke beberapa sampel pasien, hasilnya kurang baik.

Akhirnya, pada Agustus 2020 sebanyak 1.200 reagen PCR merek Sansure Biotech diretur ke BNPB. Ia pun mengakui, reagen merek Sansure itu kurang cocok dengan mesin yang dimiliki Laboratorium Terpadu UIN.

“Karena kan tiap reagen itu punya kekhasan dan kecocokan terhadap mesin sendiri-sendiri,” ujar dia saat wawancara virtual dengan tim Klub Jurnalis Investigasi (KJI), Rabu (17/2).

Erike mengatakan, pihak BNPB tak pernah memastikan kecocokan mesin PCR yang ada di Laboratorium Terpadu UIN. Meski katanya, ada orang dari BNPB yang pernah berkunjung ketika laboratorium itu ditunjuk menjadi tempat pemeriksaan sampel Covid-19.

“Tetapi apakah saat itu mengecek alat? Saya kurang tahu,” tutur dia.

Nasib serupa menimpa Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Papua, Antonius Oktavian. Rasa cemas dan khawatir campur aduk lantaran hasil 94 sampel yang diuji coba pakai reagen ribonukleat acid (RNA) merek Sansure keliru.

“Jadi, (reagen) dia negative false-nya tinggi. Kalau kita banding-bandingkan ini positif, tetapi begitu kita pakai (reagen) itu negatif,” kata Antonius saat wawancara virtual, Rabu (23/12/2020).

Kecemasannya bertumpuk, takut ada salah satu sampel itu berasal dari pasien berstatus cito. Cito adalah istilah lain dari immediality, di mana pasien harus menerima hasil laboratorium segera, demi dilakukan tindakan medis lanjutan.

Antonius kemudian langsung mengembalikan sebanyak 12.997 reagen RNA merek Sansure itu ke BNPB pada 21 Agustus 2020, dengan alasan alat uji sampel itu tak punya sensitivitas tinggi.

Rupanya, masalah ini tak hanya dialami laboratorium tempat uji sampel virus Corona. Rumah sakit yang ditunjuk melakukan tes sampel pun mengalaminya.

Pihak Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya misalnya, mengembalikan sebanyak 1.850 reagen PCR merek Liveriver ke BNPB pada September 2020. Menurut Kepala Humas Rumah Sakit Universitas Airlangga, Brihastama Sawitri, reagen PCR yang dihibahkan BNPB itu ternyata mendekati masa kedaluwarsa, yang jatuh pada 19 Oktober 2020.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pun dilaporkan pernah meretur perangkat uji sampel Covid-19 merek Wizprep. Dalam surat F0.03.04/VIII.1/1640/2020 tertanggal 8 September 2020, RSCM menyebut, ribuan kit reagen itu tak bisa dipakai.

Kepala Laboratorium Patologi Klinik RSCM, Nuri Dyah Indrasari menerangkan, pengembalian itu dilakukan karena reagen merek Wizprep dalam proses pemeriksaan, memakan waktu lama dan butuh perangkat pendukung yang lebih banyak.

Step-nya itu bisa sampai 12, sehingga membutuhkan pipet dan sebagainya itu cukup banyak. Dikerjakannya cukup lama dengan ekstraksi. Total bisa lima jam setengah,” kata Nuri saat dihubungi, Kamis (4/3).

Nuri menjelaskan, pihaknya hanya mengambil 500 dari 10.000 reagen ekstraksi merek Wizprep. Kendati sudah mengajukan retur sejak September 2020, hingga kini belum ada petugas dari BNPB yang mengambil alat itu di gudang RSCM.

Petugas Kemenkes mengoperasikan cara kerja alat Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk pemeriksaan spesimen swab tenggorokan pasien terduga Covid-19 di Laboratorium Rumah Sakit USU Medan, Sumatera Utara, Kamis (16/4/2020). Foto Antara/Septianda Perdana.

Keadaan darurat

Boks dan kotak besi bertumpuk di sebuah peti kemas salah satu sudut kompleks pergudangan milik perusahaan jasa logistik terintegrasi PT Bhanda Ghara Reksa, Jakarta Utara. Berdasarkan penelusuran tim KJI, boks dan kotak besi itu berisi paket alat uji sampel Covid-19 hibah BNPB yang diretur beberapa rumah sakit dan laboratorium dari berbagai daerah.

Merujuk kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 498.644 reagen diretur 78 rumah sakit dan laboratorium dari 29 provinsi, pada Juli hingga September 2020. Ada enam merek reagen yang diretur, yakni Intron sebanyak 1.000 unit, Wizprep 10.000 unit, Seggenne 300 unit, Liveriver 2.825 unit, Kogene 700 unit, dan Sansure 482.819 unit.

“Potensi kerugian pengembalian barang ini sebesar Rp169,1 miliar. Paling besar jenis barang reagen RNA, 99% yang dikembalikan,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah ditemui di kantornya di Jakarta, Jumat (12/3).

Menanggapi problem ini, Kepala BNPB sekaligus Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan, PT Mastindo Mulia ikut bertanggung jawab. Ia menerangkan, perusahaan palugada itu punya kewajiban mendistribusikan dan menarik reagen, jika ada permintaan dari rumah sakit atau laboratorium.

Menurut dia, hal itu tertera di dalam klausul pemesanan pejabat pembuat komitmen, didampingi perwakilan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang ditugaskan Satgas Penanganan Covid-19 dengan PT Mastindo Mulia.

“Pada saat ditemukan beberapa laboratorium yang tidak bisa menggunakan RNA merek Sansure, pihak penyedia PT Mastindo Mulia ikut bertanggung jawab dalam pembiayaan, baik proses penarikan produk maupun redistribusi,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (11/3).

Doni menuturkan, pengadaan barang itu dilakukan di tengah kondisi serba sulit, ketika negara-negara di seluruh dunia berebut perangkat uji sampel Covid-19. Ia menjelaskan, upaya pengadaan itu merujuk pada instruksi Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas pada 13 April 2020.

“Dengan kondisi itu, pertimbangan terpenting dalam pemilihan penyedia adalah yang pada saat kondisi darurat Covid-19 memiliki sumber daya dan mampu melaksanakan pekerjaan dalam waktu cepat, dengan jumlah barang yang banyak,” kata dia.

Enam merek reagen RNA dan PCR itu dipasok tujuh perusahaan, yakni PT Mastindo Mulia, PT Sinergi Indomitra Pratama, PT Bumi Resource Nusantara, PT Makmur Berkah Sehat, PT Harsen Laboratories, PT Trimitra Wisesa Abadi, dan PT Next Level Medical.

Dari penelusuran KJI melalui dokumen administrasi hukum umum (AHU), ditemukan ada beberapa perusahaan yang diduga kurang kompeten dalam pengadaan barang medis. Salah satunya PT Mastindo Mulia.

Perusahaan ini tercatat bergerak di sektor jasa keuangan, asuransi, dan real estat. PT Mastindo Mulia baru mengajukan usaha di sektor perdagangan besar alat laboratorium, farmasi, dan kedokteran pada perubahan akta tertanggal 31 Maret 2020.

ICW mengidentifikasi, penyedia pengadaan reagen merek Sansure adalah PT Mastindo Mulia. Perusahaan ini mendapat satu paket proyek pengadaan alat uji sampel Covid-19 berjumlah 500.000 unit, dengan nilai mencapai Rp172,5 miliar.

Presiden Direktur Barito Pacific Group—yang merupakan induk PT Mastindo Mulia—Agus Salim Pangestu menjelaskan, penyediaan alat kesehatan di BNPB dilakukan untuk membantu pemerintah menangani pandemi.

“Dengan studi kelayakan dan restu dari BNPB,” ujar Agus Salim melalui pesan singkat, Kamis (11/3).

Lalu, ada PT Trimitra Wasesa Abadi, yang tercatat sebagai perusahaan bidang konstruksi, transportasi, pertanian, dan pengelolaan air. Pada 22 Maret 2020, perusahaan ini menambah jaring usahanya di bidang medis.

Direktur PT Trimitra Wisesa Abadi, Budiyanto Abdul Gani menilai, bisnis penyedia perangkat uji sampel merupakan peluang pada masa pagebluk.

“Semua pengusaha sekarang ini, mau bergerak di bidang apa pun juga, ini masalah naluri bisnis saja. Mau bertahan atau mati,” kata Budiyanto saat berbincang di Jakarta Selatan, Rabu (10/3).

Menurut Budiyanto, pengusaha yang kompeten di bidang penyedia alat medis, tak bisa mengikuti ritme pengadaan di BNPB saat masa darurat kesehatan.

“Karena pemain alat kesehatan lama itu, terbiasa main dengan sangat terproteksi. Enggak terbiasa dengan model BNPB yang begini,” tuturnya.

Petugas medis menunjukkan hasil sampel tes usap Covid-19 di Stasiun Bogor, Jabar, Senin (27/4/2020). Foto Antara/Arif Firmansyah.

Rekomendasi untuk BNPB

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ikut mengendus adanya permasalahan dalam pengadaan paket reagen di BNPB. Hal itu diketahui dari adanya atensi kedua atas hasil audit tujuan tertentu atas tata kelola proses pengadaan barang/jasa terkait percepatan penanganan Covid-19, yang tercantum dalam surat nomor SR-472/D2/01/2020.

“Berdasarkan identifikasi surat, surat tersebut dari BPKP,” kata Kepala Biro Hukum dan Komunikasi BPKP Eri Satriana, membenarkan surat atensi tersebut, saat ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa (9/3).

Setidaknya, ada dua masalah yang digarisbahwahi BPKP dalam surat yang dilayangkan pada 4 Agustus 2020 itu. Pertama, dalam proses pengadaan reagen PCR, belum ada uji coba atas kualitas produk dari semua merek.

Kedua, terdapat perubahan kebijakan distribusi reagen PCR oleh gugus tugas di daerah, tetapi tidak dikoordinasikan dengan gugus tugas pusat. Kondisi ini diperparah dengan sistem administrasi yang buruk. Akibatnya, sulit melakukan kontrol stok reagen PCR yang sudah dikirim BNPB.

Dari temuan tersebut, BPKP menyarankan empat hal kepada Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB. Pertama, melakukan identifikasi dan analisa stok PCR, RNA, dan viral transport medium (VTM) hasil pengadaan BNPB yang tak terpakai. Kedua, menyusun tata cara pengembalian barang dari daerah-daerah yang tak tersedia dry ice.

Ketiga, menarik seluruh reagen RNA dan VTM merek Sansure yang tak bisa digunakan dan mendistribusikan ulang pada Oktober 2020. Keempat, mendorong gugus tugas di daerah agar melengkapi dokumen BAST distribusi reagen PCR dan berkoordinasi dengan gugus tugas pusat dalam melakukan perubahan kebijakan distribusi barang.

Di samping itu, BPKP menyebut ada potensi pemborosan uang negara sebesar Rp39,2 miliar. Temuan itu berdasarkan hasil audit lima merek, yakni Sansure, Liferiver, Addbio, Zeesan, dan Kogen.

Infografik retur reagen Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.

Di sisi lain, ICW menilai, retur alat uji sampel Covid-19 disebabkan kekeliruan proses pengadaan yang dilakukan BNPB. Dalam aturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat disebutkan, kuasa pengguna anggaran menetapkan identifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumber daya.

Menurut Wana, absennya identifikasi kebutuhan dari kuasa pengguna anggaran akan berimbas pada kesalahan dalam melakukan identifikasi kebutuhan.

“Pengguna anggaran di BNPB dijabat oleh Kepala BNPB. Sedangkan kuasa pengguna anggaran dijabat Sekretaris Utama BNPB,” ucap Wana Alamsyah.

“Dengan melihat tanggung jawab yang diemban masing-masing pihak, patut diduga PA/KPA (pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran) tidak menetapkan identifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki.”

Laporan ini terbit atas kerja sama Alinea.id dengan Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

img
Tim Alinea.id
Reporter
img
Tim Alinea.id
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan